Jabariyah dan Qodariyah
Menurut penulis solusi terhadap
pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah yaitu bahwa manusia
benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada
dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan. Dengan kata
lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan
Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak
akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah
Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu
lemah tetap bisa diberlakukan secara temporal, terutama dalam langkah awal
menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang
masih memerlukan pengayoman. Di samping itu pendapat-pendapat Jabariyah
sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrot dan irodat Allah SWT,
ditambah pula dengan sifat wahdaniat-Nya.
Sementara bagi Qodariyah
manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan juga kekufuran,
ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah
dan Qodariyah tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa
mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan
dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan
diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan
mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya.
Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika
dirasanya akan berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan
dalil-dalil lain yang lebih tepat. Demikian makalah dari kami yang berjudul “Jabariyah
dan Qodariyah” kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi
perbaikan di masa mendatang.
Sebagai
penutup dalam makalah ini. Kedua aliran, baik Qadariyah ataupun Jabariyah
nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka
sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya
kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.
1.
JABARIYYAH
A.Pengertian Jabariyyah
Nama jabariyah ini berasal dari kata
“ jabara “ yang mengandung arti memaksa. Begitu pun dalam
munjid dijelaskan bahwa jabara berarti memaksa dan mengharuskan
melakukan sesuatu. Kemudian kata jabara ditarik dari menjadi jabariyyah (
dengan menambah ya nisba), artinya adalah suatu kelompok atau aliran
(isme). Lebih lanjut Asy-Syarastani menegaskan bahwa paham al-Jabr
berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
Dalam istilah Inggiris paham
jabariyyah disebut fatalism atau fredestination, yaitu yang
mengatakan bahwa perbuatan manusia sudah ditentukan sejak semula
oleh Qada dan Qadar Tuhan. Posisi manusia tidak memiliki
kebebasan inisiatif sendiri, akan tetapi terikat
mutlak pada kehendak Tuhan.
B. Sejarah kemunculannya
Orang yang pertama kali mengemukakan paham
Jabariyyah dikalangan umat islam adalah Al-Ja’d Ibn
dirham (terbunuh 124 H)“. Dan pandangan-pemikirannya disebarluaskan
oleh pengikutnya Seperti ” Jahm bin safwan (125 H) dari Khurasan
(dia pun termasuk pendiri aliran jahmiyah dalam kalangan Murjiah). Mengenai
sejarah kemunculan, para ahli mengkajinya melaui pendekatan geokultural
bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan
kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara
yang memberikan pengaruh besar kedalam cara hidup mereka. Kebergantungan
mereka pada alam sahara yang mencuatkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam
situasi demikian, masyarakat Arab tidak banyak melihat jalan untuk
mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya. Faktor
inilah yang membuat mereka merasa lemah dan tidak kuasa dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak
alam. Hal inilah yang membawa mereka pada fatalism. Sebenarnya,
benih-benih paham jabr sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh
diatas. Itu dapat dilihat dalam peristiwa sejarah diantaranya:
a) Suatu ketika, Nabi
SAW. menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan.
Nabi pun melarang mereka memperdebatkan persoalan tersebut. Agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan
tentang takdir.
b) Rahasia
sikap ini ialah ini adalah riwayat hadits Nabi Saw. Yang
menyebutkan “Kaum Qadariyyah Majusinya umat ini” yang telah
dituduh mengetahui adanya kesamaan antara kaum Qadariyyah dan
penganut Majusi. Sebab, diketahui bahwa kaum
Majusi membatasi takdir Ilahi pada apa yang mereka namakan
“Kebaikan” saja. Sedangkan
“Kejahatan” berada diluar takdir Ilahi, dan
bahwa pelakunya adalah wujud setan pertama yang mereka namakan
Ahriman.Karena itu, kaum Jabariyyah
mengatakan bahwah yang dimaksud dengan. “Kaum Qadariyyah “
ialah kalangan yang menginkari qadar (takdir) ilahi,
sementara lawan-lawan mereka berkata bahwa kaum Qadariyyah
ialah sementara lawan-lawan mereka berkata bahwa kaum ialah orang
–orang yang mengembalikan segala sesuatu, hatta perbuatan manusia, kepada
qadha dan qadar.
c) Khalifah
Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan
mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata,”Tuhan telah menetukan
saya untuk mencuri” mendengar ucapan itu Umar marah sekali dan menganggap orang
itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan
dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong
tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena
menggunakan dalil takdir Tuhan.
