BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Risywah
(sogok) dan hadiah merupakan fenomena yang tidak asing dalam masyarakat kita.
Banyak istilah yang digunakan untuk kedua masalah ini, seperti dari ucapan
terima kasih, parsel, money politik, uang pelicin, pungli dan lain sebagainya.
Hanya saja istilah hadiah di samping mengandung makna yang positif juga
mengandung makna yang negatif. Dalam Bahasa Indonesia hadiah bisa diartikan
sebagai suatu penghargaan atas prestasi seseorang dalam suatu kompetisi atau
pemberian atas kebaikan hati seseorang. Selain itu hadiah juga bisa bermakna
sebuah pemberian yang beruhubungan dengan kepentingan-kepentingan pribadi.
Dari sudut
pandang Hukum Islam, wawasan masyarakat sangat terbatas mengenai masalah
risywah dan hadiah. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa risywah bukan sebuah kejahatan, tetapi hanya
kesalahan kecil. Sebagian lain, walaupun mengetahui bahwa risywah adalah
terlarang, namun mereka tidak peduli dengan larangan tersebut. Apalagi karena
terpengaruh dengan keuntungan yang didapat.
Di pihak lain
masayarakat menganggap risywah itu sebagai hadiah atau tanda terima kasih.
Malah ada yang beranggapan sebagai uang jasa atas bantuan yang telah diberikan
seseorang, sehingga mereka tidak merasakan hal itu sebagai sebuah kesalahan atau
pelangaran apalagi kejahatan.
Walaupun
belum ada penelitian, namun sudah menjadi rahasia umum betapa banyak risywah
yang diberikan untuk mendapatkan pekerjaan, terutama menjadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS), anggota polisi dan tentara, dan malah di dunia pendidikan pun hal
ini terjadi. Perbuatan tersebut tanpa ada perasaan risih dilakukan oleh orang
yang mengerti hukum dan aturan.
B. Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini akan dibahas mengenai:
1.
Bagaimanakah Definisi Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), dan pemberian hadiah pada pejabat?
2.
Bagaimanakah Pandangan hukum Islam tentang Risywah dan
Ghulul?
3.
Bagaimanakah Pandangan hukum Islam tentang pemberian hadiah
pada pejabat?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini bertujuan agar pembaca:
a.
Memahami definisi Risywah, Ghulul, dan
pemberian hadiah pada pejabat.
b.
Memahami pandangan hukum Islam tentang Risywah
dan Ghulul.
c.
Memahami pandangan hukum Islam tentang
pemberian hadiah pada pejabat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), Dan Pemberian Hadiah Kepada
Pejabat.
1.
Risywah
(Suap)
Risywah atau suap adalah suatu pemberian yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan yang bathil atau tidak sah yang
menguntungkan pihak pemberi. Umar bin Khaththab mendefinisikan
bahwa suap atau risywah adalah sesuatu yang diberikan/disampaikan oleh
seseorang kepada orang yang mempunyai kekuasaan (jabatan, wewenang) agar ia
memberikan kepada si pemberi sesuatu yang bukan haknya. Risywah merupakan
perbuatan yang dilarang oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama. Larangan
tersebut berlaku bagi yang memberi, menerima dan penghubungnya.
Dari Abu Hurairah ra. Berkata: “Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam hukum.” (HR. Turmuzi).
Dari Abu Hurairah ra. Berkata: “Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam hukum.” (HR. Turmuzi).
2.
Ghulul (Korupsi)
Ghulul atau korupsi adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti.
Arti kata korupsi secara harfiah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Sedangkan korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.[2]
Sedangkan korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.[2]
3.
Pemberian
Hadiah Kepada Pejabat
Hadiah dalam kamus artinya pemberian yang bisa bermaksud
kenang-kenangan, penghargaan dan penghormatan. Adapun hadiah dalam
pengertian fiqih Islam hampir sama dengan hibah, yaitu pemberian sesuatu untuk
memuliakan seseorang tanpa mengharap balasan. Akan tetapi bila pemberian
(hadiah) kepada hakim atau pemegang kekuasaan, maka hukumnya dirinci.
Adapun hukum pemberian hadiah kepada pemegang kekuasaan adalah:
Pertama, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang
sedang mempunyai perkara, maka hal ini haram dikarenakan pemberian tersebut
dapat membuat condongnya hati (memiliki tendensi) sang hakim kepada si pemberi.
