Gudang Ilmu: Fiqih Kontemporer dan Agama Islam
Showing posts with label Fiqih Kontemporer dan Agama Islam. Show all posts
Showing posts with label Fiqih Kontemporer dan Agama Islam. Show all posts

Friday, 14 January 2022

MAKALAH MENGIMPLEMENTASIAKAN NILAI-NILAI AJARAN ISLAM DALAM SETIAP PEKERJAAN

  BAB I PENDAHULUAN 

 A. Latar Belakang 

Islam merupakan agama yang bersifat universal yang di turunkan oleh Allah SWT. Kepada seluruh umat manusia dalam rangka untuk mensejahterakan, memberikan kedamaian, menciptakan suasana sejuk dan harmonis bukan hanya di antara sesama manusia tetapi juga bagi seluruh mahluk Allah SWT. Yang hidup di muka bumi ini. Di jelaskan dalam Al-Qur’an “Dan kami tidak akan mengutus kamu wahai Muhammad kecuali untuk menjadi Rahmat bagi sekalian alam”. Implementasi dari kehadiran Agama Islam sebagai Rahmat bagi sekalian alam di tunjukan dengan ajaran-ajaran Agama Islam baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun Al-Hadist Rosulullah SAW yang mengajarkan tentang kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat secara seimbang. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an “Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu kebahagiaan akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi. Dan berbuat baik kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat keruksakan.” (Q.S Al- Qashash: 77) senada dengan Firman Allah SWT tersebut adalah Hadist yang di sampaikan oleh Rosulullah SAW, Artinya “Bekerjalah untuk kepentingan duniamu seolah-olah kamu hidup selama-lamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu mati esok pagi”. Sudah menjadi kewajiban bagi manusia sebagai mahluk yang memiliki banyak ayat Al-Qur'an yang membahas tentang Etos Kerja dan kaitannya dengan kebutuhan dan kepentingan dalam kehidupannya untuk bekerja guna memenuhi segala kebutuhannya tersebut. Seorang muslim harus menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat. Tidak hanya berorientasi pada kepentingan akhirat saja, seorang muslim juga harus memikirkan kepentingan duniawi. Untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat tersebut, maka wajib bagi seorang muslim untuk bekerja. Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang. Karena itu, agar manusia benar-benar "hidup" dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al-Qur'an diturunkan sebagai "ruhan min amrina", yakni spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai "nur" (cahaya) yang tak kunjung 2 padam, agar kehidupan manusia tidak tersesat. Dalam Al-qur'an dan Alhadits banyak ditemukan literatur yang memerintahkan seorang muslim untuk bekerja dalam memenuhi dan melengkapi kebutuhan dunianya. 

B. Rumusan Masalah

 1. Apa yang dimaksud dengan Etos Kerja dalam Perspektif Islam? 

2. Apasaja Prinsip-prinsip Etos Kerja dalam Perspektif Islam? 

3. Apa Problema Etos Kerja Dalam Masyarakat Islam?

 C. Tujuan Penulisan

 1. Menambah wawasan keilmuan dan pengetahuan mahasiswa tentang "Etos Kerja dalam Perspektif Islam"

 2. Memahami prinsip-prinsip "Etos Kerja dalam Perpektif Islam" 

3. Memahami perbedaan Etos Kerja dan Etos Kerja Islam 

 BAB II PEMBAHASAN 

A. Pengertian Etos kerja dalam Perspektif Islam 

 Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos kerja. Adanya etos kerja yang kuat memerlukan kesadaran pada orang bersangkutan tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh, yang pandangan hidup itu memberinya keinsafan akan makna dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, seseorang agaknya akan sulit melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung. Etos kerja dalam Islam dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja tidak hanya memuliakan diri, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur. Etos kerja dalam Islam merupakan totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal. Dari pengertian-pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa, Etos kerja dalam perspektif Islam didefinisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaan, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal soleh sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang didera kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya, menampilkan dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian. Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an: َس اِ َّل ِليَ ْعبُ ُدْو ِن ِج َن َوا ّْلِ ْن ْ ُت ال َو َما َخلَقْ "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku" (QS. Adz-Dzaariyat:56). 4 Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah Swt. Berkaitan dengan ini, penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau kerja (praxis).15 Inti ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya. Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fikir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.1 Sementara itu, Rahmawati Caco, berpendapat bahwa bagi orang yang beretos kerja islami, etos kerjanya terpancar dari sistem keimanan atau aqidah islami berkenaan dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerja sama dengan akal. Sistem keimanan itu, menurutnya, identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah kerja). Ia menjadi sumber motivasi dan sumber nilai bagi terbentuknya etos kerja Islami. Etos kerja Islami di sini digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman dan amal shaleh. Tanpa landasan iman dan amal shaleh, etos kerja apa pun tidak dapat menjadi islami. Tidak ada amal saleh tanpa iman dan iman akan merupakan sesuatu yang mandul bila tidak melahirkan amal shaleh. Kesemuanya itu mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh merupakan suatu rangkaian yang terkait erat, bahkan tidak terpisahkan.2 Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values) yang terkandung dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang “kerja” – yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Cara mereka memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk etos kerja Islam. 1 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), hlm. 27. 2 Rahmawati Caco, “Etos Kerja” (Sorotan Pemikiran Islam),” dalam Farabi Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah, (terbitan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Anai Gorontalo, Vol. 3, No. 2, 2006), hlm. 68-69 5 Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang merupakan bagian amanah dari Allah. Dan cara pandang untuk melaksanakan sesuatu harus didasarkan kepada tiga dimensi kesadaran, yaitu Dimensi ma"rifat (aku tahu), Dimensi hakikat (aku berharap), dan Dimensi syariat (aku berbuat).

