PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang
mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang
termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa).
Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi
muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut
merupakan terobosan baru dalam dunia modern.Dalam hal ini kita harus cermat,
apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika
tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah.
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara
sederhana tentang definisi ijarah, landasan hukum, rukun dan syarat sahnya.
Juga pembagian dan hukum ijarah.
B.
Rumusan Masalah
1. Mendefinisikan Ijarah?
2. Menyebutkan landasan hukum Ijarah?
3. Menyebutkan rukun dan syarat sah Ijarah?
4. Menyebutkan berapa macam pembagian dan hokum Ijarah?
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Al-Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti Al’lwadhu
(ganti). Dari sebab itu Ats Tsawab (pahala) dinamai Ajru (upah).
Menurut pengertian Syara’, Al-Ijarah ialah:
Urusan sewa menyewa yang jelas manfaat dan tujuanya, dapat diserah terimakan,
boleh dengan ganti (upah) yang telah diketahui (gajian tertentu).Seperti halnya barang itu harus bermanfaat,
misalkan: rumah untuk ditempati, mobil untuk dinaiki.
Pemilik yang menyewakan manfaat disebut Mu’ajjir
(orang yang menyawakan). Pihak lain yang memberikan sewa disebut Musta’jir
( orang yang menyawa = penyewa). Dan, sesuatu yang di akadkan untuk diambil
manfaatnya disebut Ma’jur ( Sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan
sebagai imbalan manfaat disebut Ajran
atau Ujrah (upah). Dan setelah terjadi akad Ijarah telah
berlangsung orang yang menyewakan berhak mengambil upah, dan orang yang menyewa
berhak mengambil manfaat, akad ini disebut pula Mu’addhah (penggantian.
B. Dasar Hukum
Dasar –dasar hukum atau rujukan Ijarah
adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
1. Dasar hukum Ijarah dalam Al-Qur’an
adalah :
فا ن ارضعن لكم فاء توهن اجو رهن ( ا لطلاق : 6)
“Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu,
maka berikanlah upahnya.”(Al-Talaq:
6).
2. Dasar Hukun Ijarah Dari Al-Hadits:
( هريرةأبيعنالرزاقعبدرواه )اَجْرَهُفَلْيَعْمَلْجِيْرًااَجَرَاسْتَأْمَنِ
“Barang siapa yang meminta untuk
menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.”
(HR.
Abdul Razaqdari Abu Hurairah).
3. Landasan Ijma’nya ialah:
Umat islam
pada masa sahabat telah ber ijma’ bahwa ijarah diperbolehkan sebab bermanfaat
bagi manusia. .
C. Rukun Ijarah
Menurut
ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan
kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijaraha
da 4, yaitu:
1. Aqid (orang yang akad).
2. Shigat akad.
3. Ujrah (upah).
4. Manfaat.
D. Syarat Sah Ijarah
Ada
5 syarat sah dari ijarah, diantaranya:
1.Kerelaan
dari dua pihak yang melakukan akad ijarah tersebut,
2. Mengetahui manfaat dengan sempurna
barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisahan,
3. Kegunaannya dari barang tersebut,
4. Kemanfaatan benda dibolehkan
menurutsyara’,
5. Objek transaksi akad itu (barangnya)
dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, dan realita.
E.
Pembagian dan Hukum Ijarah
Ijarah terbagi menjadi dua, yaitu
ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau
upah-mengupah.
1. Hukum sewa-menyewa
Dibolehkan
ijarah atas barang mubah, seperti: rumah, kamar, dan lain-lain. Tetapi dilarang
ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
a)
Ketetapan Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut
ulama Hanafiyah, ketetapan akad ijarah adalah kemanfaatan yang sifatnya
mubah.Menurut ulama Malikiyah, hokum ijarah sesuai dengan keberadaan manfaat.
Ulama Hanabilah danS yafi’iyah berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada
keadaannya, dan hukum tersebut menjadikan masa sewa seperti benda yang tampak.
b)
Cara Memanfaatkan BarangSewaan
1) Sewa Rumah
Jika seseorang menyewa rumah dibolehkan untuk
memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang
orang lain, bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.
