REFORMASI SISTEM PERPAJAKAN
REFORMASI SISTEM PERPAJAKAN
Dalam membahas tentang perpajakan Indonesia, hal terpenting yang tidak boleh dilupakan adalah telah munculnya sistem perpajakan walaupun pada tingkat yang sederhana sejak masa kerajaan tertua di Indonesia. Dalam perkembangannya, sejarah perubahan sistem perpajakan selalu berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang menyertainya. Berikut akan dipaparkan perkembangan reformasi sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia.
PAJAK SEBELUM REFORMASI
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pelaksanaan reformasi atau pembaharuan sistem perpajakan nasioanal dewasa ini, terlebih dahulu kita lihat tonggak-tonggak sejarah khususnya sebelum tahun 1984 (masa pembaharuan sistem).
Sebelum KemerdekaanØ
Pemberlakuan sistem pajak sebelum kemerdekaan di Indonesia memang sejak dulu ada dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda pada masa sekitar tahun 1920-an.
Pada perkembangan sistem pajak pertama, diawali dengan adanya pemberlakuan pajak di wilayah kerajaan di Indonesia, yaitu Kerajaan Mataram dan Jawa di bawah kekuasaan pemerintah Belanda. Pada saat itu, tujuan penarikan pajak di kerajaan Mataram hanya merupakan wujud loyalitas rakyat kepada rajanya. Sebagai imbalannya maka rakyat akan mendapat pelayanan keamanan dan jaminan ketertiban. Sepanjang pemerintahan Mataram, raja-raja sudah melaksanakan hidup swasembada dan otonom. Sedangkan di kerajaan Jawa ditandai dengan adanya gambaran tentang petani Jawa yang dibebani pajak berat oleh kerajaan. Pungutan yang seolah-olah tak ada hentinya tersebut merupakan suatu hal yang sudah biasa bagi masyarakat tradisional Jawa khususnya.
Ada perbedaan mencolok dari dua sistem pajak di dua wilayah kerajaan tersebut, yaitu pertama, Jawa sebagai kerajaan agraris pajak terutama dipungut dalam bentuk natura dan kerja wajib, sedangkan pada Mataram sebagai kerajaan maritim pajak dipungut dari bidang perdagangan. Kedua, Jawa sebagai kerajaan agraris memiliki ketergantungan yang sangat kuat kepada raja dan tanah milik mereka tidak bisa disembunyikan hasilnya sehingga berakibat ketaatan membayar pajak, sedangkan Mataram sebagai kerajaan maritim memiliki sumber pendapatan yang mudah disembunyikan dan raja mengandalkan penerimaan pajak dari hasil perdagangan.
Perkembangan sistem pajak selanjutnya, ditandai dengan terjadinya kesulitan dalam sistem pemungutan dan penerimaan pajak. Hal tersebut dikarenakan pemerintah Belanda belum mempunyai personalia dan peralatan yang memadai. VOC sebagai badan perdagangan saat itu tidak memungut pajak pada penduduk kota atau daerah yang dikuasainya secara langsung, tetapi VOC malah memiliki monopoli penjualan candu, garam, dan lain-lain di luar pajak perdagangan. Melihat hal tersebut, Gubernur Jenderal Daendels saat itu pun mengadakan pemungutan pajak secara langsung dari pintu gerbang (tolpoorten) dan Pajak Penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah jadi.
Pemerintahan selanjutnya yang dipimpin oleh Gubenur Jenderal Raffless menjadikan adanya sebuah pembaharuan sistem pajak. Sistem pajak tersebut kemudian dikenal dengan landrente stelsel, yang mengambil contoh sistem dari Benggala (India). Sistem pajak tanah tersebut menurut Raffless, jika petani menjual produksinya maka mereka mempunyai uang bagi membayar pajak tanah dan membeli tekstil sebagai bentuk daya beli mayarakat.
Seiring berjalannya waktu, pemberlakuan sistem pajak oleh birokrasi pemerintahan kolonial tersebut menuai banyak bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat, khususnya petani. Memang selama penjajahan, ciri yang melekat dalam sejarah perpajakan sering menyebabkan kehebohan di kalangan rakyat. Karena pajak itu beban berat dan dirasakan berat lagi, dan pajak merupakan ungkapan dari meluasnya mesin kolonial. Dalam kasus tersebut, rakyat bangkit melawan suatu bentuk penindasan dan dalam mengungkapkan kekecewaannya, mereka secara samar-samar mengeluarkan rasa benci terhadap pajak yang meningkat, pekerjaan, dan pungutan yang dituntut pemerintah kolonial.
Produk Undang-Undang Pajak Kolonial semakin menampakkan ciri eksploitasi karena disususn untuk sarana memaksa dan pada hakikatnya sebagaimana kebijaksanaan kolonial lainnya dilandasi kepentingan penjajah. Dan pada masa itu, pajak benar-benar merupakan beban bagi rakyat baik secara ekonomi maupun sosial dikarenakan sistem pemungutan, penetapan, dan semata-mata sebagai sarana menghimpun dana yang digunakan oleh penjajah saat itu, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada unsur stabilitas, apalagi pemerataan dan keadilan.
Setelah kemerdekaanØ
Sistem perpajakan Indonesia yang digunakan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI ternyata sebagian besar masih merupakan sistem perpajakan warisan kolonial. Kondisi ini kemudian mengakibatkan apa yang oleh banyak pengamat disebut trauma perpajakan yang kemunculannya sudah jauh dari pada masa kolonial, yakni sistem perpajakan yang sangat eksploitatif dan menindas rakyat.
Setelah merdeka, maka sudah seharusnyalah Indonesia mengatur dan menentukan kepentingan-kepentingannya sendiri. Seperti halnya negara-negara yang baru merdeka, maka pemerintah RI lebih memfokuskan perhatiannya terutama dalam mempertahankan kemerdekaan dan usaha yang bersifat konsolidasi nasional. Meskipun pada akhirnya, disadari bahwa untuk mencapai sistem perpajakan yang cocok bagi Indonesia merdeka perlu diadakan tambahan, perbaikan bahkan perubahan Undang-Undang Perpajakan yang sebagian besaranya merupakan warisan kolonial.
PAJAK SETELAH REFORMASI
Seiring berjalan waktu, perubahan sistem pajak sebelum reformasi tersebut merasa perlu untuk diperbaiki, atau diperbaharui demi menemukan sistem perpajakan yang sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945.
Tahun 1960-1982Ø
Pada awal masa Orde Baru (1960-an), pemerintah melancarkan pembenahan sistem fiskal, terutama dalam sistem perpajakannya. Para pengamat pembangunan di Indonesia yang sinis dan kritis mengatakan bahwa pada masa Orde Baru dalam kebijakannya untuk menutup defisit anggaran bagi pengeluaran yang meningkat perlu diimbangi dengan penerimaan yang cukup besar terutama ditekankan pada sektor pajak.
Berpijak pada Ketetapan MPRS No. 23 Tahun 1966, pemerintah Orde Baru pun berusaha merealisasikan kemajuan pembangunan dengan meningkatkan pemasukan atau penghasilan melalui Pembaruan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan dengan mengubah sistem perpajakan, yakni perbaikan administrasi perpajakan dengan disertai usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan pajak, perubahan tingkatan pajak, dan perubahan struktur pajak.