 1. Dimensi ma'rifat (aku tahu): - Tahu siapa aku, apa kekuatan dan kelemahanku, - Tahu apa pekerjaanku, - Tahu siapa pesaingku dan kawanku, - Tahu produk yang akan dihasilkan, - Tahu apa bidang usahaku dan tujuanku, - Tahu siapa relasiku, - Tahu pesan-pesan yang akan kusampaikan. 

2. Dimensi hakikat (aku berharap): Sikap diri untuk menetapkan sebuah tujuan kemana arah tindakan dilangkahkan. Setiap pribadi muslim meyakini bahwa niat atau dorongan untuk menetapkan cita-cita merupakan ciri bahwa dirinya hidup. 

3. Dimensi syariat (aku berbuat): Pengetahuan tentang peran dan potensi diri, tujuan serta harapan-harapan hendaklah mempunyai arti kecuali bila dipraktikan dalam bentuk tindakan nyata yang telah diyakini kebenarannya. 

B. Prinsip-prinsip Etos Kerja dalam Perspektif Islam 

Sebagai agama yang menekankan arti penting amal dan kerja, Islam mengajarkan bahwa kerja itu harus dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip berikut: 

1. Bahwa perkerjaan itu dilakukan berdasarkan pengetahuan sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam al-Qur‟an, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya.” (QS, 17: 36). 

2. Pekerjaan harus dilaksanakan berdasarkan keahlian sebagaimana dapat dipahami dari hadis Nabi Saw, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (Hadis Shahih riwayat al-Bukhari). 

3. Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Dialah Tuhan yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang dapat melakukan amal (pekerjaan) yang terbaik; kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. AlMulk : 2). Dalam Islam, amal atau kerja itu juga harus dilakukan dalam bentuk saleh 3 Anonim, 1990, Al-Qur’an dan terjemahan, Depag Ri Anonim, 1997., “Konsep dan etika kerja dalam Islam”, Almadani 6 sehingga dikatakan amal saleh, yang secara harfiah berarti sesuai, yaitu sesuai dengan standar ketentuan. 

4. Pekerjaan itu diawasi oleh Allah, Rasul dan masyarakat, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu.” (QS. At-Taubah: 105).

 5. Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang tinggi. Pekerja keras dengan etos yang tinggi itu digambarkan oleh sebuah hadis sebagai orang yang tetap menaburkan benih sekalipun hari telah akan kiamat. 

6. Orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah ia kerjakan. Ini adalah konsep pokok dalam agama. Konsep imbalan bukan hanya berlaku untuk pekerjaanpekerjaan dunia, tetapi juga berlaku untuk pekerjaanpekerjaan ibadah yang bersifat ukhrawi. Di dalam al-Qur‟an ditegaskan bahwa: “Allah membalas orang-orang yang melakukan sesuatu yang buruk dengan imbalan setimpal dan memberi imbalan kepada orangorang yang berbuat baik dengan kebaikan.”(QS. An-Nazm : 31). Dalam hadis Nabi dikatakan, “Sesuatu yang paling berhak untuk kamu ambil imbalan atasnya adalah Kitab Allah.” (H.R. al-Bukhari). Jadi, menerima imbalan atas jasa yang diberikan dalam kaitan dengan Kitab Allah; berupa mengajarkannya, menyebarkannya, dan melakukan pengkajian terhadapnya, tidaklah bertentangan dengan semangat keikhlasan dalam agama. 

7. Berusaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya: jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridha Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut. Sabda Nabi Saw itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung kepada komitmen yang mendasari kerja itu. Tinggi rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai yang dianutnya. Oleh karena itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan 7 atau tidak mengerjakan sesuatu, atau, jika ia mengerjakannya dengan tingkat-tingkat kesungguhan tertentu.4 

8. Ajaran Islam menunjukkan bahwa “kerja” atau “amal” adalah bentuk keberadaan manusia. Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau mengisi keberadaan kemanusiaan. Jika filsuf Perancis, Rene Descartes, terkenal dengan ucapannya, “Aku berpikir maka aku ada” (Cogito ergo sum) – karena berpikir baginya bentuk wujud manusia– maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya berbunyi “Aku berbuat, maka aku ada.”5 Pandangan ini sentral sekali dalam sistem ajaran Islam. Ditegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia usahakan sendiri: “Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada dalam lembaranlembaran suci (Nabi (Musa)? Dan Nabi Ibrahim yang setia? Yaitu bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia itu melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian ia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhanmu lah tujuan yang penghabisan”.6 Itulah yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa, kerja adalah bentuk eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga manusia, yakni apa yang dimilikinya – tidak lain ialah amal perbuatan atau kerjanya itu. Manusia ada karena amalnya, dengan amalnya yang baik itu manusia mampu mencapai harkat yang setinggi-tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridlaan. “Barang siapa benar-benar mengharap bertemu Tuhannya, maka hendaknya ia berbuat baik, dan hendaknya dalam beribadat kepada Tuhannya itu ia tidak melakukan syirik,”7 (yakni, mengalihkan tujuan pekerjaan selain kepada Allah, Sang Maha Benar, al-Haqq, yang menjadi sumber nilai terdalam pekerjaan manusia). Dalam ajaran Islam, beramal dengan semangat penuh pengabdian yang tulus untuk mencapai keridlaan Allah dan meningkatan taraf kesejahteraan hidup umat adalah fungsi manusia itu sendiri sebagai khalifatullah fi alArdl. 4 Dari Anas Ibn Malik (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah Saw. telah bersabda, “Apabila salah seorang kamu menghadapi kiamat sementara di tangannya masih ada benih hendaklah ia tanam benih itu.” (H.R. Ahmad). 5 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 417. 6 QS, al-Najm/52:: 36-42 7 QS, al-Kahfi/18: 110 8 Dalam beramal, zakat misalnya, bisa dimanfaatkan hasilnya untuk keperluan yang bersifat konsumtif, seperti menyantuni anak yatim, janda, orang yang sudah lanjut usia, cacat fisik atau mental dan sebagainya, secara teratur per bulan, atau sampai akhir hayatnya, atau sampai mereka mampu mandiri dalam mencukupi kebutuhan pokok hidupnya. 