Kedua, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang tidak mempunyai perkara, sedang biasanya orang tersebut tidak pernah memberi (ketika sebelum menjadi hakim), maka hukumnya haram. Tetapi dalam kitab al-Kifayah dirujuk dari kitab an Nihayah dan al Basith, mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh. Jika pemberian ini diharamkan, berarti si penerima tidak berhak menerima pemberian tersebut, sehingga ia harus mengembalikan kepada si pemberi, jika tidak memungkinkan, maka pemberian tersebut diserahkan ke baitul mal (kas Negara).
Kedua, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang tidak mempunyai perkara, sedang biasanya orang tersebut tidak pernah memberi (ketika sebelum menjadi hakim), maka hukumnya haram. Tetapi dalam kitab al-Kifayah dirujuk dari kitab an Nihayah dan al Basith, mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh. Jika pemberian ini diharamkan, berarti si penerima tidak berhak menerima pemberian tersebut, sehingga ia harus mengembalikan kepada si pemberi, jika tidak memungkinkan, maka pemberian tersebut diserahkan ke baitul mal (kas Negara).
Ketiga, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seorang
yang tidak memiliki perkara/kasus dan si pemberi memang biasa memberikan
sesuatu kepada hakim atau pemegang kekuasaan sebelum menjadi pejabat, maka
dalam hal ini hukumnya halal. Sedangkan hukum menerimanya adalah makruh dan
lebih baik menolak/tidak menerimanya. Atau bisa juga si penerima menerimanya
dan kemudian membalas pemberian tersebut, atau si penerima menerimanya kemudian
pemberian tersebut dimasukkan ke dalam baitul mal, kas Negara.[3]
B. Pandangan/Tinjauan Hokum Islam Tentang Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi)
1.
Risywah
(suap)
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan
sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada penegak hukum agar terlepas
dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan.Perbuatan seperti itu sangat
dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram.
Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang
diperoleh melalui jalan batil. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:
Firman Allah ta’ala:
وَلَا
تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ
لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ
تَعۡلَمُونَ ١٨٨
”Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS
Al Baqarah 188)
Suap-menyuap sangat berbahaya
bagi kehidupan masyarakat karena akan merusak berbagai tatanan atas sistem yang
ada di masyarakat dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam
menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainakn dengan uang.
Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketidakadilan. Dsuap, banya para pelanggar
yang seharusnya diberi hukuman berat justru mendapat hukuman ringan, bahkan
lolos dari jeratan hukum. Sebaliknya banyak pelanggaran hukum kecil, yang
dilakukan oleh orang kecil mendapat hukuman sangat berat karena tidak
memiliki uang untuk menyuap para hakim
Bagaimanapun juga, seorang
hakim yang telah mendapatkan uang suap tidak mungkin dapat berbuat adil. Ia
akan membolak-balikkan supremasi hukum. Apalagi kalau perundang-undangan yang
digunakannya merupakan hasil buatan manusia, hendak sekali baginya untuk
mengutak-atiknya sesuai dengan kehendaknya. Lama-kelamaan masyarakat terutama
golongan kecil, tidak akan percaya lagi kepada para penegak hukum karena selalu
menjadi pihak yang dirugikan. Dengan demikian, hukum rimba yang berlaku, yaitu
siapa yang kuat dialah yang menang.
Islam melarang perbuatan
tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, yang dilaknat
oleh Allah dan rasul-Nya. Karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan
hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapatkan
perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim hendaklah
tidak menerima pemberian apapun dari pihak manapun selain gajinya sebagai
hakim.
Untuk mengurangi perbuatan
suap-menyuap dalam masalah hukum, jabatan hakim oleh mereka yang berkecukupan
daripada jabatan oleh mereka yang hidupnya serba kekurangan karena
kemiskinan seorang hakim akan mudah membawa dirinya untuk berusaha mendapatkan
sesuatu yang bukan haknya.
Sebenarnya, suap-menyuap
tidak hanya dilarang dalam masalah hukum saja, tetapi dalam berbagai
aktivitas dan kegiatan. Dalam beberapa hadis lainnya, suap menyuap tidak dikhususkan
terhadap masalah hukum saja, tetapi bersifat umum.