Usaha pembaruan sistem perpajakan mulai tampak nyata, yairu dengan pengiriman oleh Menteri Keuangan Frans Seda pada tanggal 17 Juli 1969 kepada Pimpinan DPR Gotong Royong di Jakarta perihal Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak.
Pada akhirnya, diadakan perubahan atas perundang-undangan pajak yang agak mendasar pada tahun 1967 sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 Jo Peraturan Pemerintah No. 11 perubahan Tahun 1967 mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925, yang secara umum dikenal dengan sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain).
Konsep MPS dan MPO merupakan pembaruan sistem pemungutan pajak dimana kalau sebelumnya kegiatan dalam penghitungan dan pemungutan pajak sebagian besar dilaksanakan sepihak oleh aparat pajak, maka dalam sistem yang baru mengalami perubahan. Sistem pemungutan lama telah mengalami kegagalan dan karenanya diperkenalkan tata cara pemungutan pajak MPS dan MPO dimana peran utama bukan dari aparat pajak, melainkan dari wajib pajak itu sendiri.
Yang dimaksudkan dengan tata cara MPS dan MPO adalah :
a) MPS adalah tata cara dimana wajib pajak menghitung dan mem bayar sendiri jumlah pajak-pajak; pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang menurut Undang-Undang Pajak tersebut yang terhutang dalam satu masa pajak.
b) Dalam rangka pelaksanaan tata cara MPO tersebut di atas, maka dapat ditunjukkan orang atau badan lain yang melakukan perhitungan pajak yang bersangkutan dalam satu masa pajak.
Pengenalan sistem MPS dan MPO ini, merupakan suatu bentuk self assesment dan semi assesment seperti yang telah diterapkan di AS, Jepang, dan negara lain dimana wajib pajak diberi kewajiban untuk:
a) Menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan ataupun laba.
b) Menhitung sendiri besarnya pajak pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang terhutang serta menyerahkan kepada kas negara.
Adanya perubahan tersebut masih dihadapkan pada masalah pengetahuan dan disiplin wajib pajak yang ada, karena sistem tersebut dipengaruhi pengetahuan dan disiplin wajib pajak.
Beberapa fenomena tentang munculnya sistem MPS dan MPO dengan sekaligus telah memberi gambaran bahwa pada masa Orde Baru, kondisi ekonomi masyarakat telah membutuhkan suasana baru dalam perpajakan. Setelah mengalami pembahasan yang memakan cukup waktu, akhirnya DPR Gotong Royong pada tanggal 26 Agustus 1967 mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 dengan memberlakukan tata cara MPS dan MPO. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967 yang ditetapkan 19 September 1967 merupakan peraturan pelaksanaannya.
Tahun 1983-sekarangØ
Usaha pemerintah RI dalam rangka pembaruan sistem perpajakan menjadi sistem perpajakan yang sesuai dengan hakikat dan martabat bangsa ternyata tidak berhenti begitu saja.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 yang bertujuan agar diperoleh efektifitas yang lebih maksimal malah tidak memberikan kesesuaian pencapaian sasaran pembinaan wajib pajak dan aparat pajak itu sendiri sesuai yang diharapkan. Pada dasarnya, tata cara pemungutan pajak telah diusahakan menggunakan pola modern, namun acuan perundang-undangannya masih mempergunakan undang-undang warisan kolonial. Itulah suatu kenyataan yang bertolak belakang dan perlu dibenahi lagi. Sepanjang sistem perpajakan dilandasi oleh ketentuan kolonial maka belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana penunjang ciat-cita bangsa dan pembangunan nasional yang dilaksanakan sekarang ini. Kondisi yang kurang kondusif dalam sistem perpajakan, seperti halnya pemberlakuan tarif pajak yang beragam, prosedur perpajakan yang berbeli-belit pun semakin menunjukkan bahwa sistem perpajakan tersebut masih berada di bawah standar sistem perpajakn kolonial.
Dalam tempo dua tahun, antara Desember 1983 sampai dengan Desember 1985, Pemerintah RI pun mampu menjebol dan menggantikan secara total sistem perpajakan kolonial menjadi PSPN (Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional). PSPN ini merupakan tindak lanjut penyempurnaan dari sistem MPS dan MPO yang telah ditetapkan pada Tahun 1967 sebelumnya. PSPN yang merupakan Undang-Undang Pajak baru yang diterapkan ini mencakup PSPN tahap I, meliputi Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang KUP, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang PPh, Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang PPN. Dan PSPN tahap II, meliputi Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang PBB, dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang BBM.
Perubahan mendasar yang telah dilakukan dalam PSPN adalah pertama, pemungutan pajak lama yang telah ditekankan pada kewajiban yang dipaksakan telah diganti dengan pola pemungutan sebagai bentuk perwujudan peran serta warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai pembangunan. Kedua, sistem pemungutan pajak official assesment yang lebih mengandalkan aparat pajak dalam proses administrasi pajak berubah menjadi self assesment yang merupakan sistem dimana masyarakat sebagai subjek pajak berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan utang pajak serta mempertanggungjawabkannya. Ketiga, sistem perpajakan lama memberikan fasilitas kepada sektor tertentu, selanjutnya dalam PSPN maka fasilitas diberikan secara menyeluruh dan merata melalui penurunan tarif, penyederhanaan prosedur serta peningkatan kepastian hukum dan pelayanan.
Maksud utama PSPN adalah dalam rangka peningkatan jumlah wajib pajak. Prasarana pendukung PSPNtelah dilakukan melalui usaha penerangan, pelayanan, pemeriksaan, dan sistem informasi serta law enforcement yang dilakukan secara berkesinambungan. Reformasi perpajakan tersebut juga telah mendasari perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak yang sudah tidak mampu menampung tugas dalam organisasi yang ada. Usaha yang dilakukan adalah bekerja sama dengan departemen dan lembaga pemerintahan lain untuk menggali perluasan NPWP (Nomor Pembayaran Wajib Pajak) yang baru.
Petunjuk awal dari keberhasilan PSPN mulai tampak pada tahun 1985, yaitu dengan meningkatnya jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan secara nasional. Namun demikian, kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut masih menunjukkan hal-hal yang belum mencapai sasaran yang diharapkan, sebagai akibat belum adanya koordinasi antar departemen. Sedangkan Inspeksi Pajak masih membatasi diri dalam bertindak memaksa wajib pajak untuk memiliki NPWP.
Sistem perpajakan baru yang meliputi undang-undang, mekanisme dan aparat serta faktor ekonomi, sosial dan politik yang mendukung, minimal telah menjadi faktor penentu keberhasilan PSPN dalam bentuk kenaikan jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan yang pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan penerimaan negara dari sektor pajak.
