Gudang Ilmu: Pengertian Riba

Saturday 15 April 2017

Pengertian Riba



A.  Riba yang Timbul Akibat Transaksi Jual Beli
1.    Riba Fadhl
Riba Fadhl adalah jual beli dengan tambahan pada salah satu barang yang saling ditukar. Dengan demikian, tambahan ini tanpa disertai penangguhan penyerahan. Riba ini tidak terjadi kecuali pada dua barang sejenis, seperti satu takar gandum dengan satu setengah takar gandum yang sama, satu gram emas dengan satu setengah gram emas. Ketentuan ini telah disepakati oleh para ulama dengan didasarkan pada hadist Abu Said al-Khudri yang diriwayatkan oleh syaikhan (Bukhari dan Muslim).[1]
“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali masing-masing dengan ukuran yang sama. Janganlah kalian melebihkan yang satu dengan yang lain. Dan janganlah kalian menjual perak kecuali masing-masing dengan ukuran yang sama. Janganlah kalian melebihkan yang satu dari yang lain.”
Abu Said al-Khudri meriwayatkan, bahwa nabi bersabda:[2]
“Janganlah kamu menjual satu dirham dengan dua dirham, sesungguhnya aku menakuti kamu berbuat riba.”
Riba Fadhl adalah riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria, seperti:
a.       Kualitas (mistlan bi mistlin)
b.      Kuantitas (sawa an bi sawa in)
c.       Penyerahan yang tidak dilakukan secara tunai (yadan bi yadin)
Pertukaran ini mengandung ketidak jelasan (gharar) bagi kedua belah pihak terhadap barang yang dipertukarkan. Dalam lembaga keuangan perbankan, riba fadhl dapat ditemui pada transaksi jual beli valuta asing yang tidka dilakukan secara tunai.[3]
Riba Fadhl tidak hanya terjadi pada uang saja akan tetapi juga terjadi pada komoditas lain. Hal itu akibat adanya penyelewengan atas ketentuan yang telah ditetapkan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan barter terhadap sebuah komoditas yaitu:
a.       Adanya persamaan pada kuantitas barang
b.      Adanya serah terima secara kontan dan tidak diperbolehkan adanya pengunduran yang dapat mendorong seorang untuk terjebak dalam riba nasi’ah.
c.       Diperbolehkan adanya perbedaan kuantitas barang jika objeknya berbeda dan tetap harus kontan.

2.    Riba Nasiah
Istilah Nasiah berasal dari kata nasa’a yang berarti menunda, menangguhkan atau menunggu.
Riba Nasiah yaitu melakukan jual beli dengan penyerahan barang pada jarak waktu tertentu (tidak tunai). Maksudnya proses jual beli ditangguhkan sampai waktu tertentu lalu ada tambahan ketika waktu tersebut sampai (jatuh tempo). Tanpa memenuhi harga sebagai kompensasi dari penangguhan. Maksudnya bahwa tambahan pada salah satu barang sebagai kompensasi penangguhan pembayaran diberikan tanpa imbalan, baik pertukaran antara dua barang sejenis maupun tidak, baik barang tersebut ukurannya sama maupun tidak. [4]
Dalil pengharaman riba ini adalah hadist ‘Ubadah yang diriwayatkan oleh Muslim:
“Jika jenis barang-barang ini berbeda, maka juallah sesuai keinginan kalian jika diserahkan dari tangan ke tangan.”
Begitu pula hadist abu Said al-Khudri yang diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim),
“Janganlah kalian menjual barang yang tidak ada dengan barang tunai (ada).”
Maksudnya, barang yang tidak tunai dengan barang yang tunai.
Dalam riwayat Muslim,
“Dengan masing-masing ukuran yang sama dan diserahkan dari tangan ke tangan.”
kesimpulannya adalah bahwa riba nasiah adalah penangguhan utang sebagai kompensasi dari tambahan atas kadar utang yang asli. Atau penundaan penyerahan salah satu barang yang ditukar dalam akad jual beli barang ribawi sejenis. Sedangkan riba fadhl adalah tambahan pada salah satu dari dua barang yang ditukar dalam pertukaran barang ribawi sejenis yang dilakukan secara tunai.
Jika seseorang pembeli mengatakan, “Harga barang ini adalah lima lira jika dibeli secara tunai, dan enam lira jika dibeli secara tidak tunai hingga bulan A”, maka inilah akad bay’ mu’ajjal (jual beli yang ditangguhkan) yang dibolehkan karena tidak mengandung riba sama sekali disebabkan perbedaan jenis barang.
3.    Riba Yad
Riba Yad yaitu jual beli dengan penundaan penyerahan kedua barang atau menyerahkan salah satu barang tetapi tanpa menyebut waktu penangguhan. Maksudnya, akad jual beli dua barang tidak sejenis, seperti gandum dengan jelai, tanpa penyerahan barang di majelis akad. Jenis riba ini masuk dalam defenisi riba nasiah menurut ulama hanafiyah, yaitu “penambahan barang pada utang”. Definisi ini muncul dari syarat penyerahan kedua barang ribawi di majelis akad. Dalam riba ini terjadi penangguhan penyerahan kedua barang atau salah satunya dengan tindakan kedua belah pihak bukan dengan penyaratan penangguhan.