Kendatipun penjelasan diatas mengatakan bahwa
bibit paham jabr telah muncul sejak awal priode Islam. Akan tetapi, yang
dipelajari dan yang dikembangkan terjadi pada masa-masa pemerintahan
Daulah Bani Umayyah. Berkaitan kemunculan aliran Jabariyah dalam
islam ada teori yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan
oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi yang bermazhab Qurra
dan agama Kristen bermazhab yacobit. Akan tetapi sebenarnya
tanpa pengaruh-pengaruh asing itu sesungguhnya paham al-jabar akan muncul
dikalangan umat islam. Aliran ini menganut paham bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekan atau kebebasan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya,
tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.
Dalam
Al-Qur’an sendiri banyak memuat ayat-ayat yang dapat membawa
kepada timbulnya paham Jabariyyah.
Dalam Surat As-Saffat ayat 96 di tegaskan:”
Allah menciptakan Kamu dan apa yang kamu perbuat”
Dalam Surat Al-An-am ayat 111 dinyatakan :” Mereka
sebenarnya tidak akan beriman, sekiranya Allah tidak menghendaki”.
C. Tokoh –Tokoh dan
Doktrin Ajaran Jabariyyah
Menurut Asy- Syahrastani, Jabariyyah itu dapat
dikelompokkan kedalam dua bagian Yaitu ekstrem (segala perbuatan
manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya,
melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya mencuri,
perbuatan mencuri itu bukan terjadi atas kehendak sendiri melainkan
karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian dan moderat.
1. Al-Jahmiyah
Aliran jabariyyah oleh Al-
Syahrastani menyebutnya dengan istilah sebut al-jabariyyah al khalish.
Pendirinya adalah Jahm Ibn shafwan (124 H). Nama lengkapnya adalah Abu
Mahrus Jaham bin Shofwan. Ia berasal dari Khurasan dan bertempat tinggal
di Kufah. Ia seorang dai yang fasih dan lincah (orator) yang termasuk seorang
mawali yang menentang pemerintah bani Umayyah, ia ditawan kemudian di
bunuh oleh Muslim Ibn ahwas almazini pada akhir dinasti khalifah bani Umayyah.
Alirannya ini tersebar di Tirmiz dan di Balk.
Dia dianggap sebagai pengikut
jabariyyah murni. Aliran Jahmiyyah ini tidak menetapkan
perbuatan atau kekuasaan sedikitpun. Seluruh tindakbahan tidak boleh
terlepas dari aturan, skenario dan kehendak Tuhan. Segala akibat baik atau
buruk yang diterima oleh manusia perjalanan hidupnya adalah
merupakan ketentuan dari Allah SWT. Namun ada kecenderungan
bahwa Tuhan lebih memperlihatkan sikapnya yang mutlak /absolut dan
berbuat sekehendak-Nya. Hal inilah bisa menimbulkan kesan seolah-olah
Allah tidak adil jika ia menyiksa orang-orang yang berbuat dosa yang
dilakukan orang itu terjadi atas Tuhan. Berikut doktrin ajarannya:
a) Menurut jaham
bin ahwas manusia dalam paham jabariyyah sangat lemah
tidak berdaya .terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak
mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana yang dimiliki oleh paham
jabariyyah. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan lebih terkenal
dibandingkan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep Iman, kalam
tuhan, meniadakan sifat Tuhan ( Nafyu as-Sifat) dan melihat
Tuhan di akhirat.
b) Surga dan
neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c) Iman dan ma’rifat
atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama
dengan konsep iman yang diajukan oleh Murji’ah.
d) kalamTuhan adalah Makhluk.