9. Menangkap pesan dasar dari sebuah hadis shahih yang menuturkan sabda Rasulullah Saw yang berbunyi “Orang mukmin yang kuat lebih disukai Allah”, redaksinya kira-kira begini: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah „azza wa jalla dari pada orang mukmin yang lemah, meskipun pada keduaduanya ada kebaikan. Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah menjadi lemah. Jika sesuatu (musibah) menimpamu, maka janganlah berkata: “Andaikan aku lakukan sesuatu, maka hasilnya akan begini dan begitu”. Sebaliknya berkatalah: “Ketentuan (qadar) Allah, dan apa pun yang dikehendaki-Nya tentu dilaksanakan-Nya”. Sebab sesungguhnya perkataan “andaikan” itu membuka perbuatan setan”.8 Dengan demikian, untuk membuat kuatnya seorang mukmin seperti dimaksudkan oleh Nabi Saw, manusia beriman harus bekerja dan aktif, sesuai petunjuk lain: “Katakan (hai Muhammad): “Setiap orang bekerja sesuai dengan kecenderungannya (bakatnya)…” Juga firman-Nya, “Dan jika engkau bebas (berwaktu luang), maka bekerja keraslah, dan kepada Tuhan-Mu berusahalah mendekat”.9 Karena perintah agama untuk aktif bekerja itu, maka Robert N. Bellah mengatakan, dengan menggunakan suatu istilah dalam sosiologi modern, bahwa etos yang dominan dalam Islam ialah menggarap kehidupan dunia ini secara giat, dengan mengarahkannya kepada yang lebih baik (ishlah). Maka adalah baik sekali direnungkan firman Allah dalam surah alJumu‟ah: “Maka bila sembahyang itu telah usai, menyebarlah kamu di bumi, dan carilah kemurahan (karunia) Allah, serta banyaklah ingat kepada Allah, agar kamu berjaya”.

10 Dari prinsip-prinsip dasar di atas, penting juga dirumuskan ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja Islam, hal itu akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa 8 Mukhtashar, Jil. 2, hlm. 246 (Hadis No. 1840).  QS, al-Isra‟/17: 84 10 QS, al-Insyirah/94: 7 9 bekerja itu merupakan bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan dirinya, memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan (khaira ummah), Toto Tasmara merinci ciri-ciri etos kerja Muslim, sebagai berikut: a) Memiliki jiwa kepemimpinan (leadhership) b) Selalu berhitung c) Menghargai waktu d) Tidak pernah merasa puas berbuat kebaikan (positive improvements) e) Hidup berhemat dan efisien f) Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship) g) Memiliki insting bersaing dan bertanding h) Keinginan untuk mandiri (independent) i) Haus untuk memiliki sifat keilmuan j) Berwawasan makro (universal) k) Memperhatikan kesehatan dan gizi l) Ulet, pantang menyerah m) Berorientasi pada produktivitas n) Memperkaya jaringan silaturrahim. 

C. Problema Etos Kerja Dalam Masyarakat Islam 

Nilai kerja dalam masyarakat Islam mulai merosot akibat berkembangnya pemerintahan yang zalim. Dalam sistem pemerintahan yang seperti itu, timbul kehidupan yang mewah di kalangan elite bangsawan. Pemerintahan yang otoriter menyebabkan motivasi rakyat untuk bekerja merosot. Dalam keadaan tertindas, rakyat “lari” kepada Tuhan. Sebenarnya, tauhid yang merupakan fondasi utama dalam ajaran Islam, bersifat membebaskan. Tauhid telah menghapus sistem hak milik feodal, karena seluruh hak milik raja dan penguasaan tanah oleh kaum feodal itu “diambil alih” oleh Tuhan untuk dilimpahkan kembali kepada rakyat. Tapi rakyat yang tak bersenjata tak bisa berbuat apa-apa. Karena itulah, yang timbul adalah aliran tasawuf. Dalam dunia Islam di Timur Tengah, timbulnya aliran-aliran tasawuf berkorelasi positif dengan berkembangnya pemerintahan otoriter.

