Gudang Ilmu: Reformasi Sistem Perpajakan

Saturday, 15 April 2017

Reformasi Sistem Perpajakan



REFORMASI SISTEM PERPAJAKAN 
REFORMASI SISTEM PERPAJAKAN
Dalam membahas tentang perpajakan Indonesia, hal terpenting yang tidak boleh dilupakan adalah telah munculnya sistem perpajakan walaupun pada tingkat yang sederhana sejak masa kerajaan tertua di Indonesia. Dalam perkembangannya, sejarah perubahan sistem perpajakan selalu berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang menyertainya. Berikut akan dipaparkan perkembangan reformasi sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia.
PAJAK SEBELUM REFORMASI
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pelaksanaan reformasi atau pembaharuan sistem perpajakan nasioanal dewasa ini, terlebih dahulu kita lihat tonggak-tonggak sejarah khususnya sebelum tahun 1984 (masa pembaharuan sistem).
 Sebelum Kemerdekaan
Ø
Pemberlakuan sistem pajak sebelum kemerdekaan di Indonesia memang sejak dulu ada dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda pada masa sekitar tahun 1920-an.
Pada perkembangan sistem pajak pertama, diawali dengan adanya pemberlakuan pajak di wilayah kerajaan di Indonesia, yaitu Kerajaan Mataram dan Jawa di bawah kekuasaan pemerintah Belanda. Pada saat itu, tujuan penarikan pajak di kerajaan Mataram hanya merupakan wujud loyalitas rakyat kepada rajanya. Sebagai imbalannya maka rakyat akan mendapat pelayanan keamanan dan jaminan ketertiban. Sepanjang pemerintahan Mataram, raja-raja sudah melaksanakan hidup swasembada dan otonom. Sedangkan di kerajaan Jawa ditandai dengan adanya gambaran tentang petani Jawa yang dibebani pajak berat oleh kerajaan. Pungutan yang seolah-olah tak ada hentinya tersebut merupakan suatu hal yang sudah biasa bagi masyarakat tradisional Jawa khususnya.
Ada perbedaan mencolok dari dua sistem pajak di dua wilayah kerajaan tersebut, yaitu pertama, Jawa sebagai kerajaan agraris pajak terutama dipungut dalam bentuk natura dan kerja wajib, sedangkan pada Mataram sebagai kerajaan maritim pajak dipungut dari bidang perdagangan. Kedua, Jawa sebagai kerajaan agraris memiliki ketergantungan yang sangat kuat kepada raja dan tanah milik mereka tidak bisa disembunyikan hasilnya sehingga berakibat ketaatan membayar pajak, sedangkan Mataram sebagai kerajaan maritim memiliki sumber pendapatan yang mudah disembunyikan dan raja mengandalkan penerimaan pajak dari hasil perdagangan.
Perkembangan sistem pajak selanjutnya, ditandai dengan terjadinya kesulitan dalam sistem pemungutan dan penerimaan pajak. Hal tersebut dikarenakan pemerintah Belanda belum mempunyai personalia dan peralatan yang memadai. VOC sebagai badan perdagangan saat itu tidak memungut pajak pada penduduk kota atau daerah yang dikuasainya secara langsung, tetapi VOC malah memiliki monopoli penjualan candu, garam, dan lain-lain di luar pajak perdagangan. Melihat hal tersebut, Gubernur Jenderal Daendels saat itu pun mengadakan pemungutan pajak secara langsung dari pintu gerbang (tolpoorten) dan Pajak Penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah jadi.
Pemerintahan selanjutnya yang dipimpin oleh Gubenur Jenderal Raffless menjadikan adanya sebuah pembaharuan sistem pajak. Sistem pajak tersebut kemudian dikenal dengan landrente stelsel, yang mengambil contoh sistem dari Benggala (India). Sistem pajak tanah tersebut menurut Raffless, jika petani menjual produksinya maka mereka mempunyai uang bagi membayar pajak tanah dan membeli tekstil sebagai bentuk daya beli mayarakat.
Seiring berjalannya waktu, pemberlakuan sistem pajak oleh birokrasi pemerintahan kolonial tersebut menuai banyak bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat, khususnya petani. Memang selama penjajahan, ciri yang melekat dalam sejarah perpajakan sering menyebabkan kehebohan di kalangan rakyat. Karena pajak itu beban berat dan dirasakan berat lagi, dan pajak merupakan ungkapan dari meluasnya mesin kolonial. Dalam kasus tersebut, rakyat bangkit melawan suatu bentuk penindasan dan dalam mengungkapkan kekecewaannya, mereka secara samar-samar mengeluarkan rasa benci terhadap pajak yang meningkat, pekerjaan, dan pungutan yang dituntut pemerintah kolonial.
Produk Undang-Undang Pajak Kolonial semakin menampakkan ciri eksploitasi karena disususn untuk sarana memaksa dan pada hakikatnya sebagaimana kebijaksanaan kolonial lainnya dilandasi kepentingan penjajah. Dan pada masa itu, pajak benar-benar merupakan beban bagi rakyat baik secara ekonomi maupun sosial dikarenakan sistem pemungutan, penetapan, dan semata-mata sebagai sarana menghimpun dana yang digunakan oleh penjajah saat itu, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada unsur stabilitas, apalagi pemerataan dan keadilan.