Sangat disayangkan, suap
menyuap dewasa ini seperti sudah menjadi penyakit menahun yang sangat sulit
untuk disembuhkan, bahkan disinyal sudah membudaya. Segala aktivitas, baik yang
berskala kecil maupun berskala besar tidak terlepas dari suap menyuap. Dengan
kata lain, sebagaimana diungkapkan M. Quraish Shihab, masyarakat telah
melahirkan budi yang tadinya munkar (tidak dibenarkan) dapat menjadi ma’ruf
(dikenal dan dinilai baik) apabila berulang-ulang dilakukan banyak orang. Yang
ma’ruf pun dapat menjadi munkar bila tidak lagi dilakukan orang.[4]
Risywah yang diperbolehkan
Pada
prinsipnya risywah itu hukumnya haram karena termasuk memakan harta dengan cara
yang tidak dibenarkan. Hanya saja mayoritas ulama membolehkan ‘Risywah’
(penyuapan) yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya dan atau
untuk mencegah kezhaliman orang lain. Dan dosanya tetap ditanggung oleh orang
yang menerima suap (al-murtasyi) (Kasyful Qina’ 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243,
al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha
6/479).[5]
2.
Ghulul (korupsi)
Secara etimologis, dalam al-Mu’jam al-Wasit bahwa kata ghulul
berasal dari kata kerja (غلل يغلل),
yang dapat diartikan dengan berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang
atau dalam harta-harta lain. Definisi ghulul secara terminologis dikemukakan
oleh Rawas Qala’arji dan Hamid Sadiq Qunaibi yang diartikan mengambil sesuatu
dan menyembunyikannya dalam hartanya. Akan tetapi, dalam pemikiran berikutnya
berkembang menjadi tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta lain,
seperti tindakan penggelapan terhadap harta baitul mal, harta milik bersama
kaum muslim, harta bersama dalam suatu kerja bisnis, harta negara, dan
lain-lain.
anksi yang diterapkan terhadap tindakan ghulul pada zaman
Rasulullah saw lebih ditekankan pada sanksi moral. Pelaku ghulul akan
dipermalukan di hadapan Allah kelak pada hari kiamat. Dengan kata lain, bahwa
perbuatan ini tidaklah dikriminalkan, melainkan hanya dengan sanksi moral
dengan ancaman neraka sebagai sanksi ukhrawi. Ini lantaran pada saat itu,
kasus-kasus ghulul hanya merugikan dengan nominal yang sangat kecil, kurang
dari tiga dirham. Mungkin saja akan berbeda seandainya kasus ghulul memakan
kerugian jutaan hingga miliaran rupiah, pasti akan ada hukuman fisik yang lebih
tegas untuk mengatasinya.[6]
Berkaitan dengan masalah
al-ghulul, Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran: 161
وَمَا
كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ
ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ ١٦١
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam
urusan harta rampasan perang. barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan
perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa
yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
Menurut para mufassirin ayat
ini turun pada perang Badar, disebabkan ada sebagian shahabat yang berkhianat
dalam masalah harta perang. Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa
yang berlaku zhalim (khianat dalam masalah harta) sejengkal tanah maka kelak
pada hari kiamat akan digantungkan tujuh lapis bumi di lehernya.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
Dan masih lainnya yang
menjelaskan tentang keharaman ghulul dan ancaman yang berat bagi para pelakunya
pada hari kiamat. Mengenai hukuman bagi pelaku Al-Ghulul (berkhianat dengan
mengambil harta ghanimah sebelum dibagikan), Imam Asy-Syafi’i pernah ditanyai,
apakah ia disuruh turun dari tunggangannya dan berjalan kaki, dibakar pelananya
atau dibakar harta bendanya. asy-Syâfi’î menjawab: “Tidak di hukum (`Iqâb) seseorang pada hartanya, tetapi pada
badannya. Sesungguhnya Allah menjadikan Al-Hudûd pada badan, demikian pula Al-`Uqûbât
(sanksi), adapun atas harta maka tidak ada `uqûbah atasnya.