 Dalam keadaan yang lemah secara ekonomis, politis maupun mental, rakyat tidak bisa mendukung 11 Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, hlm. 29-59 10 pemerintahan. Itulah sebabnya pemerintahan Islam akhirnya lemah di dalam dan hancur oleh invansi dan akhirnya jatuh ke tangan penjajah. Runtuhnya perekonomian kaum Muslim adalah akibat penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Mereka jatuh ke tangan penjajah karena pemerintahannya lemah. Dan pemerintahan lemah karena didukung oleh rakyat yang lemah akibat pemerintahan yang otoriter dan represif.12 Dewasa ini, kebanyakan negara-negara berpenduduk Islam termasuk dalam kategori negara-negara sedang berkembang dan Dunia Ketiga, yaitu kelompok negaranegara yang pada masa Revolusi Industri tidak ikut serta dalam proses pembentukan Orde Dunia sekarang yang kapitalis itu. Pada masa itu, kebanyakan dunia Islam malahan jatuh ke tangan penjajahan dan mengalami eksploitasi ekonomi oleh sistem kolonialisme. Kapitalisme, menimbulkan pertumbuhan ekonomi di satu pihak dan keterbelakangan di lain pihak. Eksploitasi pada zaman penjajahan itu merupakan penjelasan atas terjadinya kemiskinan di dunia Islam termasuk Indonesia. Koeksidensi antara kemiskinan dan kemusliman itu menimbulkan kesimpulan bahwa etos kerja di kalangan kaum muslim itu rendah, padahal dewasa ini, Dunia Ketiga tidak hanya terdiri atas dunia Islam. Filipina juga sebuah negara yang masih terbelakang ekonominya, padahal mayoritas penduduknya beragama Katolik. Sebab-sebab kemiskinan itu adalah faktor-faktor yang kompleks yang terjalin dalam sejarah dan karena itu tidak bisa semata-mata dikaitkan dengan etos kerja. Harapan perkembangan dunia Islam agaknya berasal dari dunia pendidikan. Etos kerja tidak hanya semata-mata bergantung kepada nilai-nilai agama dalam arti sempit, tetapi dewasa ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan, informasi, dan komunikasi. Oleh sebab itu, yang perlu dkembangkan adalah etos ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Apabila kelak sudah banyak tenagatenaga muda terpelajar di pusat dunia Islam, maka orientasi mereka terhadap etos industri akan berkembang. Dalam konteks Indonesia, kelompok-kelompok masyarakat dalam pergerakan Indonesia agaknya mengambil tema yang berbeda-beda dari al-Qur’an yang  Banyak analis yang mengatakan bahwa lemahnya perekonomian rakyat di dunia Islam itu disebabkan oleh lemahnya etos kerja dan lemahnya etos kerja disebabkan karena menguatnya aliran tasawuf yang lebih mementingkan aspek ibadah yang berorientasi pada akhirat semata. Masyarakat lebih menekankan orientasinya kepada kehidupan akhirat semata karena hal itu dianggap satu-satunya harapan dalam situasi otoriter yang represif. M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 459. Lihat juga, Jalaluddin Rakhmat, “Kemiskinan di Negara-negara Muslim,” dalam Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 103-108 menyebabkan tumbuhnya etos yang berbeda di antara mereka. Etos Masyumi adalah musyawarah dengan cita-cita kemasyarakatan ke arah tercapainya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (Negara yang Adil Makmur di bawah Ampunan Ilahi). Muhammadiyah mengambil tema lain, yaitu yang tercantum dalam surah Ali-Imran ayat 104, sedangkan ayat yang dijadikan dasar berorganisasi Nahdlatul Ulama (NU) adalah surah Ali Imran ayat 103. Di kalangan cendekiawan Muslim telah berkembang etos di sekitar konsep Ulul al-Bab, seperti yang tercantum dalam surat Ali-Imran ayat 190-191. Yang pertama menekankan dakwah amar ma’ruf nahy munkar, sedangkan yang kedua menekankan persatuan umat.13 13 Pilihan Muhammadiyah dilatarbelakangi oleh semangat pembaharuannya yang ingin menegakkan paham tauhid yang murni dengan memberantas hal-hal yang dianggap takhayul, bid’ah dan khurafat. Kepentingan NU adalah mempertahankan doktrin Ahl al-Sunnah wa alJama’ah dan kesatuan antara ulama dan umat. Sedangkan pilihan ICMI dilatarbelakangi oleh semangat untuk menumbuhkan etos iptek yang dinilai sebagai kunci perkembangan bangsa dan umat Islam yang dinilai terbelakang. Dengan pilihan atas tema yang berbeda itu, berbagai masyarakat Islam di Indonesia memperlihatkan etos yang berbeda. Yang dimaksud dengan etos di sini adalah sikap utama yang mendasari tindakan dan kegiatan seorang dalam masyarakat. Rahardjo, “Etos Masyarakat Utama,” dalam Intelektual, Intelegensia

BAB III PENUTUP 

A. Kesimpulan 

Islam merupakan agama yang bersifat universal yang di turunkan oleh Allah SWT. Kepada seluruh umat manusia dalam rangka untuk mensejahterakan, memberikan kedamaian, menciptakan suasana sejuk dan harmonis bukan hanya di antara sesame manusia tetapi juga bagi seluruh mahluk Allah SWT. Yang hidup di muka bumi ini. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an «Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu kebahagiaan akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi. Dan berbuat baik kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat keruksakan. Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos kerja. Dengan kata lain, seseorang agaknya akan sulit melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung. Etos kerja dalam Islam merupakan totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal. Banyak analis yang mengatakan bahwa lemahnya perekonomian rakyat di dunia Islam itu disebabkan oleh lemahnya etos kerja dan lemahnya etos kerja disebabkan karena menguatnya aliran tasawuf yang lebih mementingkan aspek ibadah yang berorientasi pada akhirat semata. Masyarakat lebih menekankan orientasinya kepada kehidupan akhirat semata karena hal itu dianggap satu-satunya harapan dalam situasi otoriter yang represif. M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 459. Lihat juga, Jalaluddin Rakhmat, “Kemiskinan di Negara-negara Muslim,” dalam Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1998).  Pilihan Muhammadiyah dilatarbelakangi oleh semangat pembaharuannya yang ingin menegakkan paham tauhid yang murni dengan memberantas hal-hal yang dianggap takhayul, bid’ah dan khurafat. Kepentingan NU adalah mempertahankan doktrin Ahl al-Sunnah wa alJama’ah dan kesatuan antara ulama dan umat. Sedangkan pilihan ICMI dilatarbelakangi oleh semangat untuk menumbuhkan etos iptek yang dinilai sebagai kunci perkembangan bangsa dan umat Islam yang dinilai terbelakang. Dengan pilihan atas tema yang berbeda itu, berbagai masyarakat Islam di Indonesia memperlihatkan etos yang berbeda. Yang dimaksud dengan etos di sini adalah sikap utama yang mendasari tindakan dan kegiatan seorang dalam masyarakat. Rahardjo, “Etos Masyarakat Utama,” dalam Intelektual, Intelegensia 