 Setelah kemerdekaan
Ø
Sistem perpajakan Indonesia yang digunakan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI ternyata sebagian besar masih merupakan sistem perpajakan warisan kolonial. Kondisi ini kemudian mengakibatkan apa yang oleh banyak pengamat disebut trauma perpajakan yang kemunculannya sudah jauh dari pada masa kolonial, yakni sistem perpajakan yang sangat eksploitatif dan menindas rakyat.
Setelah merdeka, maka sudah seharusnyalah Indonesia mengatur dan menentukan kepentingan-kepentingannya sendiri. Seperti halnya negara-negara yang baru merdeka, maka pemerintah RI lebih memfokuskan perhatiannya terutama dalam mempertahankan kemerdekaan dan usaha yang bersifat konsolidasi nasional. Meskipun pada akhirnya, disadari bahwa untuk mencapai sistem perpajakan yang cocok bagi Indonesia merdeka perlu diadakan tambahan, perbaikan bahkan perubahan Undang-Undang Perpajakan yang sebagian besaranya merupakan warisan kolonial.
PAJAK SETELAH REFORMASI
Seiring berjalan waktu, perubahan sistem pajak sebelum reformasi tersebut merasa perlu untuk diperbaiki, atau diperbaharui demi menemukan sistem perpajakan yang sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945.
 Tahun 1960-1982
Ø
Pada awal masa Orde Baru (1960-an), pemerintah melancarkan pembenahan sistem fiskal, terutama dalam sistem perpajakannya. Para pengamat pembangunan di Indonesia yang sinis dan kritis mengatakan bahwa pada masa Orde Baru dalam kebijakannya untuk menutup defisit anggaran bagi pengeluaran yang meningkat perlu diimbangi dengan penerimaan yang cukup besar terutama ditekankan pada sektor pajak.
Berpijak pada Ketetapan MPRS No. 23 Tahun 1966, pemerintah Orde Baru pun berusaha merealisasikan kemajuan pembangunan dengan meningkatkan pemasukan atau penghasilan melalui Pembaruan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan dengan mengubah sistem perpajakan, yakni perbaikan administrasi perpajakan dengan disertai usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan pajak, perubahan tingkatan pajak, dan perubahan struktur pajak.
Usaha pembaruan sistem perpajakan mulai tampak nyata, yairu dengan pengiriman oleh Menteri Keuangan Frans Seda pada tanggal 17 Juli 1969 kepada Pimpinan DPR Gotong Royong di Jakarta perihal Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak.
Pada akhirnya, diadakan perubahan atas perundang-undangan pajak yang agak mendasar pada tahun 1967 sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 Jo Peraturan Pemerintah No. 11 perubahan Tahun 1967 mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925, yang secara umum dikenal dengan sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain).
Konsep MPS dan MPO merupakan pembaruan sistem pemungutan pajak dimana kalau sebelumnya kegiatan dalam penghitungan dan pemungutan pajak sebagian besar dilaksanakan sepihak oleh aparat pajak, maka dalam sistem yang baru mengalami perubahan. Sistem pemungutan lama telah mengalami kegagalan dan karenanya diperkenalkan tata cara pemungutan pajak MPS dan MPO dimana peran utama bukan dari aparat pajak, melainkan dari wajib pajak itu sendiri.
Yang dimaksudkan dengan tata cara MPS dan MPO adalah :
a) MPS adalah tata cara dimana wajib pajak menghitung dan mem bayar sendiri jumlah pajak-pajak; pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang menurut Undang-Undang Pajak tersebut yang terhutang dalam satu masa pajak.
b) Dalam rangka pelaksanaan tata cara MPO tersebut di atas, maka dapat ditunjukkan orang atau badan lain yang melakukan perhitungan pajak yang bersangkutan dalam satu masa pajak.
Pengenalan sistem MPS dan MPO ini, merupakan suatu bentuk self assesment dan semi assesment seperti yang telah diterapkan di AS, Jepang, dan negara lain dimana wajib pajak diberi kewajiban untuk:
a) Menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan ataupun laba.
b) Menhitung sendiri besarnya pajak pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang terhutang serta menyerahkan kepada kas negara.
Adanya perubahan tersebut masih dihadapkan pada masalah pengetahuan dan disiplin wajib pajak yang ada, karena sistem tersebut dipengaruhi pengetahuan dan disiplin wajib pajak.
Beberapa fenomena tentang munculnya sistem MPS dan MPO dengan sekaligus telah memberi gambaran bahwa pada masa Orde Baru, kondisi ekonomi masyarakat telah membutuhkan suasana baru dalam perpajakan. Setelah mengalami pembahasan yang memakan cukup waktu, akhirnya DPR Gotong Royong pada tanggal 26 Agustus 1967 mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 dengan memberlakukan tata cara MPS dan MPO. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967 yang ditetapkan 19 September 1967 merupakan peraturan pelaksanaannya.