Dengan dikeluarkannya seperangkat undang-undang perpajakan baru sebagai jawaban atas kebutuhan sistem perpajakan modern yang sesuai falsafah Indonesia, maka tindak lanjut yang berkenaan dengan pelaksanaan menuju keberhasilan pada masa akan datang adalah masalah pemasyarakatan undang-undang tersebut sebagai bagian dari hukum publik, sehingga masyarakat sebagai basis pajak tidak buta terhadap dasar hukum sistem perpajakan yang ada. Untuk itu, sistem penginformasian perlu senantiasa terus diupayakan melalui sarana media massa yang langsung menjangkau sampai di kalangan masyarakat wajib pajak yang perlu dihargai hak dan kewajibannya. Kampanye yang mendorong kesadaran masyarakat untuk secara sadar membayar kewajiban pajaknya perlu diupayakan dan didukung oleh peningkatan kualitas aparat pajak sebagai ujung tombak Dirjen Pajak dalam melayani masyarakat.
Dalam membahas tentang perpajakan Indonesia, hal terpenting yang tidak boleh dilupakan adalah telah munculnya sistem perpajakan walaupun pada tingkat yang sederhana sejak masa kerajaan tertua di Indonesia. Dalam perkembangannya, sejarah perubahan sistem perpajakan selalu berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang menyertainya. Berikut akan dipaparkan perkembangan reformasi sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia.
PAJAK SEBELUM REFORMASI
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pelaksanaan reformasi atau pembaharuan sistem perpajakan nasioanal dewasa ini, terlebih dahulu kita lihat tonggak-tonggak sejarah khususnya sebelum tahun 1984 (masa pembaharuan sistem).
Sebelum KemerdekaanØ
Pemberlakuan sistem pajak sebelum kemerdekaan di Indonesia memang sejak dulu ada dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda pada masa sekitar tahun 1920-an.
Pada perkembangan sistem pajak pertama, diawali dengan adanya pemberlakuan pajak di wilayah kerajaan di Indonesia, yaitu Kerajaan Mataram dan Jawa di bawah kekuasaan pemerintah Belanda. Pada saat itu, tujuan penarikan pajak di kerajaan Mataram hanya merupakan wujud loyalitas rakyat kepada rajanya. Sebagai imbalannya maka rakyat akan mendapat pelayanan keamanan dan jaminan ketertiban. Sepanjang pemerintahan Mataram, raja-raja sudah melaksanakan hidup swasembada dan otonom. Sedangkan di kerajaan Jawa ditandai dengan adanya gambaran tentang petani Jawa yang dibebani pajak berat oleh kerajaan. Pungutan yang seolah-olah tak ada hentinya tersebut merupakan suatu hal yang sudah biasa bagi masyarakat tradisional Jawa khususnya.
Ada perbedaan mencolok dari dua sistem pajak di dua wilayah kerajaan tersebut, yaitu pertama, Jawa sebagai kerajaan agraris pajak terutama dipungut dalam bentuk natura dan kerja wajib, sedangkan pada Mataram sebagai kerajaan maritim pajak dipungut dari bidang perdagangan. Kedua, Jawa sebagai kerajaan agraris memiliki ketergantungan yang sangat kuat kepada raja dan tanah milik mereka tidak bisa disembunyikan hasilnya sehingga berakibat ketaatan membayar pajak, sedangkan Mataram sebagai kerajaan maritim memiliki sumber pendapatan yang mudah disembunyikan dan raja mengandalkan penerimaan pajak dari hasil perdagangan.
Perkembangan sistem pajak selanjutnya, ditandai dengan terjadinya kesulitan dalam sistem pemungutan dan penerimaan pajak. Hal tersebut dikarenakan pemerintah Belanda belum mempunyai personalia dan peralatan yang memadai. VOC sebagai badan perdagangan saat itu tidak memungut pajak pada penduduk kota atau daerah yang dikuasainya secara langsung, tetapi VOC malah memiliki monopoli penjualan candu, garam, dan lain-lain di luar pajak perdagangan. Melihat hal tersebut, Gubernur Jenderal Daendels saat itu pun mengadakan pemungutan pajak secara langsung dari pintu gerbang (tolpoorten) dan Pajak Penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah jadi.
Pemerintahan selanjutnya yang dipimpin oleh Gubenur Jenderal Raffless menjadikan adanya sebuah pembaharuan sistem pajak. Sistem pajak tersebut kemudian dikenal dengan landrente stelsel, yang mengambil contoh sistem dari Benggala (India). Sistem pajak tanah tersebut menurut Raffless, jika petani menjual produksinya maka mereka mempunyai uang bagi membayar pajak tanah dan membeli tekstil sebagai bentuk daya beli mayarakat.
Seiring berjalannya waktu, pemberlakuan sistem pajak oleh birokrasi pemerintahan kolonial tersebut menuai banyak bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat, khususnya petani. Memang selama penjajahan, ciri yang melekat dalam sejarah perpajakan sering menyebabkan kehebohan di kalangan rakyat. Karena pajak itu beban berat dan dirasakan berat lagi, dan pajak merupakan ungkapan dari meluasnya mesin kolonial. Dalam kasus tersebut, rakyat bangkit melawan suatu bentuk penindasan dan dalam mengungkapkan kekecewaannya, mereka secara samar-samar mengeluarkan rasa benci terhadap pajak yang meningkat, pekerjaan, dan pungutan yang dituntut pemerintah kolonial.
Produk Undang-Undang Pajak Kolonial semakin menampakkan ciri eksploitasi karena disususn untuk sarana memaksa dan pada hakikatnya sebagaimana kebijaksanaan kolonial lainnya dilandasi kepentingan penjajah. Dan pada masa itu, pajak benar-benar merupakan beban bagi rakyat baik secara ekonomi maupun sosial dikarenakan sistem pemungutan, penetapan, dan semata-mata sebagai sarana menghimpun dana yang digunakan oleh penjajah saat itu, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada unsur stabilitas, apalagi pemerataan dan keadilan.
Setelah kemerdekaanØ
Sistem perpajakan Indonesia yang digunakan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI ternyata sebagian besar masih merupakan sistem perpajakan warisan kolonial. Kondisi ini kemudian mengakibatkan apa yang oleh banyak pengamat disebut trauma perpajakan yang kemunculannya sudah jauh dari pada masa kolonial, yakni sistem perpajakan yang sangat eksploitatif dan menindas rakyat.
Setelah merdeka, maka sudah seharusnyalah Indonesia mengatur dan menentukan kepentingan-kepentingannya sendiri. Seperti halnya negara-negara yang baru merdeka, maka pemerintah RI lebih memfokuskan perhatiannya terutama dalam mempertahankan kemerdekaan dan usaha yang bersifat konsolidasi nasional. Meskipun pada akhirnya, disadari bahwa untuk mencapai sistem perpajakan yang cocok bagi Indonesia merdeka perlu diadakan tambahan, perbaikan bahkan perubahan Undang-Undang Perpajakan yang sebagian besaranya merupakan warisan kolonial.
PAJAK SETELAH REFORMASI
Seiring berjalan waktu, perubahan sistem pajak sebelum reformasi tersebut merasa perlu untuk diperbaiki, atau diperbaharui demi menemukan sistem perpajakan yang sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945.