B. Saran Saran 

dari penyusun makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan kekurangan dan jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan partisipasi dosen pengampu mata kuliah Pengntar Studi Islam serta rekan-rekan mahasiswa lainnya berupa sana dan kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini. 

DAFTAR PUSTAKA

 Almadani. (1990). Konsep dan etika kerja dalam islam. Depag RI: Anonim. Caco, R. (2006). Etos Kerja (Sorotan pemikiran islam). Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan dakwah, vol.3 no.3. Madid, N. (1992). Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina. Nanda Hidayan Sono, L. H. (2018). Etos Kerja Islam sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja. Jurnal.unej.ac.id, 411-420. Rifqi Muntaqo, M. K. (2018). Etos kerja Islam dalam Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikkan Agama Islam 1(1), 61-70. Ryandono, M. (2015). Etos kerja islami pada kinerja bisnis pedagang muslim pasar besar kota madiun. Jurnal ekonomi syariah teori dan terapan 2(4), 274-287. Sohari, S. (2013). Etos Kerja dalam Perspektif Islam. Jurnal Ekonomi Islam 4, 2. Sunardi, D. (2014). Etos Kerja Islami. Jurnal Integrasi Sistem Industri, 1. Tasmara, T. (1995). Etos kerja pribadi muslim. Yogyakarta: Dana bakti prima yasa.

Saturday, 15 April 2017

Pengertian Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), dan pemberian hadiah pada pejabat



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Risywah (sogok) dan hadiah merupakan fenomena yang tidak asing dalam masyarakat kita. Banyak istilah yang digunakan untuk kedua masalah ini, seperti dari ucapan terima kasih, parsel, money politik, uang pelicin, pungli dan lain sebagainya. Hanya saja istilah hadiah di samping mengandung makna yang positif juga mengandung makna yang negatif. Dalam Bahasa Indonesia hadiah bisa diartikan sebagai suatu penghargaan atas prestasi seseorang dalam suatu kompetisi atau pemberian atas kebaikan hati seseorang. Selain itu hadiah juga bisa bermakna sebuah pemberian yang beruhubungan dengan kepentingan-kepentingan pribadi.
Dari sudut pandang Hukum Islam, wawasan masyarakat sangat terbatas mengenai masalah risywah dan hadiah. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa  risywah bukan sebuah kejahatan, tetapi hanya kesalahan kecil. Sebagian lain, walaupun mengetahui bahwa risywah adalah terlarang, namun mereka tidak peduli dengan larangan tersebut. Apalagi karena terpengaruh dengan keuntungan yang didapat.
Di pihak lain masayarakat menganggap risywah itu sebagai hadiah atau tanda terima kasih. Malah ada yang beranggapan sebagai uang jasa atas bantuan yang telah diberikan seseorang, sehingga mereka tidak merasakan hal itu sebagai sebuah kesalahan atau pelangaran apalagi kejahatan.
Walaupun belum ada penelitian, namun sudah menjadi rahasia umum betapa banyak risywah yang diberikan untuk mendapatkan pekerjaan, terutama menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota polisi dan tentara, dan malah di dunia pendidikan pun hal ini terjadi. Perbuatan tersebut tanpa ada perasaan risih dilakukan oleh orang yang mengerti hukum dan aturan.



B.     Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini akan dibahas mengenai:
1.        Bagaimanakah Definisi Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), dan pemberian hadiah pada pejabat?
2.        Bagaimanakah Pandangan hukum Islam tentang Risywah dan Ghulul?
3.        Bagaimanakah Pandangan hukum Islam tentang pemberian hadiah pada pejabat?

C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini bertujuan agar pembaca:
a.         Memahami definisi Risywah, Ghulul, dan pemberian hadiah pada pejabat.
b.        Memahami pandangan hukum Islam tentang Risywah dan Ghulul.
c.         Memahami pandangan hukum Islam tentang pemberian hadiah pada pejabat.