Jenis-jenis hukum ta`zîr yang
dapat diterapkan bagi pelaku korupsi adalah; penjara, pukulan yang tidak
menyebabkan luka, menampar, dipermalukan (dengan kata-kata atau dengan mencukur
rambutnya), diasingkan, dan hukuman cambuk di bawah empat puluh kali. Khusus
untuk hukuman penjara, Qulyûbî berpendapat bahwa boleh menerapkan hukuman
penjara terhadap pelaku maksiat yang banyak memudharatkan orang lain dengan
penjara sampai mati (seumur hidup).[7]
C. Pandangan/Tinjauan Hokum Tentang Pemberian Hadiah Kepada Pejabat
Memberikan hadiah dalam Islam sangat
dianjurkan dan hukumnya halal, karena bisa merupakan perekat bagi persaudaraan,
namun hadiah ternyata bisa menjadi haram jika diberikan dengan maksud tertentu,
atau ada udang di balik batu. Itulah hadiah yang diserahkan pada pejabat atau
para hakim. Hadiah yang diberikan kepada pegawai pemerintahan tentunya dan
pastinya ada kaitannya dengan jabatannya. Seandainya mereka adalah masyarakat
biasa atau pensiunan yang sudah tidak menjabat, apakah para pemangku
kepentingan masih tetap akan memberikan hadiah (baik amplop, parcel ataupun
hadiah lainnya). Peristiwa pemberian hadiah sebetulnya pernah terjadi pada
seorang yang dipekerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurus
zakat. Lantas ia mendapati hadiah karena pekerjaannya tersebut. Namun di akhir
cerita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mencela dirinya. Berikut
kisahnya:
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin
Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, ia mendengar
‘Urwah telah mengabarkan kepada kami, Abu Humaid As Sa’idi mengatakan, Pernah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang
namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil
mengatakan, “Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan
dengan redaksi ‘naik minbar-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda, “Ada apa dengan seorang pengurus
zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, Ini untukmu dan ini
hadiah untukku! Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan
cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti
pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan
memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka
akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan
keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara
kambing. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami
melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan, ” Ketahuilah, bukankah telah
kusampaikan?” (beliau mengulang-ulanginya tiga kali). (HR. Bukhari no. 7174 dan
Muslim no. 1832)
Kita juga dapat melihat dalam hadits
lainnya juga dari Abu Humaid As Sa’idi, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
هَدَايَا الْعُمَّالِ
غُلُولٌ
“Hadiah bagi pejabat (pekerja)
adalah ghulul (khianat).”
Imam
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits Abu Humaid terdapat penjelasan
bahwa hadayal ‘ummal (hadiah untuk pekerja) adalah haram dan ghulul (khianat).
Karena uang seperti ini termasuk pengkhianatan dalam pekerjaan dan amanah. Oleh
karena itu, dalam hadits di atas disebutkan mengenai hukuman yaitu pekerja
seperti ini akan memikul hadiah yang dia peroleh pada hari kiamat nanti,
sebagaimana hal ini juga disebutkan pada masalah khianat. Dan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan dalam hadits tadi
mengenai sebab diharamkannya hadiah seperti ini, yaitu karena hadiah semacam
ini sebenarnya masih karena sebab pekerjaan, berbeda halnya dengan hadiah yang
bukan sebab pekerjaan. Jika seorang pekerja menerima hadiah semacam ini dengan
disebut hadiah, maka Pekerja tersebut harus mengembalikan hadiah tadi kepada
orang yang memberi. Jika tidak mungkin, maka diserahkan ke Baitul Mal (kas
negara).”
Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam
fatwanya. Beliau mengatakan,
“Hadiah
bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai
pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan
pekerjaannya. Hadiah semacam ini termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah
seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia
menganggapnya baik.”
Lalu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan lagi,
“Tidak
boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan menerima hadiah berkaitan
dengan pekerjaannya. Seandainya kita membolehkan hal ini, maka akan terbukalah
pintu riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah berbahaya dan termasuk dosa besar
(karena ada hukuman yang disebutkan dalam hadits tadi, pen). Oleh karena itu,
wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi hadiah yang berkaitan dengan
pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan hadiah tersebut. Hadiah semacam
ini tidak boleh dia terima. Baik dinamakan hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap
tidak boleh diterima. Lebih-lebih lagi jika dia adalah orang yang mampu, zakat
tidak boleh bagi dirinya sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.” (Majmu’
Fatawa wa Rosa’il Ibni Utsaimin, Asy Syamilah, 18/232)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah
disebutkan,
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah (sebagaimana layaknya
hadiah untuk penguasa/pejabat). Perlu diketahui bahwa hadiah ini karena menjadi
kekhususan pada beliau. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
ma’shum, beliau bisa menghindarkan diri dari hal terlarang berbeda dengan orang
lain (termasuk dalam hadiah tadi, tidak mungkin dengan hadiah tersebut beliau
berbuat curang atau khianat, pen). Lantas ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
mengembalikan hadiah (sebagaimana hadiah untuk pejabat), beliau tidak mau
menerimanya. Lantas ada yang mengatakan pada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menerima hadiah semacam itu!”
‘Umar pun memberikan jawaban yang sangat mantap, “Bagi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bisa jadi itu hadiah. Namun bagi kita itu adalah suap. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan hadiah semacam itu lebih tepat karena
kedudukan beliau sebagai nabi, bukan karena jabatan beliau sebagai penguasa.
Sedangkan kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan kita.”