Allah Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan Manusia, sperti berbicara,
mendengar, dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan
indra mata diakhirat kelak.
Dengan demikian dalam beberapa hal,Jahm berpendapat
serupa dengan Murjiah,Mu’tazilah dan Asy’ariah sehingga para
pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili,Al-Murji’idan
Al-Asy’ari.
2. Ja’d bin Dirham
Ja’d adalah seorang maulana Hakim,
tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan dalam lingkungan orang Kristen yang
senang membicaraka teologi. Dan telah dipercaya mengajar dilingkungan
Bani Umayyah namun setelah pikirannya-pikirannya yang kontraversial terlihat
Bani Umayyah menolaknya. Kemudian dia pergi ke Kufah dan bertemu
dengan jahm, yang akhirnya berhasil mentransfer pikirannya kepada
Jahm untuk dikembangkan dan di sebarluaskan. Doktrin ja’d secara umum sama
dengan Jahm. Al Ghurabi menjelaskannya sebagai berikut.
a) Al-Qur’an itu
makhluk. Oleh karena itu, dia baru (huduts), Sesuatu yang baru tidak
dapat disifatkan kepada Allah SWT.
b) Allah tidak
mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat
dan mendengar.
c) Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya. Manusia bagaikan selembar bulu yang
diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama
dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati.
d) Tidak mengakui adanya sebab
akibat diantara segala sesuatu terutama manusia dan perbuatanya serta
kepribadiannya secara spiritual dan moral. Entah masa depannya
bahagia atau sengsara.
3. An-Najariyyah
Pendiri aliran ini diberi
istilah yaitu al-jabariyyah Al- Mutawassithah, pendiri
aliran ini adalah Al- Husein Ibnu Muhammad an- najjar (230 H) dan
Ia termasuk tokoh Mu’tazilah yang paling banyak menggunakan ratio
yakni menetapkan adanya Qudrat pada manusia tetapi Qudrat tersebut tidak
mempunyai efek atas perbuatan.
Menurut Najjar dan dirar, bahwah tuhanlah yang
menciptakan perbuatan manusia baik perbuatan itu positif maupun
Negatif. Tetapi dalam perbuatan itu manusia mempunyai bagian. Daya
yang diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan, mempunyai efek .sehingga
manusia mampu melakukan perbuatan-perbuatan inilah yang di sebut
Kasb atau acquisition.
An-Najjar juga berkata : Tuhan hanya berkehendak
dengan zat-Nya, Juga Tuhan mengetahui dengan zat-Nya . karena itu
taalluqnya menyeluruh Allah menghendaki baik dan buruk bermanfaat dan
mudharat. Dan katanya Yang dimaksud Allah berkehendak disini bahwah
Alla tidak tidak dipaksa dan tidak terpaksa. Katanya : Allah menciptakan
semua baik dan buruk dan manusia hanya merencana. Dia pun
mengakui adanya Kasab(usaha) pada manusia, seperti pendapat Al-Asy’ari
sependapat tentang istitithah.
a) Mengenai Ru’yah yakni
melihat zat Allah di akhirat ditolaknya, baik dengan mata
kepala atau lainnya. Akan tetapi, An-Najjar
menyatakan bahwa Tuhan dapat memindahkan potensi hati (makrifat)
pada mata sehingga mata dapat melihat Tuhan.
b) Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia tetapi manusia yang
mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan pebuatan-perbuatan itu.