B.  Riba yang Timbul Akibat Transaksi Hutang Piutang
1.      Riba Jahiliyah
Riba terjadi karena adanya utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena peminjam tidak mampu melunasi hutangnya setelah jatuh tempo. Ketidak mampuan mengembalikan utang ini kemudian dimanfaatkan oleh kreditur untuk menganbil keuntungan. Dalam perbankan syariah cara seperti ini dilarang karena merupakan bagian dari riba.[5]
Riba jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah “Kullu Qardin Jarra Manfa’atan fahuwa riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba. Memberi pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru’), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (tijarah). Jadi transaksi yang dari semula diniatkan untuk transaksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi transaksi yang bermotif bisnis.[6]
Riba Jahiliyah ini disebut dengan riba Jahiliyah adalah karena riba jenis inilah yang sering terjadi pada zaman jahiliyah. Contoh dari riba ini yaitu: Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo.
Contohnya: si A hutang Rp 1.000.000,- kepada si B dengan tempo selama 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata “Bayar hutangmu”, si A menjawab “Saya tidak punya uang, beri saya waktu 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000,- demikian seterusnya.
Riba Jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat banyak dampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal dikalangan masyarakat dengan istilah menganak uang.



2.      Riba Qardh
Riba Qardh termasuk kedalam Riba Nasiah, Riba Qardh adalah Pinjaman dengan bunga yang disyaratkan di awal akad. Atau suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyariatkan terhadap yang berhutang
Contohnya: si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad “Saya hutangi kamu Rp 1.000.000,- dengan tempo 1 bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000,-
Riba Qardh artinya menunda, menangguhkan atau menunggu dan mengacu kepada waktu yang diberikan bagi pengutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan tambahan atau premi. Oleh karena itu riba nasiah mengacu bunga pada utang. Dalam arti inilah istilah riba diharamkan dalam surat al-Baqorah ayat 275:[7]
... ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/ÃŒh9$# 4...
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Intinya adalah larangan riba nasiah mengandung implikasi bahwa penetapan suatu keuntungan positif di depan pada suatu pinjaman sebagai imbalan karena menunggu, menurut syariat islam tidak diperbolehkan.
Para ulama telah sepakat dalam sebuah kaidah yang harus diperhatikan dalam utang piutang yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap utang piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.” (Al Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in, 3/65; Subulus Salam, 4/97).
Dalam Al mughni Ibnu Qudamah mengatakan bahwa, “Karena yang namanya utang piutang adalah bentuk tolong menolong dan berbuat baik. Jika dipersyaratkan adanya tambahan ketika pengembalian utang, maka itu sudah keluar dari tujuan utama mengutangi yaitu untuk tolong menolong.”
Selain itu, ada sebuah hadist yang dapat dimaknai sebagai larangan terhadap utang piutang yang disertai dengan pengambilan keuntungan. Dalam hal ini rasulullah bersabda, yang artinya:
“Tidak boleh ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan).” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasaa’i). 


[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011) hlm. 311
[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 12, (Bandung: Pustaka Percekatan Offset, 1987), hlm.122
[3] Rizal dan Nilfirdaus, Ekonomi Islam, (Batusangkar: Stain Batusangkar Press, 2013), hlm.100
[4] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011) hlm.311-312
[5] Rizal dan Nilfirdaus, Ekonomi Islam, (Batusangkar: Stain Batusangkar Press, 2013), hlm.
[6] Adiwarman Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 40
[7] Rizal dan Nilfirdaus, ibid, hlm. 101

No comments:

Post a Comment

terimakasih telah mengunjungi blog saya.