Tahun 1960-1982Ø
Pada awal masa Orde Baru (1960-an), pemerintah melancarkan pembenahan sistem fiskal, terutama dalam sistem perpajakannya. Para pengamat pembangunan di Indonesia yang sinis dan kritis mengatakan bahwa pada masa Orde Baru dalam kebijakannya untuk menutup defisit anggaran bagi pengeluaran yang meningkat perlu diimbangi dengan penerimaan yang cukup besar terutama ditekankan pada sektor pajak.
Berpijak pada Ketetapan MPRS No. 23 Tahun 1966, pemerintah Orde Baru pun berusaha merealisasikan kemajuan pembangunan dengan meningkatkan pemasukan atau penghasilan melalui Pembaruan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan dengan mengubah sistem perpajakan, yakni perbaikan administrasi perpajakan dengan disertai usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan pajak, perubahan tingkatan pajak, dan perubahan struktur pajak.
Usaha pembaruan sistem perpajakan mulai tampak nyata, yairu dengan pengiriman oleh Menteri Keuangan Frans Seda pada tanggal 17 Juli 1969 kepada Pimpinan DPR Gotong Royong di Jakarta perihal Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak.
Pada akhirnya, diadakan perubahan atas perundang-undangan pajak yang agak mendasar pada tahun 1967 sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 Jo Peraturan Pemerintah No. 11 perubahan Tahun 1967 mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925, yang secara umum dikenal dengan sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain).
Konsep MPS dan MPO merupakan pembaruan sistem pemungutan pajak dimana kalau sebelumnya kegiatan dalam penghitungan dan pemungutan pajak sebagian besar dilaksanakan sepihak oleh aparat pajak, maka dalam sistem yang baru mengalami perubahan. Sistem pemungutan lama telah mengalami kegagalan dan karenanya diperkenalkan tata cara pemungutan pajak MPS dan MPO dimana peran utama bukan dari aparat pajak, melainkan dari wajib pajak itu sendiri.
Yang dimaksudkan dengan tata cara MPS dan MPO adalah :
a) MPS adalah tata cara dimana wajib pajak menghitung dan mem bayar sendiri jumlah pajak-pajak; pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang menurut Undang-Undang Pajak tersebut yang terhutang dalam satu masa pajak.
b) Dalam rangka pelaksanaan tata cara MPO tersebut di atas, maka dapat ditunjukkan orang atau badan lain yang melakukan perhitungan pajak yang bersangkutan dalam satu masa pajak.
Pengenalan sistem MPS dan MPO ini, merupakan suatu bentuk self assesment dan semi assesment seperti yang telah diterapkan di AS, Jepang, dan negara lain dimana wajib pajak diberi kewajiban untuk:
a) Menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan ataupun laba.
b) Menhitung sendiri besarnya pajak pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang terhutang serta menyerahkan kepada kas negara.
Adanya perubahan tersebut masih dihadapkan pada masalah pengetahuan dan disiplin wajib pajak yang ada, karena sistem tersebut dipengaruhi pengetahuan dan disiplin wajib pajak.
Beberapa fenomena tentang munculnya sistem MPS dan MPO dengan sekaligus telah memberi gambaran bahwa pada masa Orde Baru, kondisi ekonomi masyarakat telah membutuhkan suasana baru dalam perpajakan. Setelah mengalami pembahasan yang memakan cukup waktu, akhirnya DPR Gotong Royong pada tanggal 26 Agustus 1967 mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 dengan memberlakukan tata cara MPS dan MPO. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967 yang ditetapkan 19 September 1967 merupakan peraturan pelaksanaannya.
Tahun 1983-sekarangØ
Usaha pemerintah RI dalam rangka pembaruan sistem perpajakan menjadi sistem perpajakan yang sesuai dengan hakikat dan martabat bangsa ternyata tidak berhenti begitu saja.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 yang bertujuan agar diperoleh efektifitas yang lebih maksimal malah tidak memberikan kesesuaian pencapaian sasaran pembinaan wajib pajak dan aparat pajak itu sendiri sesuai yang diharapkan. Pada dasarnya, tata cara pemungutan pajak telah diusahakan menggunakan pola modern, namun acuan perundang-undangannya masih mempergunakan undang-undang warisan kolonial. Itulah suatu kenyataan yang bertolak belakang dan perlu dibenahi lagi. Sepanjang sistem perpajakan dilandasi oleh ketentuan kolonial maka belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana penunjang ciat-cita bangsa dan pembangunan nasional yang dilaksanakan sekarang ini. Kondisi yang kurang kondusif dalam sistem perpajakan, seperti halnya pemberlakuan tarif pajak yang beragam, prosedur perpajakan yang berbeli-belit pun semakin menunjukkan bahwa sistem perpajakan tersebut masih berada di bawah standar sistem perpajakn kolonial.
Dalam tempo dua tahun, antara Desember 1983 sampai dengan Desember 1985, Pemerintah RI pun mampu menjebol dan menggantikan secara total sistem perpajakan kolonial menjadi PSPN (Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional). PSPN ini merupakan tindak lanjut penyempurnaan dari sistem MPS dan MPO yang telah ditetapkan pada Tahun 1967 sebelumnya. PSPN yang merupakan Undang-Undang Pajak baru yang diterapkan ini mencakup PSPN tahap I, meliputi Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang KUP, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang PPh, Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang PPN. Dan PSPN tahap II, meliputi Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang PBB, dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang BBM.
Perubahan mendasar yang telah dilakukan dalam PSPN adalah pertama, pemungutan pajak lama yang telah ditekankan pada kewajiban yang dipaksakan telah diganti dengan pola pemungutan sebagai bentuk perwujudan peran serta warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai pembangunan. Kedua, sistem pemungutan pajak official assesment yang lebih mengandalkan aparat pajak dalam proses administrasi pajak berubah menjadi self assesment yang merupakan sistem dimana masyarakat sebagai subjek pajak berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan utang pajak serta mempertanggungjawabkannya. Ketiga, sistem perpajakan lama memberikan fasilitas kepada sektor tertentu, selanjutnya dalam PSPN maka fasilitas diberikan secara menyeluruh dan merata melalui penurunan tarif, penyederhanaan prosedur serta peningkatan kepastian hukum dan pelayanan.
Maksud utama PSPN adalah dalam rangka peningkatan jumlah wajib pajak. Prasarana pendukung PSPNtelah dilakukan melalui usaha penerangan, pelayanan, pemeriksaan, dan sistem informasi serta law enforcement yang dilakukan secara berkesinambungan. Reformasi perpajakan tersebut juga telah mendasari perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak yang sudah tidak mampu menampung tugas dalam organisasi yang ada. Usaha yang dilakukan adalah bekerja sama dengan departemen dan lembaga pemerintahan lain untuk menggali perluasan NPWP (Nomor Pembayaran Wajib Pajak) yang baru.
Petunjuk awal dari keberhasilan PSPN mulai tampak pada tahun 1985, yaitu dengan meningkatnya jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan secara nasional. Namun demikian, kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut masih menunjukkan hal-hal yang belum mencapai sasaran yang diharapkan, sebagai akibat belum adanya koordinasi antar departemen. Sedangkan Inspeksi Pajak masih membatasi diri dalam bertindak memaksa wajib pajak untuk memiliki NPWP.