Inilah yang disebut Kasab dala teori Al-Asy’ari. Dengan demikian manusia
dalam pandangan Najjar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya
bergantung pada dalang. Sebab tenaga yang dicipitkan Tuhan dalam
manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Al-kabi juga mengutip ucapan An-Najjar Yang mengatakan :
Tuhan berada di setiap tempat sebagai Zat dan wujud karena kalau tidak demikian
tidak ada artinya sifat fi‘li (sifat ) dan qudrah. Katanya mengenai
akal sebelum turun wahyu mengenal Allah dengan Akal. Iman
menurutnya hanya tasdhiq. Siapa yang meninggal setelah
mengerjakan dosa besar tanpa bertobat ia dihukum karenanya. Namun ia akan
dikeluarkan juga dari neraka, karena tidak adil menyamakannya
dengan orang kafir yang memang kekal didalamnya.
3. Ad-Dhirariyyah
Pendirinya adalah Dhirar ibn ‘amr dan
Hafshul al- fard. Keduanya sepakat adanya sifat Allah, namun keduanya
berkata: Allah maha mengetahui dan maha kuasa maksudnya tidak jahil dan
tidak lemah. Dan mereka mengakui bahwah Allah adalah zat yang hakikatnya
tidak diketahui, melainkan Allah sajalah yang tahu, katanya pendapat ini
dikutip dari Abu hanifah dan rekan-rekannya. Dan yang
dimaksud Allah mengetahui Zat-nya tanpa melalui pembuktian
dan dalil.
Mereka berdua mengakui adanya indra keenam yang
dimiliki manusia dengan hari itu ia melihat Tuhan di hari
pembalasan segala amal kebajikannya di dalam surga. Serta
meyakini bahwa pada hakikatnya perbuatan manusia
adalah ciptaan Allah Swt.namun manusia yang memprgunakannya, dan dapat terjadi
satu perbuatan dari dua pelaku. Katanya sumber ajaran islam setelah
masa Rasulullah hanya ijma’ dan ajaran yang diperoleh dari dhirar bahwa
ia menolak Qiroat Ibn Mas’ud da Ubay bi ka’ab yang katanya bacaan seperti itu
tidak perna diturunkan Allah Ta’ala.
Dhira dalam kesempatan lain juga pernah berpandangan mengenai kepemimpinan
boleh saja bukan suku Quraisy namun apabilah keturunan
Rasulullah yang lebih pantas di utamakan keturunan Rasulullah
dengan alasan bahwa jumlah keturunan itu sedikit.
Melalui cara ini akan mudah memberhentikan apabila
tindakannya bertentantangan dengan syariat islam. Dan megenai
ru’yatullah di akhirat , Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat
dilihat diakhirat melalui “indera keenam”
2. QADARIYAH
Latar Belakang Kemunculan Paham Qadariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab yaitu qadara
yang mempunyai arti kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi, qodariyah
adalah aliran atau paham teologi yang percaya bahwa segala tindakan dan
perbuatan manusia itu terjadi tanpa ada campur tangan Tuhan, artinya manusia
bebas melakukan apa saja sesuai dengan keinginannya. Aliran ini berpendapat
bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Dan dari pernyataan ini, maka
dapat dipahami bahwa Qodariyah digunakan untuk nama suatu aliran atau
paham yang menyatakan kebebasan dan kekuatan penuh bagi manusia dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Menurut Prof Dr. Harun Nasution, kaum
Qodariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudarah atau kekuatan
untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukun berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada Qadar ketentuan Tuhan.
Sebenarnya, sebutan Qodariyah lebih cocok diberikan
pada aliran atau paham yang berpendapat bahwa qadar telah menentukan segala
tingkah laku manusia, yang meliputi seluruh perbuatan baik dan buruk manusia.