 Tahun 1983-sekarang
Ø
Usaha pemerintah RI dalam rangka pembaruan sistem perpajakan menjadi sistem perpajakan yang sesuai dengan hakikat dan martabat bangsa ternyata tidak berhenti begitu saja.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 yang bertujuan agar diperoleh efektifitas yang lebih maksimal malah tidak memberikan kesesuaian pencapaian sasaran pembinaan wajib pajak dan aparat pajak itu sendiri sesuai yang diharapkan. Pada dasarnya, tata cara pemungutan pajak telah diusahakan menggunakan pola modern, namun acuan perundang-undangannya masih mempergunakan undang-undang warisan kolonial. Itulah suatu kenyataan yang bertolak belakang dan perlu dibenahi lagi. Sepanjang sistem perpajakan dilandasi oleh ketentuan kolonial maka belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana penunjang ciat-cita bangsa dan pembangunan nasional yang dilaksanakan sekarang ini. Kondisi yang kurang kondusif dalam sistem perpajakan, seperti halnya pemberlakuan tarif pajak yang beragam, prosedur perpajakan yang berbeli-belit pun semakin menunjukkan bahwa sistem perpajakan tersebut masih berada di bawah standar sistem perpajakn kolonial.
Dalam tempo dua tahun, antara Desember 1983 sampai dengan Desember 1985, Pemerintah RI pun mampu menjebol dan menggantikan secara total sistem perpajakan kolonial menjadi PSPN (Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional). PSPN ini merupakan tindak lanjut penyempurnaan dari sistem MPS dan MPO yang telah ditetapkan pada Tahun 1967 sebelumnya. PSPN yang merupakan Undang-Undang Pajak baru yang diterapkan ini mencakup PSPN tahap I, meliputi Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang KUP, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang PPh, Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang PPN. Dan PSPN tahap II, meliputi Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang PBB, dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang BBM.
Perubahan mendasar yang telah dilakukan dalam PSPN adalah pertama, pemungutan pajak lama yang telah ditekankan pada kewajiban yang dipaksakan telah diganti dengan pola pemungutan sebagai bentuk perwujudan peran serta warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai pembangunan. Kedua, sistem pemungutan pajak official assesment yang lebih mengandalkan aparat pajak dalam proses administrasi pajak berubah menjadi self assesment yang merupakan sistem dimana masyarakat sebagai subjek pajak berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan utang pajak serta mempertanggungjawabkannya. Ketiga, sistem perpajakan lama memberikan fasilitas kepada sektor tertentu, selanjutnya dalam PSPN maka fasilitas diberikan secara menyeluruh dan merata melalui penurunan tarif, penyederhanaan prosedur serta peningkatan kepastian hukum dan pelayanan.
Maksud utama PSPN adalah dalam rangka peningkatan jumlah wajib pajak. Prasarana pendukung PSPNtelah dilakukan melalui usaha penerangan, pelayanan, pemeriksaan, dan sistem informasi serta law enforcement yang dilakukan secara berkesinambungan. Reformasi perpajakan tersebut juga telah mendasari perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak yang sudah tidak mampu menampung tugas dalam organisasi yang ada. Usaha yang dilakukan adalah bekerja sama dengan departemen dan lembaga pemerintahan lain untuk menggali perluasan NPWP (Nomor Pembayaran Wajib Pajak) yang baru.
Petunjuk awal dari keberhasilan PSPN mulai tampak pada tahun 1985, yaitu dengan meningkatnya jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan secara nasional. Namun demikian, kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut masih menunjukkan hal-hal yang belum mencapai sasaran yang diharapkan, sebagai akibat belum adanya koordinasi antar departemen. Sedangkan Inspeksi Pajak masih membatasi diri dalam bertindak memaksa wajib pajak untuk memiliki NPWP.
Sistem perpajakan baru yang meliputi undang-undang, mekanisme dan aparat serta faktor ekonomi, sosial dan politik yang mendukung, minimal telah menjadi faktor penentu keberhasilan PSPN dalam bentuk kenaikan jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan yang pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan penerimaan negara dari sektor pajak.
Dengan dikeluarkannya seperangkat undang-undang perpajakan baru sebagai jawaban atas kebutuhan sistem perpajakan modern yang sesuai falsafah Indonesia, maka tindak lanjut yang berkenaan dengan pelaksanaan menuju keberhasilan pada masa akan datang adalah masalah pemasyarakatan undang-undang tersebut sebagai bagian dari hukum publik, sehingga masyarakat sebagai basis pajak tidak buta terhadap dasar hukum sistem perpajakan yang ada. Untuk itu, sistem penginformasian perlu senantiasa terus diupayakan melalui sarana media massa yang langsung menjangkau sampai di kalangan masyarakat wajib pajak yang perlu dihargai hak dan kewajibannya. Kampanye yang mendorong kesadaran masyarakat untuk secara sadar membayar kewajiban pajaknya perlu diupayakan dan didukung oleh peningkatan kualitas aparat pajak sebagai ujung tombak Dirjen Pajak dalam melayani masyarakat.