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), Dan Pemberian Hadiah Kepada Pejabat.
1.      Risywah (Suap)
Risywah atau suap adalah suatu pemberian yang dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan yang bathil atau tidak sah yang menguntungkan pihak pemberi. Umar bin Khaththab mendefinisikan bahwa suap atau risywah adalah sesuatu yang diberikan/disampaikan oleh seseorang kepada orang yang mempunyai kekuasaan (jabatan, wewenang) agar ia memberikan kepada si pemberi sesuatu yang bukan haknya. Risywah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama. Larangan tersebut berlaku bagi yang memberi, menerima dan penghubungnya.
Dari Abu Hurairah ra. Berkata: “Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam hukum.” (HR. Turmuzi)

2.      Ghulul (Korupsi)
Ghulul atau korupsi adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Arti kata korupsi secara harfiah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Sedangkan korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi
dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.[2]

3.      Pemberian Hadiah Kepada Pejabat
Hadiah dalam kamus artinya pemberian yang bisa bermaksud kenang-kenangan, penghargaan dan penghormatan.  Adapun hadiah dalam pengertian fiqih Islam hampir sama dengan hibah, yaitu pemberian sesuatu untuk memuliakan seseorang tanpa mengharap balasan. Akan tetapi bila pemberian (hadiah) kepada hakim atau pemegang kekuasaan, maka hukumnya dirinci.
Adapun hukum pemberian hadiah kepada pemegang kekuasaan adalah: Pertama, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang sedang mempunyai perkara, maka hal ini haram dikarenakan pemberian tersebut dapat membuat condongnya hati (memiliki tendensi) sang hakim kepada si pemberi.
Kedua, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang tidak mempunyai perkara, sedang biasanya orang tersebut tidak pernah memberi (ketika sebelum menjadi hakim), maka hukumnya haram. Tetapi dalam kitab al-Kifayah dirujuk dari kitab an Nihayah dan al Basith, mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh. Jika pemberian ini diharamkan, berarti si penerima tidak berhak menerima pemberian tersebut, sehingga ia harus mengembalikan kepada si pemberi, jika tidak memungkinkan, maka pemberian tersebut diserahkan ke baitul mal (kas Negara).
Ketiga, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seorang yang tidak memiliki perkara/kasus dan si pemberi memang biasa memberikan sesuatu kepada hakim atau pemegang kekuasaan sebelum menjadi pejabat, maka dalam hal ini hukumnya halal. Sedangkan hukum menerimanya adalah makruh dan lebih baik menolak/tidak menerimanya. Atau bisa juga si penerima menerimanya dan kemudian membalas pemberian tersebut, atau si penerima menerimanya kemudian pemberian tersebut dimasukkan ke dalam baitul mal, kas Negara.[3]

B.     Pandangan/Tinjauan Hokum Islam Tentang Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi)
1.      Risywah (suap)
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan.Perbuatan seperti itu sangat dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:
Firman Allah ta’ala:
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٨
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah 188)
Suap-menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena akan merusak berbagai tatanan atas sistem yang ada di masyarakat dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainakn dengan uang. Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketidakadilan. Dsuap, banya para pelanggar yang seharusnya diberi hukuman berat justru mendapat hukuman ringan, bahkan lolos dari jeratan hukum. Sebaliknya banyak pelanggaran hukum kecil, yang dilakukan oleh orang kecil mendapat hukuman sangat  berat karena tidak memiliki uang untuk menyuap para hakim
Bagaimanapun juga, seorang hakim yang telah mendapatkan uang suap tidak mungkin dapat berbuat adil. Ia akan membolak-balikkan supremasi hukum. Apalagi kalau perundang-undangan yang digunakannya merupakan hasil buatan manusia, hendak sekali baginya untuk mengutak-atiknya sesuai dengan kehendaknya. Lama-kelamaan masyarakat terutama golongan kecil, tidak akan percaya lagi kepada para penegak hukum karena selalu menjadi pihak yang dirugikan. Dengan demikian, hukum rimba yang berlaku, yaitu siapa yang kuat dialah yang menang.
Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, yang dilaknat oleh Allah dan rasul-Nya. Karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim hendaklah tidak menerima pemberian apapun dari pihak manapun  selain gajinya sebagai hakim.
Untuk mengurangi perbuatan suap-menyuap dalam masalah hukum, jabatan hakim oleh mereka yang berkecukupan daripada jabatan oleh  mereka yang hidupnya serba kekurangan karena kemiskinan seorang hakim akan mudah membawa dirinya untuk berusaha mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.
Sebenarnya, suap-menyuap tidak hanya dilarang  dalam masalah hukum saja, tetapi dalam berbagai aktivitas dan kegiatan. Dalam beberapa hadis lainnya, suap menyuap tidak dikhususkan terhadap masalah hukum saja, tetapi bersifat umum.
Sangat disayangkan, suap menyuap dewasa ini seperti sudah menjadi penyakit menahun yang sangat sulit untuk disembuhkan, bahkan disinyal sudah membudaya. Segala aktivitas, baik yang berskala kecil maupun berskala besar tidak terlepas dari suap menyuap. Dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan M. Quraish Shihab, masyarakat telah melahirkan budi yang tadinya munkar (tidak dibenarkan) dapat menjadi ma’ruf (dikenal dan dinilai baik) apabila berulang-ulang dilakukan banyak orang. Yang ma’ruf pun dapat menjadi munkar bila tidak lagi dilakukan orang.[4]
Risywah yang diperbolehkan
Pada prinsipnya risywah itu hukumnya haram karena termasuk memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan. Hanya saja mayoritas ulama membolehkan ‘Risywah’ (penyuapan) yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain. Dan dosanya tetap ditanggung oleh orang yang menerima suap (al-murtasyi) (Kasyful Qina’ 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243, al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha 6/479).[5]
2.      Ghulul (korupsi)
Secara etimologis, dalam al-Mu’jam al-Wasit bahwa kata ghulul berasal dari kata kerja (غلل يغلل), yang dapat diartikan dengan berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-harta lain. Definisi ghulul secara terminologis dikemukakan oleh Rawas Qala’arji dan Hamid Sadiq Qunaibi yang diartikan mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya. Akan tetapi, dalam pemikiran berikutnya berkembang menjadi tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta lain, seperti tindakan penggelapan terhadap harta baitul mal, harta milik bersama kaum muslim, harta bersama dalam suatu kerja bisnis, harta negara, dan lain-lain.
anksi yang diterapkan terhadap tindakan ghulul pada zaman Rasulullah saw lebih ditekankan pada sanksi moral. Pelaku ghulul akan dipermalukan di hadapan Allah kelak pada hari kiamat. Dengan kata lain, bahwa perbuatan ini tidaklah dikriminalkan, melainkan hanya dengan sanksi moral dengan ancaman neraka sebagai sanksi ukhrawi. Ini lantaran pada saat itu, kasus-kasus ghulul hanya merugikan dengan nominal yang sangat kecil, kurang dari tiga dirham. Mungkin saja akan berbeda seandainya kasus ghulul memakan kerugian jutaan hingga miliaran rupiah, pasti akan ada hukuman fisik yang lebih tegas untuk mengatasinya.[6]
Berkaitan dengan masalah al-ghulul, Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran: 161
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ ١٦١
 “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
Menurut para mufassirin ayat ini turun pada perang Badar, disebabkan ada sebagian shahabat yang berkhianat dalam masalah harta perang. Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berlaku zhalim (khianat dalam masalah harta) sejengkal tanah maka kelak pada hari kiamat akan digantungkan tujuh lapis bumi di lehernya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan masih lainnya yang menjelaskan tentang keharaman ghulul dan ancaman yang berat bagi para pelakunya pada hari kiamat. Mengenai hukuman bagi pelaku Al-Ghulul (berkhianat dengan mengambil harta ghanimah sebelum dibagikan), Imam Asy-Syafi’i pernah ditanyai, apakah ia disuruh turun dari tunggangannya dan berjalan kaki, dibakar pelananya atau dibakar harta bendanya. asy-Syâfi’î menjawab: “Tidak di hukum (`Iqâb) seseorang pada hartanya, tetapi pada badannya. Sesungguhnya Allah menjadikan Al-Hudûd pada badan, demikian pula Al-`Uqûbât (sanksi), adapun atas harta maka tidak ada `uqûbah atasnya.
Jenis-jenis hukum ta`zîr yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi adalah; penjara, pukulan yang tidak menyebabkan luka, menampar, dipermalukan (dengan kata-kata atau dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan hukuman cambuk di bawah empat puluh kali. Khusus untuk hukuman penjara, Qulyûbî berpendapat bahwa boleh menerapkan hukuman penjara terhadap pelaku maksiat yang banyak memudharatkan orang lain dengan penjara sampai mati (seumur hidup).[7]