Beberapa
jenis pemberian yang perlu diwaspadai sebagai hadiah, adalah sebagaimana
diuraikan dibawah ini.
a.
Hadiah yang halal untuk penerima dan
pemberi.
Itulah hadiah yang diberikan bukan untuk hakim dan pejabat
semisal hadiah seorang teman untuk temannya. Seorang hakim atau pejabat negara
tidak boleh menerima hadiah jenis pertama ini dari orang lain. Dengan kata
lain, menerima hadiah yang hukumnya halal untuk umumnya orang. Itu hukumnya
berubah menjadi haram dan berstatus suap jika untuk hakim dan pejabat.
Ibnu
Hubaib berkata, “Para ulama sepakat mengharamkan memberikan hadiah kepada
penguasa, hakim, pejabat dan pegawai penarik retribusi.” (al-Qurtubi 2/340).
Nabi Muhammad saw memang menerima hadiah walaupun beliau adalah pejabat dan
penguasa, tapi ini adalah bagian dari kekhususan beliau, karena beliau ma’shum
terjaga dari dosa. Hal ini juga pernah dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz
ketika beliau menolak hadiah yang diberikan kepadanya, beliau mengatakan :
pemberian yang diberikan kepada Nabi termasuk hadiah sementara yang diberikan
kepada kita adalah risywah, karena pemberian yang diberikan kepada beliau
lantaran kenabiannya sementara pemberian yang diberikan kepada kita karena pangkat
jabatan kita. Hadits Rasulullah Saw:
“Hadiah kepada pejabat adalah penyelewengan.” (HR Ahmad)
Hadiah yang diberikan kepada pejabat
hukumnya sama dengan hadiah yang diberikan kepada penguasa, sebagaimana
penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Hubaib, hal itu diperkuat dengan sabda
Rasulullah dalam hadits Ibnul Utbiyah
Dari Abi Humaid As Sa’idi ra berkata
Nabi saw memperkerjakan seseorang dari suku Azdy namanya Ibnu Alutbiyyah untuk
mengurusi zakat, tatkala ia datang berkata [ kepada Rasululloh] ini untuk anda
dan ini dihadiahkan untuk saya, bersabda beliau : kenapa dia tidak duduk di
rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak,
Demi Dzat yang jiwakau di tanganNya tidaklah seseorang mengambilnya darinya
sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya,
kalau unta atau sapi atau kambing semua bersuara dengan suaranya kemuadia
beliau mengangkat tangannya samapai kelihatan putih ketiaknya lantas bersabda :
Ya Allah, tidaklah telah aku sampaikan? (HR Bukhari)
Dan sabda Nabi saw. :
" هدايا الأمراء غلول "
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah ghulul”
(HR. Ahmad 5/424)
b.
Hadiah yang haram untuk pemberi dan
penerima semisal hadiah untuk mendukung kebatilan. Penerima dan pemberi hadiah
jenis ini berdosa karena telah melakukan suatu yang haram. Hadiah semisal ini
wajib dikembalikan kepada yang memberikannya. Hadiah jenis ini haram untuk
seorang hakim maupun orang biasa.
c.
Hadiah yang diberikan oleh seorang yang
merasa takut terhadap gangguan orang yang diberi, seandainya tidak diberi baik
gangguan badan ataupun harta. Perbuatan ini boleh dilakukan oleh yang memberi
namun haram diterima oleh orang yang diberi. Karena tidak mengganggu orang lain
itu hukumnya wajib dan tidak boleh menerima kompensasi finansial untuk
melakukan sesuatu yang hukumnya wajib
BAB III
PENUTUP
Sebagai kesimpulannya bahwa hukum apa saja tidak ada yang
membolehkan praktik korupsi adapun itu hukum positif, hokum adat, lebih-lebih
lagi hukum agama, khususnya islam sangat melarang korupsi, dan mengganjar
pelakunya dengan hukuman dunia dan akhirat. Korupsi apapun bentuknya, baik itu
suap, maupun pemberian hadiah merupakan hal-hal sangat merugikan bagi umat dan
haram hukumnya. Korupsi hanya akan membunuh masa depan masyarakat dan negara
secara perlahan namun pasti.
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu baik
berupa uang maupun halnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman
hukum atau mendapat hukuman ringan.
Hukum dalam Islam seorang penyuap itu sangat dilarang oleh
Allah swt sebagaimana firman Allah dalam surah al Baqarah yang berbunyi “Dan
janganlah sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, karena
Allah melaknat seorang penyuap”.
No comments:
Post a Comment
terimakasih telah mengunjungi blog saya.