Sejarah Perpajakan di Indonesia
Pada masa kerajaan dahulu telah ada pungutan seperti pajak. Namun, pungutan seperti itu dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini dapat dipandang sebagi manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara).
Pada awal kemerdekaan, dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan pajak penjualan(PPn) 1951 Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “Landrent” (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut “Landrente”. Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964.
Pada tahun 1960 dikeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia, ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967 dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang berlaku mulai 1 November 1965.
Sedangkan untuk pajak penghasilan, dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan, tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diberlakukan kepada orang Eropa seperti “patent duty”. Sebaliknya, business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Selain itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.
Tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yaitu Ordonansi Pajak Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yaitu asas keadilan domisili dan asas sumber.
Tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yaitu pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan), dengan berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia dan kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia. Ordonansi ini telah mengenal asas domisili dan asas sumber.
Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Penisbahan dan Penyempurnaan Tatacara Pcmungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam prakteknya lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah UU No. 8 tahun 1970 memasukkan fungsi pajak mengatur/regulerend dalam Ordonansi PPs 1925, khususnya tentang ketentuan “tax holiday”. Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yaitu pada saat diadakannya tax reform.
Tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan “UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.

Reformasi Perpajakan di Indonesia
Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan. Reformasi pajak dilakukan agar sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Tentu saja dengan memperhatikan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan (equality), kesederhanaan (simplicity), dan keadilan (fairness), sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro.
Adapun langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut antara lain meliputi :
1. Langkah-langkah pembaruan kebijakan (tax policy reform); melalui Perubahan UU PPh, Perubahan UU PPN dan PPnBM, Perubahan UU PBB, Perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU cukai. Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang Perpajakan ini lebih dititik-beratkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi, serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan.
2. Langkah-langkah pembaruan administrasi perpajakan (tax administrative reform); meliputi :
a) penyempurnaan peraturan pelaksanaan undang-undang perpajakan;
b) pembentukan dan perluasan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) khusus Wajib Pajak (WP) Besar (Large Taxpayer Office, LTO), diantaranya meliputi pembentukan organisasi berdasarkan fungsi, pengembangan sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi dengan pendekatan fungsi, dan implementasi dari prinsip-prinsip Good Corporate Governance;
c) pembangunan KPP khusus WP menengah, dan KPP khusus WP kecil di Kanwil VI Direktorat Jenderal Pajak;
d) pengembangan basis data, pembayaran pajak dan penyampaian SPT secara online;
e) perbaikan manajemen pemeriksaan pajak; serta
f) peningkatan efektivitas penerapan kode etik di jajaran Direktorat Jenderal Pajak dan Komisi Ombudsman Nasional.
Reformasi perpajakan pertama, tahun 1983, dengan diundangkannya :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh 1984);
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN 1984);
4. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi (UU PBB) dan Bangunan; dan
5. Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (UU BM).
Reformasi undang-undang perpajakan tersebut benar-benar mengganti perpajakan warisan Belanda seperti Pajak Perseroan 1944.
Adapun perubahan yang telah dilakukan adalah :
1. UU KUP telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994 (perubahan pertama), UU No. 16 Tahun 2000 (perubahan kedua) dan UU No. 28 Tahun 2007 (perubahan ketiga).
2. UU PPh 1984 telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1991 (perubahan pertama), UU No. 10 Tahun 1994 (perubahan kedua), UU No. 17 Tahun 2000 (perubahan ketiga) dan UU No. 36 Tahun 2008 (perubahan keempat).
3. UU PPN dan PPn BM 1984 telah diubah dengan UU No. 11 tahun 1994 (perubahan pertama), UU No. 18 tahun 2000 (perubahan kedua) dan UU No. 42 TAhun 2009 (perubahan ketiga).
4. UU PBB telah diubah dengan UU No. 12 tahun 1994 (perubahan pertama), UU No. 20 tahun 2000 (perubahan kedua) dan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 (perubahan ketiga).
Analisis
1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Salah satu dari undang-undang perpajakan yang utama yang berlaku setelah reformasi perpajakan tahun 1983 adalah Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 hanya berisikan Hukum Pajak Formal, yang semata-mata memuat peraturan-peraturan mengenai tata-cara pelaksanaan pemungutan pajak oleh negara.
Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983 tidak mengubah nama UU tersebut, yaitu Ketentuan Umum Perpajakan.
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983. Perubahan pertama pada 1994 (berlaku efektif tahun pajak 1995), sedangkan perubahan kedua pada 2000 (berlaku mulai tahun pajak 2001).
Revisi pertama dan kedua, secara substansial, tidak terlalu banyak yang berubah. Fokus perubahan lebih pada upaya meningkatkan kepastian hukum dengan cara mengangkat peraturan pelaksanaan umumnya dalam bentuk keputusan menteri keuangan atau surat edaran dirjen pajak menjadi materi undang-undang. Perubahan lain menyangkut harmonisasi pasal-pasal dalam UU Perpajakan, yaitu memindahkan pasal dari satu UU ke UU yang lain. Ini berbeda dengan revisi UU KUP 2007, dimana perubahannya sangat substansial menyangkut sistem dan prosedur, penataan kembali hak dan kewajiban wajib pajak (WP), sanksi kepada fiskus, dan hubungan antara wajib pajak dan fiskus.
Isu penting dalam Undang-Undang dimaksud adalah mengenai keseimbangan hak dan kewajiban antara Wajib Pajak dan aparatur pajak. Selain itu, perbaikan dan penguatan kewenangan aparatur pajak agar tetap dapat berfungsi efektif namun tetap menjaga prinsip-prinsip akuntabilitas, proporsional, dan integritas. Undang-Undang ini akan menjadi acuan bagi perubahan undang-Undang perpajakan lainnya mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Dalam Undang-Undang tersebut terdapat pokok-pokok perubahan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, antara lain:
i. Ketentuan mengenai pengambilan, pengisian, penandatanganan dan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) dapat dilakukan melalui media elektronik;
ii. Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh yang sebelumnya paling lambat tiga bulan diubah menjadi paling lambat empat bulan setelah akhir tahun pajak;
iii. Sanksi administrasi berupa denda bagi WP yang dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya setelah dilakukan pemeriksaan tetapi belum dilakukan tindak penyidikan, diturunkan dari 200% menjadi 150%;
iv. Daluwarsa penetapan pajak dan daluwarsa penagihan dipersingkat dari sepuluh tahun menjadi lima tahun sejak berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak;
v. Dalam rangka mendorong WP mengungkapkan penghasilan yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sebelum tahun 2007, WP diberi kesempatan untuk menyampaikan pembetulan dengan diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, dengan syarat pembetulan tersebut dilakukan pada tahun pertama berlakunya UU ini; dan
vi. Paling lama satu tahun setelah berlakunya UU ini, WP Orang Pribadi yang sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa SPT WP tidak benar atau lebih bayar.
2. Sistem Pemungutan Pajak
Pada masa sebelum Peraturan Perpajakan tahun 1983 diberlakukan, diterapkan Official Assessment System dimana dalam sistem pemungutan pajak ini memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. Sistem ini membuat WP bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang pun baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak.
Namun setelah tahun 1983, berdasarkan UU Perpajakan Tahun 1983 dan berlalu di Indonesia sejak tahun 1984 sampai sekarang diterapkan Self Assessment System, dimana WP diberi wewenang penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Sistem ini membuat WP aktif, sedangkan fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang terutang seseorang, kecuali WP melanggar ketentuan yang berlaku.
Tiga prinsip yang mendasari sistem dan mekanisme pemungutan pajak adalah:
· Pemungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melakukan kewajiban perpajakan yang diperlakukan untuk pembiayaan negara.
· Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
· Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong royongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment) sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.
3. Tarif Pajak
a. PPh
Pokok-pokok pikiran dalam UU No. 36 Tahun 2008 adalah:
1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh). Penurunan tarif PPh ini untuk mengimbangi tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP).
a. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.
b. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010. Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.
c. Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.
d. Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.
e. Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.
f. Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan kepatuhan WP.
2. Pembebasan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang telah mempunyai NPWP fiskal sejak 2009 serta penghapusan pemungutan fiskal luar negeri pada tahun 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.
3. Peningkatan nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan menjadi undang-undang.
4. Penerapan tarif pemotongan/pemungut an PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP
a. Pengenaan tarif 20% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 21.
b. Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 23.
c. Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 22
5. Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.
a. Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial
b. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.
c. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.
6. Pengecualian dari objek PPh
a. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.
b. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.
c. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak
7. Penegasan surplus Bank Indonesia sebagai objek pajak. Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.
8. Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak baik untuk WP Perseorangan (WP OP) maupun WP Badan telah terjadi perubahan.
Khusus untuk WP Badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU No. 17 tahun 2000 pasal 17 ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) UU No. 36 tahun 2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat 2a diatur lebih lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%.
UU PPh nomor 36 tahun 2008 berlaku efektif per 1 Januari 2009, dimana tarif PPh Badan menggunakan tarif tunggal 28% untuk tahun pajak 2009 (Pasal 17 ayat 1 huruf b) dan berubah menjadi 25% untuk tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat (2a)).
Sesuai Pasal 31E ayat (1) menyatakan bahwa : Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
b. PPN dan PPn BM
Ketentuan sebelumnya, sesuai UU NO. 18/2000 tentang PPN dan PPnBM, menyebutkan perubahan tariff PPN cukup dilakukan dengan penerbitan peraturan menteri. Namun kewenangan tersebut dicabut pada UU PPN dan PPn BM yang baru disahkan DPR.
Ketentuan sebelumnya, sesuai UU NO. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM, menyebutkan perubahan tariff PPN cukup dilakukan dengan penerbitan peraturan menteri sedangkan untuk ketentuan yang baru, dalam pasal 8 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 menyebutkan, penetapan kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah dengan tariff PPnBM paling rendah 10% dan maksimal 200%, wajib melalui Peraturan Pemerintah. sedangkan untuk tariff PPN diatur dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 menyebutkan, tarif PPN yang ditetapkan 10% dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. UU No. 42 Tahun 2009 secara resmi berlaku sejak 1 April 2010.
c. PPN dan PPn BM
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan untuk Perdesaan dan Perkotaan diturunkan dari 0,5 persen terhadap nilai jual obyek pajak menjadi paling tinggi 0,3 persen dari NJOP. Langkah ini diharapkan dapat memperluas basis pemungutan PBB. Kewenangan penetapan tarif PBB akan dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota setelah 31 Desember 2013.
Selain mengubah besaran tarifnya, UU ini juga menetapkan aturan baru tentang Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Sebelumnya, NJKP ditetapkan 20-100 persen dari NJOP yang sudah dikurangi NJOPTKP, kini aturan tersebut tidak dipergunakan lagi.
ak Lengkap
Pengertian Hukum Pajak Lengkap Beserta Definisi Menurut Para Ahli - Hukum pajak menurut Rochmat Soemitro adalah suatu kumpulan peraturan yang mengatur antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. hukum pajak menerangkan mengenai siapa saja wajib pajak (subjek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa saja yang dikenakan pajak, cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.