C.    Pandangan/Tinjauan Hokum Tentang Pemberian Hadiah Kepada Pejabat
Memberikan hadiah dalam Islam sangat dianjurkan dan hukumnya halal, karena bisa merupakan perekat bagi persaudaraan, namun hadiah ternyata bisa menjadi haram jika diberikan dengan maksud tertentu, atau ada udang di balik batu. Itulah hadiah yang diserahkan pada pejabat atau para hakim. Hadiah yang diberikan kepada pegawai pemerintahan tentunya dan pastinya ada kaitannya dengan jabatannya. Seandainya mereka adalah masyarakat biasa atau pensiunan yang sudah tidak menjabat, apakah para pemangku kepentingan masih tetap akan memberikan hadiah (baik amplop, parcel ataupun hadiah lainnya). Peristiwa pemberian hadiah sebetulnya pernah terjadi pada seorang yang dipekerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurus zakat. Lantas ia mendapati hadiah karena pekerjaannya tersebut. Namun di akhir cerita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mencela dirinya. Berikut kisahnya:
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, ia mendengar ‘Urwah telah mengabarkan kepada kami, Abu Humaid As Sa’idi mengatakan, Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan, “Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi ‘naik minbar-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda, “Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, Ini untukmu dan ini hadiah untukku! Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan, ” Ketahuilah, bukankah telah kusampaikan?” (beliau mengulang-ulanginya tiga kali). (HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832)
Kita juga dapat melihat dalam hadits lainnya juga dari Abu Humaid As Sa’idi, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ
Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul (khianat).”
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits Abu Humaid terdapat penjelasan bahwa hadayal ‘ummal (hadiah untuk pekerja) adalah haram dan ghulul (khianat). Karena uang seperti ini termasuk pengkhianatan dalam pekerjaan dan amanah. Oleh karena itu, dalam hadits di atas disebutkan mengenai hukuman yaitu pekerja seperti ini akan memikul hadiah yang dia peroleh pada hari kiamat nanti, sebagaimana hal ini juga disebutkan pada masalah khianat. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan dalam hadits tadi mengenai sebab diharamkannya hadiah seperti ini, yaitu karena hadiah semacam ini sebenarnya masih karena sebab pekerjaan, berbeda halnya dengan hadiah yang bukan sebab pekerjaan. Jika seorang pekerja menerima hadiah semacam ini dengan disebut hadiah, maka Pekerja tersebut harus mengembalikan hadiah tadi kepada orang yang memberi. Jika tidak mungkin, maka diserahkan ke Baitul Mal (kas negara).”
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam fatwanya. Beliau mengatakan,
“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah semacam ini termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik.”