Sistem perpajakan baru yang meliputi undang-undang, mekanisme dan aparat serta faktor ekonomi, sosial dan politik yang mendukung, minimal telah menjadi faktor penentu keberhasilan PSPN dalam bentuk kenaikan jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan yang pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan penerimaan negara dari sektor pajak.
Dengan dikeluarkannya seperangkat undang-undang perpajakan baru sebagai jawaban atas kebutuhan sistem perpajakan modern yang sesuai falsafah Indonesia, maka tindak lanjut yang berkenaan dengan pelaksanaan menuju keberhasilan pada masa akan datang adalah masalah pemasyarakatan undang-undang tersebut sebagai bagian dari hukum publik, sehingga masyarakat sebagai basis pajak tidak buta terhadap dasar hukum sistem perpajakan yang ada. Untuk itu, sistem penginformasian perlu senantiasa terus diupayakan melalui sarana media massa yang langsung menjangkau sampai di kalangan masyarakat wajib pajak yang perlu dihargai hak dan kewajibannya. Kampanye yang mendorong kesadaran masyarakat untuk secara sadar membayar kewajiban pajaknya perlu diupayakan dan didukung oleh peningkatan kualitas aparat pajak sebagai ujung tombak Dirjen Pajak dalam melayani masyarakat.
Sejarah Perpajakan di Indonesia
Pada masa kerajaan
dahulu telah ada pungutan seperti pajak. Namun, pungutan seperti itu
dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja,
yang disampaikan rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur
raja dalam hal ini dapat dipandang sebagi manifestasi dari kekuasaan tunggal
kerajaan (negara).
Pada awal kemerdekaan,
dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi
pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan pajak
penjualan(PPn) 1951 Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai
dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial.
Pajak ini disebut “Landrent” (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari
Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut “Landrente”. Peraturan tentang
Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan
Ordonansi Landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonansi Pajak Kekayaan
(PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964.
Pada tahun 1960
dikeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah
berlaku atas semua tanah di Indonesia, ditegaskan lagi dengan Keputusan
Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967 dengan
pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi
kemudian namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965
yang berlaku mulai 1 November 1965.
Sedangkan untuk pajak
penghasilan, dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816,
sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi
sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun
1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan
orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa terdapat
banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan, tercatat
beberapa jenis pajak yang hanya diberlakukan kepada orang Eropa seperti “patent
duty”. Sebaliknya, business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang
pribumi. Selain itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax
yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada tahun 1908
terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan
badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang
sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang
bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat
pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari
1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.
Tahun 1920 dianggap
sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan
dengan diperkenalkannya General Income Tax yaitu Ordonansi Pajak
Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene
Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi
penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak
Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yaitu asas keadilan
domisili dan asas sumber.
Tahun 1925
ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de
Vennootschapbelasting) yaitu pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang
terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan), dengan berlakunya Ordonansi Pajak
Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka
timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan
ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de
Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang
pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah
diterapkan kepada penduduk Indonesia dan kepada bukan penduduk Indonesia hanya
dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia. Ordonansi
ini telah mengenal asas domisili dan asas sumber.
Ordonansi ini telah
mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8
tahun 1967 tentang Penisbahan dan Penyempurnaan Tatacara Pcmungutan Pajak
Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam
prakteknya lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah
UU No. 8 tahun 1970 memasukkan fungsi pajak mengatur/regulerend dalam Ordonansi
PPs 1925, khususnya tentang ketentuan “tax holiday”. Ordonasi PPs 1925
berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yaitu pada saat diadakannya tax
reform.
Tahun 1935 ditetapkanlah
Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada
majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif
dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan
Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun
1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor
21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun
1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat
dengan PPd. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama
dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang
Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak
Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan “UU MPO dan
MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai
dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di
Indonesia.
Reformasi Perpajakan di Indonesia
Reformasi perpajakan adalah perubahan yang
mendasar di segala aspek perpajakan. Reformasi pajak dilakukan agar sistem
perpajakan dapat lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan
globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Tentu saja
dengan memperhatikan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan
(equality), kesederhanaan (simplicity), dan keadilan (fairness), sehingga tidak
hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap
perkembangan kondisi ekonomi makro.
Adapun langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut antara lain meliputi :
1. Langkah-langkah pembaruan kebijakan
(tax policy reform); melalui Perubahan UU PPh, Perubahan UU PPN dan PPnBM,
Perubahan UU PBB, Perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU cukai.
Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang Perpajakan ini lebih
dititik-beratkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang
perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi, serta mengoptimalkan
penerimaan perpajakan.
2. Langkah-langkah pembaruan administrasi
perpajakan (tax administrative reform); meliputi :
a) penyempurnaan peraturan pelaksanaan
undang-undang perpajakan;
b) pembentukan dan perluasan Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) khusus Wajib Pajak (WP) Besar (Large Taxpayer Office,
LTO), diantaranya meliputi pembentukan organisasi berdasarkan fungsi,
pengembangan sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi dengan pendekatan
fungsi, dan implementasi dari prinsip-prinsip Good Corporate Governance;
c) pembangunan KPP khusus WP menengah, dan
KPP khusus WP kecil di Kanwil VI Direktorat Jenderal Pajak;
d) pengembangan basis data, pembayaran
pajak dan penyampaian SPT secara online;
e) perbaikan manajemen pemeriksaan pajak;
serta
f) peningkatan efektivitas penerapan kode
etik di jajaran Direktorat Jenderal Pajak dan Komisi Ombudsman Nasional.
Reformasi perpajakan
pertama, tahun 1983, dengan diundangkannya :
1.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(UU KUP);
2.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh 1984);
3.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN 1984);
4.
Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi (UU PBB) dan Bangunan; dan
5.
Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (UU BM).
Reformasi undang-undang
perpajakan tersebut benar-benar mengganti perpajakan warisan Belanda seperti
Pajak Perseroan 1944.
Adapun perubahan yang telah dilakukan
adalah :
1.
UU KUP telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994 (perubahan pertama), UU No. 16
Tahun 2000 (perubahan kedua) dan UU No. 28 Tahun 2007 (perubahan ketiga).
2.
UU PPh 1984 telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1991 (perubahan pertama), UU No.
10 Tahun 1994 (perubahan kedua), UU No. 17 Tahun 2000 (perubahan ketiga) dan UU
No. 36 Tahun 2008 (perubahan keempat).
3.
UU PPN dan PPn BM 1984 telah diubah dengan UU No. 11 tahun 1994 (perubahan
pertama), UU No. 18 tahun 2000 (perubahan kedua) dan UU No. 42 TAhun 2009
(perubahan ketiga).
4. UU PBB telah diubah dengan UU
No. 12 tahun 1994 (perubahan pertama), UU No. 20 tahun 2000 (perubahan kedua)
dan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 (perubahan ketiga).