Hukum pajak disebut juga hukum fiscal yang berarti adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. 

Hukum pajak merupakan suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemunggut pajak dan rakatnya sebagai pembayar pajak. (Erly Suandi:2002) 

Hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara , sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukummantar negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (wajib pajak) (Santoso Brotodiharjo:2003). 

Hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak. (Bohari:2003,) 

Hukum pajak merupakan anak bagian dari hukum administrative, meskipun ada yang menghendaki agar hukum pajak diberikan tempat tersendiri disamping hukum adminuistratif yang diartikan sebagai otonomi hukum pajak karena hukum pajak mempunyai tugas yang bersifat lain daripada hukum administrative yaitu hukum pajak dipergunakan juga sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, selain itu hukum pajak pada umumnya mempunyai tata tertib dan istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya.

Beberapa hal yang diatur dalam hukum pajak :
  • Siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak
  • Objek apa saja yang menjadi objek pajak
  • Kewajiban pajak terhadap pemerintah
  • Timbul dan hapusnya utang pajak
  • Cara penagihan pajak
  • Cara mengajukan keberatsan dan banding

Tugas hukum perpajakan

Menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum itu. yang penting disini adalah tidak boleh diabaikan latar belakang ekonomis dari keadaan-keadaan dalam masyarakat.