2) Sewa Tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang
akan ditanam atau bangunan apa yang akand idirikan di atasnya. Jika tidak
dijelaskan ijarah dipandang rusak.
3) Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya
harus dijelaskan salah satu diantara dua hal, yaitu waktu dan tempat. Juga
harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.
c)
Perbaikan Barang Sewaan
Menurut
ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, pemiliknyalah yang
berkewajiban memmperbaikinya, tetapi ia tidak boleh dipaksa. Apabila penyewa
bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap sukarela.
Adapun
hal-hal kecil seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban
penyewa.
d)
Kewajiban Penyewa Setelah Habis Masa
Sewa
1) Menyeahkan kunci jika yang disewa
rumah
2) Jika yang disewa kendaraan, ia harus
menyimpannya kembali di tempat asalnya
2. Hukum Upah-Mengupah
Upah-mengupah atau ijarah
‘ala al-a’mal, yakni jual-beli jasa. Biasanya berlaku dalam beberapa hal
seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al
a’mal, terbagi dua, yaitu:
a)
Ijarah Khusus
Yaitu
ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak
boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.
b)
Ijarah Musytarik
Yaitu
ijarah dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja-sama. Hukumnya
dibolehkan bekerja-sama dengan orang lain.
F. Hak Menerima Upah
1)
Selesai bekerja
Seperti
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda:
(عمرابيعنماجهابنرواه)عَرَقُهُيَجِفَّاَنْقَبْلَاَجْرَهُاْلاَجِيْرَاُعْطُوْا
2)
Mengalirnya manfaat, jika ijarah
untuk barang
Karena
apabila dalam suatu barang itu telah terjadi kerusakan maka akad ijarah itupun
batal.
3)
Memungkinkan mengalirnya manfaat
jika masanya berlasung.
4)
Mempercepat dalam bentuk akad ijarah
(bayaran).
G. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yang
salah satu pihak yang berakad tidak memiliki hak fasakh, karena ia merupakan
akad pertukaran, kecuali didapati hal yang mewajibkan fasakh. Seperti di bawah
ini:
1)
Terjadi aib terhadap barang sewaan
yang kejadiannya di tangan penyewa atau terlihat aib lama padanya.
2)
Rusakny abarang yang disewakan.
3)
Terpenuhinya manfaat yang diakadkan,
atau selesainya pekerjaan, atau
berakhirnya masa, kecuali jika terdapat uzur yang mencegah fasakh.
PENUTUP
Kesimpulan
Pada dasarnya, ijarah di
defnisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang/jasa dengan membayar imbalan
tertentu. ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa
(upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan
sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.
Transaksi ijarah di landasi
adanya pemindahan manfaat (hak guna), bukan pemindahan kepemilikan (hak milik).
Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja prinsip jual beli.
DAFTAR ISI
Abu Abdillah, Syamsuddin. 2010. Terjemah
FHATHUL QARIB. Surabaya : CM Grafika.
Djuwaini, Dimyauddin. 2010. Pengantar FIQH
MUAMALAH. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hasbi Ash Shiddieqi, Teungku Muhammad. 1997. Hukum-hukum
Fiqih Islam. Yogyakarta : PT. Pustaka Rizki Putra.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah 13. Bandung
: PT. AL – Ma’arif.
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Syafe’i Rachmat. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung
: Pustaka Setia.
A. Pengertian dan Dasar Hukum Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Secara bahasa ijarah digunakan
sebagai nama bagi al-ajru (الأجر ) yang berarti
“imbalan terhadap suatu pekerjaan” (الجزاء على العمل)
dan “pahala” (الثواب ). Asal katanya
adalah: أجر- يأجر dan jamaknya adalah أجور. Wahbah
al-Zuhaily menjelaskan ijarah menurut bahasa yaitu: بيع
المنفعة yang berarti jual beli manfaat. Al-Ijarah
merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia, seperti sewa menyewa, kontrak atau menjual jasa kepada orang lain
seperti menjadi buruh kuli dan lain sebagainya. Menurut Sayyid Sabiq ijarah
adalah:
الإجارة مشتقة من
الأجر وهو العواض، ومنه سمى الثواب أجرا
Artinya: ”Ijarah di ambil dari
kata “Ajrun” yaitu pergantian maka dari itu pahala juga dinamakan upah”.