Lalu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan lagi,
“Tidak boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan menerima hadiah berkaitan dengan pekerjaannya. Seandainya kita membolehkan hal ini, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah berbahaya dan termasuk dosa besar (karena ada hukuman yang disebutkan dalam hadits tadi, pen). Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan hadiah tersebut. Hadiah semacam ini tidak boleh dia terima. Baik dinamakan hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap tidak boleh diterima. Lebih-lebih lagi jika dia adalah orang yang mampu, zakat tidak boleh bagi dirinya sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.” (Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibni Utsaimin, Asy Syamilah, 18/232)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah (sebagaimana layaknya hadiah untuk penguasa/pejabat). Perlu diketahui bahwa hadiah ini karena menjadi kekhususan pada beliau. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ma’shum, beliau bisa menghindarkan diri dari hal terlarang berbeda dengan orang lain (termasuk dalam hadiah tadi, tidak mungkin dengan hadiah tersebut beliau berbuat curang atau khianat, pen). Lantas ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengembalikan hadiah (sebagaimana hadiah untuk pejabat), beliau tidak mau menerimanya. Lantas ada yang mengatakan pada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menerima hadiah semacam itu!” ‘Umar pun memberikan jawaban yang sangat mantap, “Bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa jadi itu hadiah. Namun bagi kita itu adalah suap. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan hadiah semacam itu lebih tepat karena kedudukan beliau sebagai nabi, bukan karena jabatan beliau sebagai penguasa. Sedangkan kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan kita.”
Beberapa jenis pemberian yang perlu diwaspadai sebagai hadiah, adalah sebagaimana diuraikan dibawah ini.
a.        Hadiah yang halal untuk penerima dan pemberi.
Itulah hadiah yang diberikan bukan untuk hakim dan pejabat semisal hadiah seorang teman untuk temannya. Seorang hakim atau pejabat negara tidak boleh menerima hadiah jenis pertama ini dari orang lain. Dengan kata lain, menerima hadiah yang hukumnya halal untuk umumnya orang. Itu hukumnya berubah menjadi haram dan berstatus suap jika untuk hakim dan pejabat.
Ibnu Hubaib berkata, “Para ulama sepakat mengharamkan memberikan hadiah kepada penguasa, hakim, pejabat dan pegawai penarik retribusi.” (al-Qurtubi 2/340). Nabi Muhammad saw memang menerima hadiah walaupun beliau adalah pejabat dan penguasa, tapi ini adalah bagian dari kekhususan beliau, karena beliau ma’shum terjaga dari dosa. Hal ini juga pernah dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz ketika beliau menolak hadiah yang diberikan kepadanya, beliau mengatakan : pemberian yang diberikan kepada Nabi termasuk hadiah sementara yang diberikan kepada kita adalah risywah, karena pemberian yang diberikan kepada beliau lantaran kenabiannya sementara pemberian yang diberikan kepada kita karena pangkat jabatan kita. Hadits Rasulullah Saw:
“Hadiah kepada pejabat adalah penyelewengan.” (HR Ahmad)
Hadiah yang diberikan kepada pejabat hukumnya sama dengan hadiah yang diberikan kepada penguasa, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Hubaib, hal itu diperkuat dengan sabda Rasulullah dalam hadits Ibnul Utbiyah
Dari Abi Humaid As Sa’idi ra berkata Nabi saw memperkerjakan seseorang dari suku Azdy namanya Ibnu Alutbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang berkata [ kepada Rasululloh] ini untuk anda dan ini dihadiahkan untuk saya, bersabda beliau : kenapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak, Demi Dzat yang jiwakau di tanganNya tidaklah seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua bersuara dengan suaranya kemuadia beliau mengangkat tangannya samapai kelihatan putih ketiaknya lantas bersabda : Ya Allah, tidaklah telah aku sampaikan? (HR Bukhari)
Dan sabda Nabi saw. :
" هدايا الأمراء غلول "
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah ghulul” (HR. Ahmad 5/424)
b.         Hadiah yang haram untuk pemberi dan penerima semisal hadiah untuk mendukung kebatilan. Penerima dan pemberi hadiah jenis ini berdosa karena telah melakukan suatu yang haram. Hadiah semisal ini wajib dikembalikan kepada yang memberikannya. Hadiah jenis ini haram untuk seorang hakim maupun orang biasa.
c.        Hadiah yang diberikan oleh seorang yang merasa takut terhadap gangguan orang yang diberi, seandainya tidak diberi baik gangguan badan ataupun harta. Perbuatan ini boleh dilakukan oleh yang memberi namun haram diterima oleh orang yang diberi. Karena tidak mengganggu orang lain itu hukumnya wajib dan tidak boleh menerima kompensasi finansial untuk melakukan sesuatu yang hukumnya wajib




















BAB III
PENUTUP

Sebagai kesimpulannya bahwa hukum apa saja tidak ada yang membolehkan praktik korupsi adapun itu hukum positif, hokum adat, lebih-lebih lagi hukum agama, khususnya islam sangat melarang korupsi, dan mengganjar pelakunya dengan hukuman dunia dan akhirat. Korupsi apapun bentuknya, baik itu suap, maupun pemberian hadiah merupakan hal-hal sangat merugikan bagi umat dan haram hukumnya. Korupsi hanya akan membunuh masa depan masyarakat dan negara secara perlahan namun pasti.
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu baik berupa uang maupun halnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman  hukum atau mendapat hukuman ringan.
Hukum dalam Islam seorang penyuap itu sangat dilarang oleh Allah swt sebagaimana firman Allah dalam surah al Baqarah yang berbunyi “Dan janganlah sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, karena Allah melaknat seorang penyuap”.