Gudang Ilmu: Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh

Friday 14 April 2017

Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh



Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
1.        Pengertian Ushul fiqh

(اصول الفقه) دليل الفقه علي سبيل الاجمال[1][8].
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi berarti “sesuatu yang dasar bagi yang lainnya”.  Dengan demikian dapat diartikan bahwa ushul fiqh itu adalah ilmu yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dlilnya yang terinci.  Atau dalam artian sederhana : kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.[2][9] Sebagai contoh didalam kitab-kitab fiqh terdapat ungkapan bahwa “mengerjakan salat itu hukumnya wajib”. Wajibnya mengerjakan salat itulah yang disebut “hukum syara’.” Tidak pernah tersebut dalam Al-Qur;an maupun hadis bahwa salat itu hukumnya wajib. Yang ada hanyalah redaksi perintah mengerjakan salat. Ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah salat itulah yang dinamakan “Dalil syara’”. Dalam merumuskan kewajiban salat yang terdapat dalam dalil syara’ ada aturan yang harus menjadi pegangan. Kaidah dalam menentukannya, umpamanya “setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah merumuskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut dengan ‘Ilmu Ushul Fiqh”.  Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan ushul fiqh dan fiqh adalah, jika ushul fiqh itu pedoman yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya. Sedangkan fiqh itu hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil menurut aturan yang sudah ditentukanitu.[3][10]


2.     Ruang Lingkup Ushul Fiqh
Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh diatas, makas bahasan pokok dari ushul fiqh itu adalah :
a.       Dalil-dalil atau sumber hukum syara’
b.      Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu; dan
c.       Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum sayra’ dan dalil atau sumber yang mengandungnya.[4][11]

3.     Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqh lebih dahulu dilakukan ketimbang ilmu ushul fiqh. Seharusnya fiqh itu harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah dasarnya dan fiqh itu adalah hasilnya. Namun dalam penyusunannya ushul fiqh datang belakangan.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah ada pada masa sahabat. Para sahabat diantaranya Umar Ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, ‘Ali ibn Abi Thalib umpamanya, dalam mengemukakan pendapatnya tentang hukum sebenarnya sudah menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun tidak secara jelas mereka mengemukakan demikian.
Pada saat Ali ibn Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, beliau berkata, “ Bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berzina.” Dari pernyataan Ali tersebut ternyata menggunakan metode menutup pintu kejahatan atau yang dikenal dengan “sad al-dzar’ah”.
‘Abdullah ibn Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang ditinggal mati suaminya idahnya adalah sampai melahirkan anak. Mengemukakan argumennya dengan firman Allah , surah at-Thalaq: 4, meskipun dalam surah Al-Baqarah: 234 menjelaskan bahwa istri yang ditinggal mati suaminya idahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan hukum ini beliau menggunakan metode nasakh-mansukh. Dari kedua contoh tersebut para sahabat telah menggunakan metode ijtihad sesuai dengan pedoman walaupun pada waktu itu belum dirumuskan secara jelas.
Pada masa tabi’in lapangan istinbath semakin meluas dan perkembangannya cukup cepat. Meskipun dalam perjalanannya terdapat perbedaan metode sehingga menimbulkan beberapa aliran dalam ushul fiqh.
Abu Hanifah dalam usaha menetapkan hukum menggunakan metodenya tersendiri. Ia menerapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok dibarengi dengan hadis Nabi, dan fatwa sahabat. Abu Hanifah tidak mengambil fatma ulama tabi’in karena ia berpendapat bahwa dirinya satu ranking dengan mereka. Metodenya adalah menggunakan qiyas dan istihsan yang terlihat nyata.
Imam Malik lebih banyak menggunakan hadis ketimbang Abu Hanifah; mungkin karena begitu banyaknya hadis yang dia temukan. Metode yang digunakan Imam Malik dalam merumuskan hukum syara’ merupakan pantulan dari aliran Hijaz, sebagaimana metode yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari aliran Irak.
Setelah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam Syafi’i yang menemukan dalam masany perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat, tabi’in, dan imam-imam yang mendahuluinya. Imam Syafi’i menelaah setiap perdebatan antara berbagai kubu sehingga dapat menggali pengalamannya di tengah pendapat yang berbeda itu. Ia juga menimba ilmu dari Imam Malik dan Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah). Hasil akhir dari pengetahuannya itu memberikan  petunjuk kepada Imam Syafi’i untuk meletakan pedoman dan neraca berpikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dalilnya. Metode berpikir yang dirumuskan Imam Syafi’i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.
Sepeninggal Imam Syaf’i’i ushul fiqh menjadi pokok pembicaraan yang menarik pada waktu itu. Dan kemudian disempurnakan sebagian ulama yang kebanyakan pengikut Imam Syafi’i mengembangkannya dengan cara, antara lain: mensyarahkan, memerinci yang bersifat garis besar, mempercabangkannya pokok pikiran Imam Syafi’i, sehingga ushul fiqh Syafi’iyyah menemukan bentuk sempurnanya.[5][12]
Kemudian kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya diletakan Imam Syafi’i, mereka menambahkan pemikiran tentang istihsan dan ‘urf yang diambl dari imam mereka. Kelompok ulama Malikiyyah, di samping mengikuti beberapa dasar yang diletakan Imam Syafi’i dengan tidak mengikuti pendapat Syafi’i yang menolak ijma’ I ahli Madinah dan memasukan tambahan berupa maslahat mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan sad al-dzara’i.
Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar yang ditetapkan Imam Syafi’i tentang penggunaan dalil yang empat, yaitu: Al-Quran, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya terdapat perbedaan. Sepeninggalnya imam-imam mujtahid yang empat dinyatakan bahwa kegiatan ijtihad terhenti, namun sebenarnya yang terhenti adalah kegiatan ijtihad mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul mazhab yang tertentu masih tetap berlangsung yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis para imam terdahulu.
Sesudah melembaganya mazhab-mahab fiqh, maka arah pengembangan ushul fiqh terlihat dalam dua bentuk yang berbeda.
Pertama, arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah ushul yang tidak terpengaruh kepada furu’ mazhab mana pun menurut arahnya sendiri disebut ushul fiqh Syafi’iyyah atau fiqh aliran Mutakallimin. Kedua, mengarah pada penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Ulama fuqaha yang lebih banyak mengguankan metode ini adalah kelompok Hanafiyah.
Setelah dua metode ini berjalan dan berkembang dengan baik menurut aliran masing-masing, banyak bermunculan dari alirannya sendiri maupun gabungan kedua aliran seperti kitab Jam’ul Jawami’ dan al-Tahrir. [6][13]


BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian yang telah dipaparkan, bahwa ilmu ushul fiqh sangatlah penting dalam perumusan, penggalian dan penetapan hukum. Para mujtahid yang berkecipung dalam hal ini sudah mempelajari metode yang telah ditentukan, sehingga dalam mengistinbathkan hukum mereka tidak main-main. Meskipun dalam perjalanan terdapat perbedaan pendapat baik mengenai status hukum atau perbedaan dalam metode menentukan hukum yang mengakibatkan terjadinya beberapa aliran dalam ilmu ushul fiqh, namun itu semua merupakan suatu hal yang biasa dan perlu untk dicermati sehingga akan membuat umat semakin bijak dalam mengambil hukum.



Daftar Pustaka

Syarifuddin Amir, ushul fiqh, Jakarta; Kencana Perdana Media Group. 2011
Syafe’I Rachmat, ilmu ushul fiqih. Bandung; Pustaka Setia, 2010 
Wikipedia, mukallaf, mujtahid,; ciputat, akses pada 10 maret 2013
hakim, abdul hamid, al-bayan.



[7][1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 1
[8][2] Abdul hamid hakim, al-bayan. Hal 3-4
[9][3] Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA.  Ilmu ushul fiqh. Hal. 18
[10][4] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 3
[11][5] Mukallaf adalah muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum). Seseorang berstatus mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal. Sedangkan mujtahid adalah ialah orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu madzhab. Misalnya, Hazairin berijtihad tentang hukum kewarisan Islam, Mahmus Junus berijtihad tentang hukum perkawinan, A. Hasan Bangil berijtihad tentang hukum kewarisan dan hukum lainnya, Prof. Dr. H. M. Rasyidi berijtihad tentang filsafat Islam. Wikipedia, mukallaf. Mujtahid.
[12][6] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 5
[13][7] Ibid.Hal. 6-7



[1][8] Abdul hamid hakim, al-bayan. Hal 3-4

[2][9] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 41
[3][10]Ibid.. Hal. 42
[4][11] Ibid. Hal. 49
[5][12] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 46
[6][13] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 47-48







No comments:

Post a Comment

terimakasih telah mengunjungi blog saya.