Abdurrahman al – Jaziri mengemukakan
:
15
|
الإجارة في اللغة هي مصدر سماعي لفعل
أجر على وزن ضرب وقتل فمضارعها يأجر وأجر بكسر الجيم وضمها ومعنها الجزاء على
العمل
Artinya : “Ijarah menurut bahasa
merupakan mashdar sima’i bagi fi’il “ajara” setimbang dengan kata
“dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya ya’jiru dan ajir(dengan kasrah jim dan
dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas suatu pekerjaan”.
Kemudian Abi Yahya Zakaria juga
mengemukakan :
الإجارة
لغة اسم الأجر
Artinya : “Ijarah secara bahasa
disebut upah”
Berdasarkan defenisi di atas maka
secara etimologi ijarah adalah imbalan atas pekerjaan atau
manfaat sesuatu.
Secara terminologi pengertian ijarah
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama di bawah ini:
- Menurut Ulama Syafiiyah
عقد على منفعة مقصودة معلو مة قا بلة للبذل والإ با حة بعوض
معلوم
Artinya: “Akad atas suatu manfaat
yang diketahui kebolehannya dengan serah terima dan ganti yang diketahui
manfaat kebolehannya”.
- Menurut Ulama Hanafiyah
عقد على المنافع بعوض
Artinya: ”Akad terhadap suatu
manfaat dengan adanya ganti”.
- Menurut Ulama Malikiyyah
تمليك منافع شيء مباحة مدة معلومة
Artinya: ”Ijarah adalah
menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu”.
- Menurut Sayyid Sabiq
وفى الشرع عقد على المنفعة بعوض
Artinya: ”Ijarah
secara Syara’ ialah akad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti”.
Dari beberapa pendapat ulama dan
mazhab diatas tidak ditemukan perbedaan yang mendasar tentang defenisi ijarah,
tetapi dapat dipahami ada yang mempertegas dan memperjelas tentang
pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang
ditentukan dan adanya imbalan atau upah serta tanpa adanya pemindahan
kepemilikan.
Kalau diperhatikan secara mendalam
defenisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab di atas maka dapat dipahami
bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain:
- Adanya suatu akad persetujuan antara kedua bela pihak yang ditandai dengan adanya ijab dan kabul
- Adanya imbalan tertentu
- Mengambil manfaat, misalnya mengupah seseorang buruh untuk bekerja.
2. Dasar Hukum Ijarah
Para ulama fiqih mengatakan yang
menjadi dasar kebolehan akad ijarah adalah al-Quran, Sunnah dan
Ijma’
a. Landasan Al-Quran.
1)
Surat al-Thalaq ayat 6:
…. ÷bÎ*sù
z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ….(
Artinya: “Kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak) mu untukmu, Maka berikanlah kepada mereka upahnya”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa
apabila orang tua menyuruh orang lain untuk menyusukan anak mereka, maka
sebaiknya diberikan upah kepada orang yang menyusukan anak itu.
2)
Surat al-Baqarah ayat 233:
3…. ÷bÎ)ur
öN?ur&
br&
(#þqãèÅÊ÷tIó¡n@
ö/ä.y»s9÷rr&
xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ)
NçFôJ¯=y !$¨B
Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/
3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br&
©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
Artinya: “Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dari ayat di atas dapat dipahami
bahwa tidaklah menjadi halangan sama sekali kalau memberikan upah kepada
perempuan lain yang telah menyusukan anak yang bukan ibunya. Menurut Qatadah
dan Zuhri, boleh menyerahkan penyusuan itu kepada perempuan lain yang disukai
ibunya atau ayahnya atau dengan melalui jalan musyawarah. Jika telah diserahkan
kepada perempuan lain maka biayanya yang pantas menurut kebiasaan yang berlaku,
hendaklah ditunaikan.