Analisis
1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Salah
satu dari undang-undang perpajakan yang utama yang berlaku setelah reformasi
perpajakan tahun 1983 adalah Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 hanya berisikan
Hukum Pajak Formal, yang semata-mata memuat peraturan-peraturan mengenai
tata-cara pelaksanaan pemungutan pajak oleh negara.
Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983 tidak mengubah nama UU tersebut,
yaitu Ketentuan Umum Perpajakan.
Undang-Undang
No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan
perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983. Perubahan pertama pada 1994 (berlaku
efektif tahun pajak 1995), sedangkan perubahan kedua pada 2000 (berlaku mulai
tahun pajak 2001).
Revisi
pertama dan kedua, secara substansial, tidak terlalu banyak yang berubah. Fokus
perubahan lebih pada upaya meningkatkan kepastian hukum dengan cara mengangkat
peraturan pelaksanaan umumnya dalam bentuk keputusan menteri keuangan atau
surat edaran dirjen pajak menjadi materi undang-undang. Perubahan lain
menyangkut harmonisasi pasal-pasal dalam UU Perpajakan, yaitu memindahkan pasal
dari satu UU ke UU yang lain. Ini berbeda dengan revisi UU KUP 2007, dimana
perubahannya sangat substansial menyangkut sistem dan prosedur, penataan
kembali hak dan kewajiban wajib pajak (WP), sanksi kepada fiskus, dan hubungan
antara wajib pajak dan fiskus.
Isu
penting dalam Undang-Undang dimaksud adalah mengenai keseimbangan hak dan
kewajiban antara Wajib Pajak dan aparatur pajak. Selain itu, perbaikan dan
penguatan kewenangan aparatur pajak agar tetap dapat berfungsi efektif namun
tetap menjaga prinsip-prinsip akuntabilitas, proporsional, dan integritas.
Undang-Undang ini akan menjadi acuan bagi perubahan undang-Undang perpajakan lainnya
mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Dalam
Undang-Undang tersebut terdapat pokok-pokok perubahan mengenai Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan, antara lain:
i.
Ketentuan mengenai pengambilan, pengisian, penandatanganan dan penyampaian
Surat Pemberitahuan (SPT) dapat dilakukan melalui media elektronik;
ii.
Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh yang sebelumnya paling lambat tiga
bulan diubah menjadi paling lambat empat bulan setelah akhir tahun pajak;
iii.
Sanksi administrasi berupa denda bagi WP yang dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya setelah dilakukan pemeriksaan tetapi
belum dilakukan tindak penyidikan, diturunkan dari 200% menjadi 150%;
iv.
Daluwarsa penetapan pajak dan daluwarsa penagihan dipersingkat dari sepuluh
tahun menjadi lima tahun sejak berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau
tahun pajak;
v.
Dalam rangka mendorong WP mengungkapkan penghasilan yang belum dilaporkan dalam
SPT Tahunan PPh sebelum tahun 2007, WP diberi kesempatan untuk menyampaikan
pembetulan dengan diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi,
dengan syarat pembetulan tersebut dilakukan pada tahun pertama berlakunya UU
ini; dan
vi.
Paling lama satu tahun setelah berlakunya UU ini, WP Orang Pribadi yang
sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP diberikan penghapusan sanksi
administrasi atas pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan
bahwa SPT WP tidak benar atau lebih bayar.
2. Sistem Pemungutan Pajak
Pada
masa sebelum Peraturan Perpajakan tahun 1983 diberlakukan, diterapkan Official
Assessment System dimana dalam sistem pemungutan pajak ini memberi wewenang
kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus
dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. Sistem ini membuat WP bersifat
pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya
utang pajak seseorang pun baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak.
Namun
setelah tahun 1983, berdasarkan UU Perpajakan Tahun 1983 dan berlalu di
Indonesia sejak tahun 1984 sampai sekarang diterapkan Self Assessment System,
dimana WP diberi wewenang penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan,
dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Sistem ini membuat WP aktif,
sedangkan fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang
terutang seseorang, kecuali WP melanggar ketentuan yang berlaku.
Tiga prinsip yang
mendasari sistem dan mekanisme pemungutan pajak adalah:
· Pemungutan
pajak merupakan perwujudan pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara
langsung dan bersama-sama melakukan kewajiban perpajakan yang diperlakukan
untuk pembiayaan negara.
· Tanggung jawab
atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di
bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri.
Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya
berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan
kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
· Anggota
masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong
royongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment) sehingga melalui
sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi,
terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib
pajak.
3. Tarif Pajak
a. PPh
Pokok-pokok pikiran
dalam UU No. 36 Tahun 2008 adalah:
1. Penurunan tarif Pajak
Penghasilan (PPh). Penurunan tarif PPh ini untuk mengimbangi tarif PPh yang
berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya
saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak (WP).
a. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh
tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif
dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan
kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta
menjadi Rp 500 juta.
b.
Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan
30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010. Penerapan tarif
tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan
international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public
diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit
40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat
mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan
good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber
pembiayaan bagi perusahaan.
c.
Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar
50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai
dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong
berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan
bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat
mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.
d.
Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25
diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut
dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran angsuran pajak yang
lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.
e.
Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari
perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif
tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang
sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan
pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat
lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan
kepatuhan WP.
f.
Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif
tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut
dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang
saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih
rendah dan meningkatkan kepatuhan WP.
2.
Pembebasan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang telah mempunyai
NPWP fiskal sejak 2009 serta penghapusan pemungutan fiskal luar negeri pada
tahun 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi
orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan
kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan
untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan
pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP
sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.
3.
Peningkatan nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang
pribadi sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk
tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi
Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini
dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter
serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan menjadi
undang-undang.
4.
Penerapan tarif pemotongan/pemungut an PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak
memiliki NPWP
a.
Pengenaan tarif 20% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang
menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 21.
b.
Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang
menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 23.
c.
Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang
menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 22
5.
Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan
bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut
berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut
sebagai pengurang penghasilan bruto.
a.
Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur
sosial
b.
Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang
dilakukan di Indonesia.
c.
Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.
6.
Pengecualian dari objek PPh
a.
Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan
yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai
pajak.
b.
Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai
pajak.
c.
Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
tidak dikenai pajak
7.
Penegasan surplus Bank Indonesia sebagai objek pajak. Aturan ini dimaksudkan
untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI.
Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP dengan nama dan
dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah tambahan kemampuan
ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.
8.
Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang
usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang
usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan
UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan kena pajak baik untuk WP Perseorangan (WP OP) maupun WP Badan telah
terjadi perubahan.
Khusus
untuk WP Badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU
No. 17 tahun 2000 pasal 17 ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b)
UU No. 36 tahun 2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat
2a diatur lebih lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku
diturunkan lagi menjadi 25%.
UU
PPh nomor 36 tahun 2008 berlaku efektif per 1 Januari 2009, dimana tarif PPh
Badan menggunakan tarif tunggal 28% untuk tahun pajak 2009 (Pasal 17 ayat 1
huruf b) dan berubah menjadi 25% untuk tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat (2a)).