Luasnya hukum perpajakan erat hubungannya dengan klehidupan masyarakat terutama dibidang kehidupan ekonomi dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan perpajakan sering berubah-ubah atau mengharuskan perubahan-perubahan peraturan pajaknya. Artinya cara pengatran pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai reaksi dari perubahan dalam kehidupan ekonomi masyarakat itu.

Hukum pajak dibedakan atas :

1. Hukum pajak material
Yaitu : memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa yang dikenakan pajak dan siapa-siapa yang dikecualikan dengan pajak dan berapa yang harus dibayar.

2. Hukum pajak formal
Yaitu : memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak material menjadi kenyataan.

Kedudukan Hukum Pajak Di indonesia

Sistem hukum pajak yang berlaku di Indonesia saat ini adalah civil law system atau sistem Eropa kontinental. Didalam sistem ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu hukum privat dan hukum publik.

  1. Hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan antara sesama individu dalam kedudukan yang sederajat, misalnya hukum perjanjian, hukum kewarisan, hukum keluarga, dan hukum perkawinan.
  2. Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan warga negara atau dengan kata lain, hukum yang mengatur kepentingan umum. Hukum publik ini berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah kenegaraan serta negara bagaimana melaksanakan tugasnya.

Ketentuan Umum Perpajakan di Indonesia

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah segala pengertian, ketentuan, peraturan dan hal-hal yang menyangkut perpajakan menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2000 (UU KUP).



HUKUM PAJAK DI INDONESIA

Pengertian
Hukum pajak atau di sebut juga hukum fiskal, adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembalh kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara & orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (wajib pajak).   
Hukum pajak dibedakan atas :
1.      Hukum pajak material
Yaitu : memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa yang dikenakan pajak dan siapa-siapa yang dikecualikan dengan pajak dan berapa yang harus dibayar.
2.      Hukum pajak formal
Yaitu : memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak material menjadi kenyataan.
Rochmat Soemitro mengartikan bahwa hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak atau dengan kata lain, hukum pajak menjelaskan mengenai siapa saja wajib pajak (subjek) dan apa saja kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa saja yang dikenakan pajak, tata cara penagihan, tata cara pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.
Santoso Brotodihardjo mengatakan bahwa hukum pajak bisa disebut hukum fiskal, yaitu keseluruhan peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada rakyat melalui kas negara.
Dengan demikian, hukum pajak merupakan salah satu bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak).
Pendapat-pendapat tersebut diatas menunjukkan bahwa hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyat. Pemerintah berperan penting dalam fungsinya sebagai pemungut pajak (fiscus) dan rakyat dalam kedudukannya sebagai subjek pajak (wajib pajak). Disebabkan adanya hubungan seperti itu maka hukum pajak dikategorikan sebagai hukum publik.
Kedudukan Hukum Pajak Di indonesia
Sistem hukum pajak yang berlaku di Indonesia saat ini adalah civil law system atau sistem Eropa kontinental. Didalam sistem ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu hukum privat dan hukum publik.
·        Hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan antara sesama individu dalam kedudukan yang sederajat, misalnya hukum perjanjian, hukum kewarisan, hukum keluarga, dan hukum perkawinan.
·        Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan warga negara atau dengan kata lain, hukum yang mengatur kepentingan umum.
Hukum publik ini berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah kenegaraan serta negara bagaimana melaksanakan tugasnya.
Hukum privat terdiri atas :
1). Hukum perjanjian,
2). Hukum kewarisan,
3). Hukum perkawinan,
4). Hukum keluarga,
5). Hukum dagang, dan
6). Hukum publik. Yang meliputi hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum lingkungan, hukum pajak, dan lain-lain.
Pada umumnya hukum pajak dimasukkan sebagai bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya. Hal tersebut dapat dimengerti, karena didalam hukum pajak diatur mengenai hubungan antara penguasa/pemerintah dalam fungsinya selaku fiskus (pemungut pajak) dengan rakyat dalam kapasitasnya sebagai wajib pajak.
Hukum pajak juga merupakan bagian dari hukum administrasi negara, karena hukum pajak juga mempunyai tugas yang yamg bersifat lain dari pada hukum administrasi negara pada umumnya, yaitu hukum pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian negara. Selain itu, umumnya hukum pajak juga memepunyai tata tertib dan istilah-istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya.
            Walaupun hukum pajak merupakan hukum publik, tetapi hukum pajak mempunyai hubungan yang erat dengan hukum perdata (privat) dan saling bersangkutan. Hal ini karena kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yag bergerak dalam lingkungan perdata seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian, penyerahan, pemindahan hak karena warisan, kompensasi pembebasan utang, dan sebagainya.
Hubungan antara hukum pajak dengan hukum perdata ini mungkin sekali timbul karena banyak dipergunakan istilah-istilah hukum perdata dalam pajak. Walaupun harus dipegang teguh prinsip bahwa pengertian-pengertian yang dianut oleh hukum perdata tidak selalu dianut oleh hukum pajak.
Apakah masih relevan hukum pajak di Indonesia?
Hukum pajak di Indonesia masih relevan saat ini karena di lihat dari sisi Sosiologis yaitu pajak sebesar-besarnya di gunakan untuk kesejahteraan rakyat, sedangkan Filosofis yaitu pajak untuk menciptakan keadilan sosial.