Tapi pada kenyataannya dan sesuai dengan sejarah teologi, bahwa nama Qodariyah
melekat pada aliran atau paham yang percaya dan meyakini bahwa manusia
mempunyai kebebasan penuh sesuai dengan kehendaknya. Menurut Ahmad Amin,
sebutan ini diberikan kepada para pengikut paham qadar oleh lawan mereka dengan
merujuk pada hadis yang membuat negatif nama Qodariyah. Hadisnya yaitu: “ kaum
Qadariyah adalah Majusinya Umat ini”
Tokoh-tokoh Aliran Paham Qodariyah
Dalam menetapkan kapan munculnya dan siapa tokoh-tokoh
paham Qodariyah ini, para ahli teologi masih berbeda pendapat dan terus menjadi
perdebatan. Menurut Ahmad Amin, para ahli teologi ada yang berpendapat bahwa
Qodariyah pertama dimunculkan oleh Ma’bad Al- Jauhani pada tahun w. 80 H dan
Ghilan Ad-Dimasyqy. Ma’bad merupakan seorang taba’i yang
dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan al-Bisri. Sementara Ghilan adalah seorang
orator berasal dari Damaskus dan ayahnya adalah seorang maula Utsman bin Affan
Sedangkan Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh al-uyun,
seperti dikutib oleh Ahmad Amin (1886-1954 M), memberikan pernyataan lain bahwa
yang pertama memunculkan paham qodariyah adalah orang Irak yang semula beragama
Kristen kemudian masuk Islam dan Kembali lagi ke agama Kristen. Dari orang
inilah, Ma’bad dan Ghilan mengambil dan mendapat paham Qodariyah ini. Orang Irak yang dimaksud bernama
Susan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad Ibn Syu’ib yang
memperoleh informasi dari Al-Auzai.
Sementara menurut W. Montgomery Watt menemukan
dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang
dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Dalam
artikel itu menjelaskan bahwa paham Qodariyah terdapat dalam Risalah yang
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Bisri sekitar tahun 700 M. Hasan
Bisri (642-728) adalah anak seorang yang berstatus tahanan di Irak, lahir di
Madinah, tetapi pada tahun 657 pergi ke Basrah dan tinggal di sana sampai akhir
hayatnya. Dan apakah Hasan Bisri adalah seorang qodariyah atau bukan, hal ini
masih menjadi perdebatan. Tapi yang jelas dalam Risalah tersebut, Hasan
Bisri menyatakan bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan
buruk. Hasan Bisri yakin dan percaya bahwa manusia bebas memilih antara berbuat
baik atau berbuat buruk
Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan, menurut Watt adalah
penganut Qodariyah yang hidup setelah Hasan Bisri. Apabila dihubungkan dengan
keterangan az-zahabi dalam Mizan al-I’tidal, seperti dikutip oleh Ahmad Amin
yag menyatakan bahwa Ma’bad al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan bisri.
Berkaitan dengan tempat munculnya untuk yang pertama
kali, para ahli teologi juga masih berebeda pendapat, sesuai dengan
pendapat Ahmad Amin bahwa penentuan itu merupakan pernyataan yang sulit karena
pada waktu itu pengikut Qadariyah sangat banyak. Sebagian ahli teologi
berpendapat bahwa paham qadariyah muncul di Irak dengan bukti pengkajian paham
ini dilakukan oleh Hasan Bisri. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Nabatah yang
menyatakan seorang yang bernama Susan berasal dari Irak yang beragama Kristen
kemudian masuk Islam dan kembali lagi masuk Kristen. Dan sebagian pendapat lain
menyatakan bahwa paham Qadariyah muncul di Damaskus disebabkan oleh pengaruh
orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana Khalifah.
Paham qadariyah mendapat tantangan keras dari umat
Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reaksi tersebut.
Pertama, Menurut Prof.Dr Harun Nasution, dikarenakan masyarakat arab sebelum
Islam dipengaruhi oleh paham Fatalis. Kehidupan masyarakat arab masa itu serba
sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah pada
keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul.
Mereka merasa dirinya lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang
ditumbulkan oleh keadaan di sekelilingnya. Oleh karena itu, ketika paham
qadariyah dikembangkan mereka tidak dapat menerimanya. Paham qadariyah
dipandang bertentangan dengan doktrin Islam.
