Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
1. Pengertian Ushul fiqh
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal”
secara etimologi berarti “sesuatu yang dasar bagi yang lainnya”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ushul
fiqh itu adalah ilmu yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari
dlilnya yang terinci. Atau dalam
artian sederhana : kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan
hukum-hukum dari dalil-dalilnya.[2][9] Sebagai contoh didalam kitab-kitab fiqh terdapat ungkapan
bahwa “mengerjakan salat itu hukumnya wajib”. Wajibnya mengerjakan salat itulah
yang disebut “hukum syara’.” Tidak pernah tersebut dalam Al-Qur;an maupun hadis
bahwa salat itu hukumnya wajib. Yang ada hanyalah redaksi perintah mengerjakan
salat. Ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah salat itulah yang dinamakan
“Dalil syara’”. Dalam merumuskan kewajiban salat yang terdapat dalam dalil
syara’ ada aturan yang harus menjadi pegangan. Kaidah dalam menentukannya,
umpamanya “setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah
merumuskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah
yang disebut dengan ‘Ilmu Ushul Fiqh”.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan ushul fiqh dan
fiqh adalah, jika ushul fiqh itu pedoman yang membatasi dan menjelaskan
cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali dan
mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya. Sedangkan fiqh itu hukum-hukum syara’
yang telah digali dan dirumuskan dari dalil menurut aturan yang sudah
ditentukanitu.[3][10]
2. Ruang Lingkup
Ushul Fiqh
Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh diatas, makas
bahasan pokok dari ushul fiqh itu adalah :
a. Dalil-dalil
atau sumber hukum syara’
b. Hukum-hukum
syara’ yang terkandung dalam dalil itu; dan
c. Kaidah-kaidah
tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum sayra’ dan dalil atau sumber yang
mengandungnya.[4][11]
3. Sejarah dan
Perkembangan Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh
meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqh lebih dahulu dilakukan ketimbang ilmu
ushul fiqh. Seharusnya fiqh itu harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul
fiqh adalah dasarnya dan fiqh itu adalah hasilnya. Namun dalam penyusunannya
ushul fiqh datang belakangan.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah ada pada masa sahabat.
Para sahabat diantaranya Umar Ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, ‘Ali ibn Abi Thalib
umpamanya, dalam mengemukakan pendapatnya tentang hukum sebenarnya sudah
menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun tidak secara
jelas mereka mengemukakan demikian.
Pada saat Ali ibn Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk
sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, beliau berkata, “ Bila ia minum ia
akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak
benar; maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berzina.” Dari pernyataan Ali
tersebut ternyata menggunakan metode menutup pintu kejahatan atau yang dikenal
dengan “sad al-dzar’ah”.
‘Abdullah ibn Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya
tentang wanita hamil yang ditinggal mati suaminya idahnya adalah sampai
melahirkan anak. Mengemukakan argumennya dengan firman Allah , surah at-Thalaq:
4, meskipun dalam surah Al-Baqarah: 234 menjelaskan bahwa istri yang ditinggal
mati suaminya idahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan hukum
ini beliau menggunakan metode nasakh-mansukh. Dari kedua contoh tersebut
para sahabat telah menggunakan metode ijtihad sesuai dengan pedoman walaupun
pada waktu itu belum dirumuskan secara jelas.
Pada masa tabi’in lapangan istinbath semakin meluas
dan perkembangannya cukup cepat. Meskipun dalam perjalanannya terdapat
perbedaan metode sehingga menimbulkan beberapa aliran dalam ushul fiqh.
Abu Hanifah dalam usaha menetapkan hukum menggunakan
metodenya tersendiri. Ia menerapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok dibarengi
dengan hadis Nabi, dan fatwa sahabat. Abu Hanifah tidak mengambil fatma ulama
tabi’in karena ia berpendapat bahwa dirinya satu ranking dengan mereka.
Metodenya adalah menggunakan qiyas dan istihsan yang terlihat
nyata.
Imam Malik lebih banyak menggunakan hadis ketimbang
Abu Hanifah; mungkin karena begitu banyaknya hadis yang dia temukan. Metode
yang digunakan Imam Malik dalam merumuskan hukum syara’ merupakan pantulan dari
aliran Hijaz, sebagaimana metode yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan
dari aliran Irak.
Setelah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam
Syafi’i yang menemukan dalam masany perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang
semenjak periode sahabat, tabi’in, dan imam-imam yang mendahuluinya. Imam
Syafi’i menelaah setiap perdebatan antara berbagai kubu sehingga dapat menggali
pengalamannya di tengah pendapat yang berbeda itu. Ia juga menimba ilmu dari
Imam Malik dan Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah). Hasil akhir
dari pengetahuannya itu memberikan
petunjuk kepada Imam Syafi’i untuk meletakan pedoman dan neraca berpikir
yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan
hukum dalilnya. Metode berpikir yang dirumuskan Imam Syafi’i itulah yang
kemudian disebut “ushul fiqh”.