3)
Surat az-Zukhruf ayat 32:
óOèdr&
tbqßJÅ¡ø)t
|MuH÷qu
y7În/u
4 ß`øtwU $oYôJ|¡s%
NæhuZ÷t/ öNåktJt±Ïè¨B Îû
Ío4quysø9$# $u÷R9$#
4 $uZ÷èsùuur
öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/
;M»y_uy xÏGuÏj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wÌ÷ß 3 àMuH÷quur
y7În/u ×öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÌËÈ .
Artinya: “Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah
memberikan kelebihan sebagain manusia atas sebagian yang lain, agar manusia itu
dapat saling membantu antara yang satu dengan yang lainnya, salah
satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan
akad ijarah itu sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
4)
Surat al-Qashas ayat 26-27:
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ)
ÏMt/r’¯»t çnöÉfø«tGó$#
( cÎ)
uöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$#
ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ tA$s% þÎoTÎ)
ßÍé&
÷br&
y7ysÅ3Ré&
y÷nÎ) ¢ÓtLuZö/$# Èû÷ütG»yd #n?tã br& ÎTtã_ù’s? zÓÍ_»yJrO 8kyfÏm ( ÷bÎ*sù |MôJyJø?r& #\ô±tã ô`ÏJsù x8ÏZÏã ( ! $tBur ßÍé& ÷br&
¨,ä©r&
øn=tã 4
þÎTßÉftFy
bÎ) uä!$x© ª!$# ÆÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#
ÇËÐÈ
Artinya: “Salah seorang dari
kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja
(pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya”.Berkatalah dia
(Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang
dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan
jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu,
Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku
termasuk orang- orang yang baik”.
Dari ayat di atas dapat dipahami
bahwa di dalam ayat di atas disyaratkan adanya imbalan atau upah mengupah atau
memperkerjakan orang lain yang punya keahlian dibidangnya.
b. Landasan Sunnah
Para ulama mengemukakan alasan
kebolehan ijarah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
sebagai berikut:
عن
عائشة رضي الله عنها: واستأجرالنبى صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلا من بني
الديل، ثم من بنى عبد بن عدي، هاديا خريتا الخريت: الماهر بالهداية قد غمس يمين
حلف فى آل العاص بن وائل، وهو على دين كفار قريش، فأمناه، فدفعا إليه راحلتيهما،
ووعداه غار ثور بعد ثلاث ليال، فأتهما براحلتيهما صبيحة ليال ثلاث فارتحلا، وانطلق
معهما عامربن فهيرة، والدليل الديلي، فأخذ بهم أسفل مكة، وهو طريق الساحل (رواه
البخاري)
Artinya: “Dari Aisyah R.A, ia
menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang pintar sebagai
penunjuk jalan dari dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi bin Adi. Dia
pernah terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash bin Wail dan
dia memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi jaminan keamanan
kepada keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan miliknya, seraya
menjanjikan bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia pun mendatangi
keduanya dengan membawa hewan tunggangan mereka pada hari di malam
ketiga, kemudian keduanya berangkat berangkat. Ikut bersama keduanya Amir bin
Fuhairah dan penunjuk jalan dari bani Dil, dia membawa mereka menempuh bagian
bawah Mekkah, yakni jalur pantai”(H.R. Bukhari).
Dalam hadits di atas di jelaskan
bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat darurat atau ketika tidak ditemukan orang
Islam, dan Nabi mempekerjakan orang-orang Yahudi Khaibar selama tiga hari.
Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak membolehkan menyewa orang musyrik, baik yang
memusuhi Islam (harbi) maupun yang tidak memusuhi Islam (dzimmi),
kecuali kondisi mendesak seperti tidak didapatkan orang Islam yang ahli atau
dapat melakukan perbuatan itu. Sedangkan Ibnu Baththa mengatakan bahwa
mayoritas ahli fiqih membolehkan menyewa orang-orang musyrik saat darurat
maupun tidak, sebab ini dapat merendahkan martabat mereka.
Kemudian hadist yang diriwayatkan
dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:
حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس
رضي الله عنهما قال: احتجم النبى صل الله عليه و
سلم واعطى الحجام اجره (رواه البخاري
)
Artinya: ”Hadist dari Ibnu Thawus
dari ayanya dari Ibnu Abbas r.a dia berkata bahwa Nabi Saw pernah
mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. (H.R.Bukhari)
Dari hadits di atas dapat dipahami
bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah terhadap orang yang telah dipekerjakan.
Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan
transaksi upah mengupah.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ
قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه ابن ماجه)
Artinya : ”Dari Abdillah bin Umar
ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum
keringatnya kering” ( H.R Ibnu Majah ) .
Hadits di atas menjelaskan tentang
ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang dipekerjakan, yaitu Nabi sangat
menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya
kering atau setelah pekerjaan itu selesai dilakukan.
c. Ijma’
Mengenai kebolehan ijarah para ulama
sepakat tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’)
ini, sekalipun ada diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu
tidak ditanggapi . Jelaslah
bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk
kemaslahatan ummat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.
B. Rukun dan Syarat Ijarah
1. Rukun Ijarah
Rukun merupakan sesuatu yang mesti
ada dalam sebuah akad atau transaksi. Tanpa rukun akad tidak akan sah. Rukun
sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan dalam bukunya ”al-Wajizu
fi Ushul Fiqh” sebagi berikut:
الركن: جزء من حقيقة الشىء وماهيته
Artinya: ”Rukun adalah bagian
dari hakikat sesuatu dan zatnya”.
Dari defenisi yang dikemukakan di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa rukun mutlak adanya dalam sebuah akad
ijarah.
Layaknya sebuah transaksi ijarah
dapat dikatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat. Menurut Ulama Hanafiyah
rukun dari ijarah itu hanya satu yakni ijab dan kabul dengan menggunakan lafal
upah atau sewa (al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira` dan al-ikra`). Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan dan manfaat
termasuk ke dalam syarat-syarat ijarah, bukan rukunnya. Sedangkan menurut
Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat yaitu: orang yang berakad, sewa/imbalan,
manfaat, dan adanya sighat (ijab dan kabul).
Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan
secara terperinci sebagai berikut:
- Orang yang berakad
Mu’jir dan Musta’jir. Mu’jir adalah orang yang menggunakan
jasa atau tenaga orang lain untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Musta’jir
adalah orang yang menyumbangkan tenaganya atau orang yang menjadi tenaga kerja
dalam suatu pekerjaan dan mereka menerima upah dari pekerjaannya itu.
- Objek transaksi (manfaat)
Pekerjaan dan barang yang akan
dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas seperti mengerjakan
pekerjaan proyek, membajak sawah dan sebagainya.
Sebelum melakukan sebuah akad ijarah
hendaknya manfaat yang akan menjadi objek ijarah harus diketahui secara jelas
agar terhindar dari perselisihan dikemudian hari baik jenis, sifat barang yang
akan disewakan ataupun pekerjaan yang akan dilakukan.
- Imbalan atau upah
Upah sebagaimana terdapat dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang di bayarkan sebagai
pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk
mengerjakan sesuatu.Jadi upah
merupakan imbalan dari suatu pekerjaan yang telah dilakukan. Pembayaran upah
ini boleh berupa uang dan boleh berupa benda.
Dapat kita ketahui bersama bahwa
ijarah adalah sebuah akad yang mengambil manfaat dari barang atau jasa yang
tidak bertentangan dengan hukum syara’ yang berlaku. Oleh sebab itu, sewa atau
imbalan mesti jelas dengan ketentuan awal yang telah disepakati.
- Sighat yaitu ijab dan kabul
Sighat pada akad merupakan suatu hal
yang penting sekali karena dari sighatlah terjadinya ijarah. Karena sighat
merupakan suatu bentuk persetujuan dari kedua belah pihak untuk melakukan
ijarah. Dalam sighat ada ijab dan kabul. Ijab merupakan pernyataan dari pihak
pertama (mu’jir) untuk menyewakan barang atau jasa sedangkan kabul
merupakan jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang atau
jasa yang dipinjamkan oleh mu’jir. Misalnya, anda bersedia bekerja pada
proyek ini dalam waktu dua bulan dengan upah perharinya Rp.20.000,- dan jenis
pekerjaannya yaitu pekerjaan jalan? kemudian buruh menjawab “ya”, saya
bersedia.