C . DASAR HUKUM PAJAK

Dalam naskah asli UUD 1945 Pasal 23 ayat (2) , mengatur : “ Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan UU “. Sedangkan dalam  UUD 1945 ( hasil amandemen ) , termuat dalam Pasal 23A : “ Pajak dan pungtan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan UU “.
Beberapa UU yang mengatur tentang pajak , yaitu :
1.      UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Ke 2 atas UU Nomor 6 Tahun1983 tentang Tatacara Perpajakan.
2.      UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan ke 3 atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3.      UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan ke 2 atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
4.      UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
5.      UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atasa UU Nomor 21 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
6.      UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Peradilan Pajak.

D . SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK

1.      Self Assesment System
Suatu sistem pemungutan pajak , dimana wajib pajak menetapkan sendiri jumlah pajak terutang , sesuain dengan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan.
2.      Official Assesment System
Suatu sistem pemungutan pajak dimana aparatur pajak menetapkan sendiri jumlah pajak terutang . Dalam menghitung dan menetapkan pemungutan pajak , sepenuhnys berada pada aparatur pajak.
3.      Withholding system
Suatu sistem perpajakan dimana perhitungan , pemotongan dan pembayaran pajak , serta pelaporan pajak dipercayakan pemerintah untuk memotong atau memungut pajak.

E . KAITAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM POSITIF INDONESIA

Cara dimana negara mendapat penghasilan atau penerimaan uang dari sektor lain selain pajak antara lain :
a.       Denda dan perampasan.
b.      Pendapatan dari Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ).
c.       Barang milik pemerintah atau dikuasai oleh pemerintah.
d.      Hak – hak waris dari peninggalan yang terlantar.
Hukum pajak terkait dengan Hukum Perdata dan Hukum publik.
Yang termasuk hukum publik adalah :
a.       Hukum Pidana.
b.      Hukum Tata Negara.
c.       Hukum Administrasi.
1.      Kaitan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata.
a.       Dalam Hukum perkawinan , Antara lain diatur perihal perjanjian pisah harta.
b.      Tentang domisili atau tempat tinggal.
c.       Tentang hibah , dikenai pajak atas hibah , dan juga menetapkan dendanya sebagai obyek pajak , sedangkan pengaruh hukum pajak dalam lapangan Hukum Perdata Sangat dirasakan antara lain terdapatnya sebagian masyarakat atau wajib pajak yang berupaya untuk menghindar dari pengenaan pajak .Apabila hal ini terjadi ,maka telah timbul apa yang disebut perlawanan terhadap pajak , baik perlawanan yang bersifat aktif maupun perlawanan yang bersifat pasif.
2.      Kaitan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana.
Dalam Hukum Pajak , bentuk – bentuk pelanggaran atau penyimpanagan terhadap Undang – Undang Perpajkan adalah :
a.       Kejahatan Perpajakan.
b.      Pelanggaran terhadap Peraturan / Undang – Undang Perpajakan.
Kita ketahui bahwa perbuatan pidana dalam KUHP adalah :
a.       Kejahatan ( Buku II KUHP )
b.      Pelanggaran ( Buku III KUHP ).
Sanksi atau hukuman dalam Hukum Pajak antara lain berupa :
a.       Hukuman penjara / pidana.
b.      Hukuman administrasi.
Disamping sanksi pidana ada juga sanksi administratif. Dengan Demikian bagi wajib pajak apabila melakukan kejahatan atau pelanggaran di bidang perpajakan , dapat dikenai :
a.       Sanksi pidana yang dijatuhkan hakim pidana di Pengadilan Negeri.
b.      Sanksi administratif ( misalnya denda ) oleh Petugas Administrasi Pajak.





No comments:

Post a Comment

terimakasih telah mengunjungi blog saya.