Sepeninggal Imam Syaf’i’i ushul fiqh menjadi pokok
pembicaraan yang menarik pada waktu itu. Dan kemudian disempurnakan sebagian
ulama yang kebanyakan pengikut Imam Syafi’i mengembangkannya dengan cara, antara
lain: mensyarahkan, memerinci yang bersifat garis besar, mempercabangkannya
pokok pikiran Imam Syafi’i, sehingga ushul fiqh Syafi’iyyah menemukan bentuk
sempurnanya.[5][12]
Kemudian kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian
yang dasar-dasarnya diletakan Imam Syafi’i, mereka menambahkan pemikiran
tentang istihsan dan ‘urf yang diambl dari imam mereka. Kelompok ulama
Malikiyyah, di samping mengikuti beberapa dasar yang diletakan Imam Syafi’i
dengan tidak mengikuti pendapat Syafi’i yang menolak ijma’ I ahli Madinah
dan memasukan tambahan berupa maslahat mursalah serta prinsip penetapan
hukum berdasarkan sad al-dzara’i.
Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda
dengan dasar yang ditetapkan Imam Syafi’i tentang penggunaan dalil yang empat,
yaitu: Al-Quran, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya
terdapat perbedaan. Sepeninggalnya imam-imam mujtahid yang empat dinyatakan
bahwa kegiatan ijtihad terhenti, namun sebenarnya yang terhenti adalah kegiatan
ijtihad mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul mazhab yang tertentu
masih tetap berlangsung yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul
fiqh yang dirintis para imam terdahulu.
Sesudah melembaganya mazhab-mahab fiqh, maka arah
pengembangan ushul fiqh terlihat dalam dua bentuk yang berbeda.
Pertama, arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah
ushul yang tidak terpengaruh kepada furu’ mazhab mana pun menurut arahnya
sendiri disebut ushul fiqh Syafi’iyyah atau fiqh aliran Mutakallimin. Kedua,
mengarah pada penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan
menyesuaikannya bagi kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang
telah berlangsung sebelumnya. Ulama fuqaha yang lebih banyak mengguankan metode
ini adalah kelompok Hanafiyah.
Setelah dua metode ini berjalan dan berkembang dengan
baik menurut aliran masing-masing, banyak bermunculan dari alirannya sendiri
maupun gabungan kedua aliran seperti kitab Jam’ul Jawami’ dan al-Tahrir.
[6][13]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan, bahwa ilmu ushul
fiqh sangatlah penting dalam perumusan, penggalian dan penetapan hukum. Para
mujtahid yang berkecipung dalam hal ini sudah mempelajari metode yang telah
ditentukan, sehingga dalam mengistinbathkan hukum mereka tidak main-main.
Meskipun dalam perjalanan terdapat perbedaan pendapat baik mengenai status
hukum atau perbedaan dalam metode menentukan hukum yang mengakibatkan
terjadinya beberapa aliran dalam ilmu ushul fiqh, namun itu semua merupakan
suatu hal yang biasa dan perlu untk dicermati sehingga akan membuat umat
semakin bijak dalam mengambil hukum.
Daftar Pustaka
Syarifuddin
Amir, ushul fiqh, Jakarta; Kencana Perdana Media Group. 2011
Syafe’I
Rachmat, ilmu ushul fiqih. Bandung; Pustaka Setia, 2010
Wikipedia, mukallaf, mujtahid,; ciputat, akses pada 10 maret 2013
Wikipedia, mukallaf, mujtahid,; ciputat, akses pada 10 maret 2013
hakim, abdul hamid, al-bayan.
[7][1] Prof. Dr.
H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 1
[8][2] Abdul hamid
hakim, al-bayan. Hal 3-4
[9][3] Prof. Dr.
Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu ushul fiqh.
Hal. 18
[10][4] Prof. Dr.
H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 3
[11][5] Mukallaf
adalah muslim yang
dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum). Seseorang berstatus
mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal.
Sedangkan mujtahid adalah ialah orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa
masalah saja, jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti
satu madzhab. Misalnya, Hazairin berijtihad tentang hukum kewarisan Islam,
Mahmus Junus berijtihad tentang hukum perkawinan, A. Hasan Bangil berijtihad
tentang hukum kewarisan dan hukum lainnya, Prof. Dr. H. M. Rasyidi berijtihad
tentang filsafat Islam. Wikipedia, mukallaf. Mujtahid.
[12][6] Prof. Dr.
H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 5
[13][7] Ibid.Hal.
6-7
[1][8] Abdul hamid hakim, al-bayan.
Hal 3-4
[2][9] Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 41
[3][10]Ibid.. Hal. 42
[4][11] Ibid. Hal. 49
[5][12] Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 46
[6][13] Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 47-48
No comments:
Post a Comment
terimakasih telah mengunjungi blog saya.