Sesuai
Pasal 31E ayat (1) menyatakan bahwa : Wajib Pajak badan
dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50%
(lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah).
b. PPN dan PPn BM
Ketentuan
sebelumnya, sesuai UU NO. 18/2000 tentang PPN dan PPnBM, menyebutkan perubahan
tariff PPN cukup dilakukan dengan penerbitan peraturan menteri. Namun
kewenangan tersebut dicabut pada UU PPN dan PPn BM yang baru disahkan DPR.
Ketentuan
sebelumnya, sesuai UU NO. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM, menyebutkan
perubahan tariff PPN cukup dilakukan dengan penerbitan peraturan menteri
sedangkan untuk ketentuan yang baru, dalam pasal 8 ayat (1) UU No. 42 Tahun
2009 menyebutkan, penetapan kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah
dengan tariff PPnBM paling rendah 10% dan maksimal 200%, wajib melalui
Peraturan Pemerintah. sedangkan untuk tariff PPN diatur dalam pasal 3 ayat (1)
UU No. 42 Tahun 2009 menyebutkan, tarif PPN yang ditetapkan 10% dapat diubah
menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% melalui penerbitan Peraturan
Pemerintah. UU No. 42 Tahun 2009 secara resmi berlaku sejak 1 April 2010.
c. PPN dan PPn BM
Tarif
Pajak Bumi dan Bangunan untuk Perdesaan dan Perkotaan diturunkan dari 0,5
persen terhadap nilai jual obyek pajak menjadi paling tinggi 0,3 persen dari
NJOP. Langkah ini diharapkan dapat memperluas basis pemungutan PBB. Kewenangan
penetapan tarif PBB akan dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
kabupaten/kota setelah 31 Desember 2013.
Selain
mengubah besaran tarifnya, UU ini juga menetapkan aturan baru tentang Nilai
Jual Kena Pajak (NJKP) dan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Sebelumnya, NJKP ditetapkan 20-100 persen dari NJOP yang sudah dikurangi
NJOPTKP, kini aturan tersebut tidak dipergunakan lagi.
ak Lengkap
Pengertian Hukum Pajak Lengkap
Beserta Definisi Menurut Para Ahli - Hukum pajak menurut Rochmat Soemitro
adalah suatu kumpulan peraturan yang mengatur antara pemerintah sebagai
pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. hukum pajak menerangkan
mengenai siapa saja wajib pajak (subjek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka
terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa saja yang dikenakan
pajak, cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.
Hukum pajak disebut juga hukum
fiscal yang berarti adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya
kembali kepada masyarakat melalui kas negara.
Hukum pajak merupakan suatu
kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai
pemunggut pajak dan rakatnya sebagai pembayar pajak. (Erly Suandi:2002)
Hukum pajak adalah keseluruhan
dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil
kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui
kas negara , sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur
hubungan-hubungan hukummantar negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum)
yang berkewajiban membayar pajak (wajib pajak) (Santoso
Brotodiharjo:2003).
Hukum pajak adalah suatu kumpulan
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut
pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak. (Bohari:2003,)
Hukum pajak merupakan anak bagian
dari hukum administrative, meskipun ada yang menghendaki agar hukum pajak
diberikan tempat tersendiri disamping hukum adminuistratif yang diartikan
sebagai otonomi hukum pajak karena hukum pajak mempunyai tugas yang bersifat
lain daripada hukum administrative yaitu hukum pajak dipergunakan juga sebagai
alat untuk menentukan politik perekonomian, selain itu hukum pajak pada umumnya
mempunyai tata tertib dan istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya.
Beberapa hal yang diatur dalam hukum pajak :
- Siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak
- Objek apa saja yang menjadi objek pajak
- Kewajiban pajak terhadap pemerintah
- Timbul dan hapusnya utang pajak
- Cara penagihan pajak
- Cara mengajukan keberatsan dan banding
Tugas hukum perpajakan
Menelaah keadaan-keadaan dalam
masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam
peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum itu. yang
penting disini adalah tidak boleh diabaikan latar belakang ekonomis dari
keadaan-keadaan dalam masyarakat.
Luasnya hukum perpajakan erat
hubungannya dengan klehidupan masyarakat terutama dibidang kehidupan ekonomi
dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan perpajakan sering berubah-ubah atau
mengharuskan perubahan-perubahan peraturan pajaknya. Artinya cara pengatran
pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai reaksi dari
perubahan dalam kehidupan ekonomi masyarakat itu.
Hukum pajak dibedakan atas :
1. Hukum pajak material
Yaitu : memuat ketentuan-ketentuan
tentang siapa yang dikenakan pajak dan siapa-siapa yang dikecualikan dengan
pajak dan berapa yang harus dibayar.
2. Hukum pajak formal
Yaitu : memuat
ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak material menjadi
kenyataan.
Kedudukan Hukum Pajak Di indonesia
Sistem hukum pajak yang berlaku
di Indonesia saat ini adalah civil law system atau sistem Eropa kontinental.
Didalam sistem ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu hukum privat dan hukum
publik.
- Hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan antara sesama individu dalam kedudukan yang sederajat, misalnya hukum perjanjian, hukum kewarisan, hukum keluarga, dan hukum perkawinan.
- Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan warga negara atau dengan kata lain, hukum yang mengatur kepentingan umum. Hukum publik ini berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah kenegaraan serta negara bagaimana melaksanakan tugasnya.
Ketentuan
Umum Perpajakan di Indonesia
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah segala
pengertian, ketentuan, peraturan dan hal-hal yang menyangkut perpajakan menurut
Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2000 (UU KUP).
HUKUM
PAJAK DI INDONESIA
Pengertian
Hukum pajak atau di sebut juga hukum
fiskal, adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang
pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembalh kepada
masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum
publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara & orang-orang
atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (wajib
pajak).
Hukum pajak dibedakan atas :
1.
Hukum pajak
material
Yaitu : memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa yang
dikenakan pajak dan siapa-siapa yang dikecualikan dengan pajak dan berapa yang
harus dibayar.
2.
Hukum pajak
formal
Yaitu : memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan
hukum pajak material menjadi kenyataan.
Rochmat Soemitro mengartikan bahwa
hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur antara
pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak atau dengan
kata lain, hukum pajak menjelaskan mengenai siapa saja wajib pajak (subjek) dan
apa saja kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah,
objek-objek apa saja yang dikenakan pajak, tata cara penagihan, tata cara
pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.
Santoso Brotodihardjo mengatakan bahwa
hukum pajak bisa disebut hukum fiskal, yaitu keseluruhan peraturan-peraturan
yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada rakyat melalui kas negara.
Dengan demikian, hukum pajak merupakan salah satu bagian
dari hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan antara negara dan orang-orang
atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering
disebut wajib pajak).
Pendapat-pendapat tersebut diatas
menunjukkan bahwa hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah dengan
rakyat. Pemerintah berperan penting dalam fungsinya sebagai pemungut pajak
(fiscus) dan rakyat dalam kedudukannya sebagai subjek pajak (wajib pajak).
Disebabkan adanya hubungan seperti itu maka hukum pajak dikategorikan sebagai
hukum publik.