Pokok atau Ajaran Paham Qodariyah
Secara umum pokok ajaran dari paham qadariyah ialah
manusia berkuasa penuh atas perbuatan-perbuatannya; manusia melakukan kebaikan
atas kehendak dan kekuasaan dirinya sendiri, dan manusia juga yang melakukan
atau menjahui perbuatan-perbuatan buruk sesuai dengan kemauan dan dayanya
sendiri tanpa campur tangan Tuhan.
Dalam kitab al-milal wa an-nihal, masalah
qadariyah disatukan pembahasannya dalam doktrin-doktrin Mu’tazilah. Sehingga
perbedaan antara kedua aliran ini kurang jelas. Ahmad Amin, menjelaskan
bahwa doktrin bahwa doktron qadar kiranya lebih luas dibahas oleh kalangan
Mu’tazilah. Sebab paham ini dijadikan sebagai salah satu diantara doktrin
mu’tazilah, sehingga orang sering menamakan qodariyah sama dengan mu’tazilah.
Keduanya sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan
semua tindakannya tanpa campur tangan Tuhan. Salah seorang pemuka qodariyah
yang lain, an-nazzam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi
hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya. Sungguh
tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas
keinginan dan kemampuannya. Menurut pandangan qadariyah, apabila manusia
diberi ganjaran, baik dengan balasan surga maupun siksa dengan balasan
neraka, itu semua merupakan pilihan dan kehendak dirinya sendiri, bukan karena
takdir Tuhan. Dalam paham qadariyah, takdir adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta isinya semenjak adanya hukum
yang dalm istilah Al-Qur’an adalah sunatullah.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki
takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam deminsi fisiknya tidak dapat
berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh
Tuhan tidak mempunyai sirip, seperti yang dimiliki oleh ikan sehingga dapat
berenang di laut lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti
gajah yang mampu membawa barang beratus kilogram, tetapi manusia ditakdirkan
mempunyai daya pikir yang kreatif. Dengan daya pikir yang kreatif dan anggota
tubuh yang dapat dilatih terampil, manusia dapat meniru yang dimiliki ikan
sehingga manusia dapat berenang di laut lepas. Demikian juga manusia dapat
membuat benda lain yang dapat membantu untuk membawa barang seberat yang dibawa
gajah, bahkan lebih dari itu. Disini, terlihat semakin besar wilayah kebebasan
yang dimiliki manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah
jabariyyah dapat diartikan pula menolak adanya perbuatan dari
manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada
Allah berdasarkan pengertian bahwa segala sesuatu
didahului oleh Ilmu Allah dan tidak ada sesuatu yang didahului oleh ilmu
Allah, jabariyyah ada dua bentuk: pertama jabariyyah
murni, yang disebut juga Al-jahmiyyah, yang menolak adanya
perbuatan berasal dari manusia dan memandang manusia
tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat . Kedua ,
Jabariyyah pertengahan yang moderat yang disebut juga An-Najariyyah, yang
mengakui adanya perbuatan dari manusia namun perbuatan manusia tidak
membatasi. Orang yang mengaku adanya perbuatan dari makhluk ini
mereka namakan “Kasab” bukan termasuk Jabariyyah.
Sedangkan
pengikut Qadariyyah menganggap manusia memilik kebebasan untuk
berkehendak dalam perbuatan tanpa adanya campur tangan Tuhan. Jadi
muncullah teori ketiga yang menyingkap bahwa
“kontradiksi” tersebut hanya merupakan akibat pemahaman
yang keliru semata-mata. Kita dapat mengatakan bahwa hakikatnya tidak ada
kontradiksi dalam al-Qur’an yang memaksa kita
mengartikan beberapa ayat berlawanan dengan arti lahirnya ata
No comments:
Post a Comment
terimakasih telah mengunjungi blog saya.