Kedudukan Hukum Pajak Di indonesia
Sistem hukum pajak yang berlaku di
Indonesia saat ini adalah civil law system atau sistem Eropa kontinental.
Didalam sistem ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu hukum privat dan hukum
publik.
·
Hukum privat
adalah hukum yang mengatur hubungan antara sesama individu dalam kedudukan yang
sederajat, misalnya hukum perjanjian, hukum kewarisan, hukum keluarga, dan
hukum perkawinan.
·
Hukum publik
adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan warga negara atau
dengan kata lain, hukum yang mengatur kepentingan umum.
Hukum publik ini berurusan dengan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah-masalah kenegaraan serta negara bagaimana
melaksanakan tugasnya.
Hukum
privat terdiri atas :
1).
Hukum perjanjian,
2).
Hukum kewarisan,
3).
Hukum perkawinan,
4).
Hukum keluarga,
5).
Hukum dagang, dan
6).
Hukum publik. Yang meliputi hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi
negara, hukum lingkungan, hukum pajak, dan lain-lain.
Pada
umumnya hukum pajak dimasukkan sebagai bagian dari hukum publik yang mengatur
hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya. Hal tersebut dapat dimengerti,
karena didalam hukum pajak diatur mengenai hubungan antara penguasa/pemerintah
dalam fungsinya selaku fiskus (pemungut pajak) dengan rakyat dalam kapasitasnya
sebagai wajib pajak.
Hukum pajak juga merupakan bagian dari hukum administrasi
negara, karena hukum pajak juga mempunyai tugas yang yamg bersifat lain dari
pada hukum administrasi negara pada umumnya, yaitu hukum pajak juga dipergunakan
sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian negara. Selain itu, umumnya
hukum pajak juga memepunyai tata tertib dan istilah-istilah tersendiri untuk
lapangan pekerjaannya.
Walaupun hukum pajak merupakan hukum publik, tetapi hukum pajak mempunyai
hubungan yang erat dengan hukum perdata (privat) dan saling bersangkutan. Hal
ini karena kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas
kejadian-kejadian, keadaan-keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yag bergerak
dalam lingkungan perdata seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian, penyerahan,
pemindahan hak karena warisan, kompensasi pembebasan utang, dan sebagainya.
Hubungan antara hukum pajak dengan hukum perdata ini mungkin
sekali timbul karena banyak dipergunakan istilah-istilah hukum perdata dalam
pajak. Walaupun harus dipegang teguh prinsip bahwa pengertian-pengertian yang
dianut oleh hukum perdata tidak selalu dianut oleh hukum pajak.
Apakah
masih relevan hukum pajak di Indonesia?
Hukum pajak di Indonesia masih relevan saat ini karena di
lihat dari sisi Sosiologis yaitu pajak sebesar-besarnya di gunakan untuk
kesejahteraan rakyat,
sedangkan Filosofis yaitu pajak untuk menciptakan keadilan sosial.
C . DASAR HUKUM
PAJAK
Dalam naskah asli UUD 1945 Pasal 23
ayat (2) , mengatur : “ Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan UU “.
Sedangkan dalam UUD 1945 ( hasil
amandemen ) , termuat dalam Pasal 23A : “ Pajak dan pungtan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan UU “.
Beberapa UU yang mengatur tentang pajak
, yaitu :
1.
UU Nomor 16
Tahun 2000 tentang Perubahan Ke 2 atas UU Nomor 6 Tahun1983 tentang Tatacara
Perpajakan.
2.
UU Nomor 17
Tahun 2000 tentang Perubahan ke 3 atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
3.
UU Nomor 18
Tahun 2000 tentang Perubahan ke 2 atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
4.
UU Nomor 19
Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
5.
UU Nomor 20 Tahun
2000 tentang perubahan atasa UU Nomor 21 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan.
6.
UU Nomor 14
Tahun 2002 tentang Peradilan Pajak.
D . SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
1.
Self Assesment System
Suatu sistem
pemungutan pajak , dimana wajib pajak menetapkan sendiri jumlah pajak terutang
, sesuain dengan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan.
2.
Official Assesment System
Suatu sistem
pemungutan pajak dimana aparatur pajak menetapkan sendiri jumlah pajak terutang
. Dalam menghitung dan menetapkan pemungutan pajak , sepenuhnys berada pada
aparatur pajak.
3.
Withholding system
Suatu sistem
perpajakan dimana perhitungan , pemotongan dan pembayaran pajak , serta
pelaporan pajak dipercayakan pemerintah untuk memotong atau memungut pajak.
E . KAITAN
HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Cara dimana
negara mendapat penghasilan atau penerimaan uang dari sektor lain selain pajak
antara lain :
a.
Denda dan
perampasan.
b.
Pendapatan dari
Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ).
c.
Barang milik
pemerintah atau dikuasai oleh pemerintah.
d.
Hak – hak waris
dari peninggalan yang terlantar.
Hukum pajak terkait dengan Hukum
Perdata dan Hukum publik.
Yang termasuk hukum publik adalah :
a.
Hukum Pidana.
b.
Hukum Tata
Negara.
c.
Hukum
Administrasi.
1.
Kaitan Hukum
Pajak dengan Hukum Perdata.
a.
Dalam Hukum
perkawinan , Antara lain diatur perihal perjanjian pisah harta.
b.
Tentang
domisili atau tempat tinggal.
c.
Tentang hibah ,
dikenai pajak atas hibah , dan juga menetapkan dendanya sebagai obyek pajak ,
sedangkan pengaruh hukum pajak dalam lapangan Hukum Perdata Sangat dirasakan
antara lain terdapatnya sebagian masyarakat atau wajib pajak yang berupaya
untuk menghindar dari pengenaan pajak .Apabila hal ini terjadi ,maka telah
timbul apa yang disebut perlawanan terhadap pajak , baik perlawanan yang
bersifat aktif maupun perlawanan yang bersifat pasif.
2.
Kaitan Hukum
Pajak dengan Hukum Pidana.
Dalam Hukum Pajak , bentuk – bentuk
pelanggaran atau penyimpanagan terhadap Undang – Undang Perpajkan adalah :
a.
Kejahatan
Perpajakan.
b.
Pelanggaran
terhadap Peraturan / Undang – Undang Perpajakan.
Kita ketahui bahwa perbuatan pidana
dalam KUHP adalah :
a.
Kejahatan (
Buku II KUHP )
b.
Pelanggaran (
Buku III KUHP ).
Sanksi atau hukuman dalam Hukum Pajak
antara lain berupa :
a.
Hukuman penjara
/ pidana.
b.
Hukuman
administrasi.
Disamping sanksi pidana ada juga sanksi
administratif. Dengan Demikian bagi wajib pajak apabila melakukan kejahatan
atau pelanggaran di bidang perpajakan , dapat dikenai :
a.
Sanksi pidana
yang dijatuhkan hakim pidana di Pengadilan Negeri.
b.
Sanksi
administratif ( misalnya denda ) oleh Petugas Administrasi Pajak.
No comments:
Post a Comment
terimakasih telah mengunjungi blog saya.