2. Syarat Ijarah
Syarat secara bahasa adalah العلامة اللازمة yang berarti pertanda yang lazim,
indikasi, atau memastikan sesuatu. Sedangkan secara istilah syarat adalah:
مايتوقف وجود الشيء على وجوده، وكان خارجا عن حقيقته ولا يلزم
من وجوده وجود الشيء
Artinya: ”Sesuatu yang tergolong
padanya keberadaan hukum (syar’i) dan dia berada di luar hukum itu sendiri,
yang ketiadaannya menyebabkan hukum itu tidak ada”.
Syarat merupakan sesuatu yang bukan
bagian dari akad, tetapi sahnya sesuatu tergantung kepadanya. Adapun
syarat-syarat transaksi ijarah yaitu:
- Dua orang yang berakad disyaratkan:
1). Berakal dan mummayiz,
namun tidak disyaratkan baligh. Maka tidak dibenarkan mempekerjakan orang gila,
anak-anak yang belum mumayiz dan tidak berakal.Amir
Syarifuddin menambahkan pelaku transaksi ijarah harus telah dewasa, berakal
sehat dan bebas dalam bertindak dalam artian tidak dalam paksaan. Jadi
transaksi ijarah yang dilakukan oleh anak-anak atau orang gila atau orang yang
terpaksa tidak sah. Menurut ulama Hanafiyah pelakunya tidak dipersyaratkan
telah baligh. Oleh karena itu, akad ijarah yang dilakukan kanak-kanak yang
telah mumayyiz dan diizinkan walinya berlaku mengikat dan berdampak hukum. Tapi
kalau pelakunya berada di bawah pengampuan (المحجور),
maka keabsahan akadnya itu tergantung izin dari wali pengampunya.Namun
demikian ulama Malikiyah menegaskan bahwa mummayiz menjadi syarat dalam
akad ijarah. Sedang baligh manjadi syarat yang menentukan berlaku mengikat atau
tidaknya akad tersebut. Oleh karena itu, menurut mereka, sah akad ijarah yang
dilakukan seorang kanak-kanak, akan tetapi akad itu baru bisa dieksekusi
setelah mendapat izin dari walinya.[31]
2). Kerelaan (an-Tharadhin)
Kedua belah pihak yang berakad
menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah, dan para pihak berbuat atas
kemauan sendiri. [33]Apabila
salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah.
Karena Allah melarang penindasan atau intimidasi sesama manusia tapi dianjurkan
saling meridhoi sesamanya. Sebagaimana firman allah dalam surat an-Nisaa’ ayat
29:
$ygr’¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù’s? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br&
cqä3s? ¸ot»pgÏB
`tã
<Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s?
öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ)
©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”.[34]
- Sesuatu yang diakadkan (barang dan pekerjaan) disyaratkan:[35]
1). Objek yang diijarahkan dapat di
serah-terimakan dengan baik manfaat maupun bendanya.
2). Manfaat dari objek yang
diijarahkan harus yang dibolehkan agama, maka tidak boleh ijarah terhadap
maksiat seperti mempekerjakan sesorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau
mengupah orang untuk membunuh orang lain.
3). Manfaat dari pekerjaan
harus diketahui oleh kedua belah pihak sehingga tdak muncul pertikaian dan
perselisihan dikemudian hari.
4). Manfaat dari objek yang akan di
ijarahkan sesuatu yang dapat dipenuhi secara hakiki.
5). Jelas ukuran dan batas waktu
ijarah agar terhindar dari persengketaan atau perbantahan.
6). Perbuatan yang diijarahkan bukan
perbuatan yang diwajibkan oleh mu’ajir seperi sholat, puasa dan
lain-lain.
7). Pekerjaan yang diijarahkan
menurut kebiasaan dapat diijarahkan seperti menyewakan toko, computer, maka
tidak boleh menyewakan pohon untuk menjemur pakaian, karena hal itu diluar
kebiasaan.
Selain tujuh syarat diatas, Rachmat
Syafei menambahkan bahwa Pekerjaan yang diijarahkan bukan sesuatu yang
bermanfaat bagi si pekerja dan juga tidak mengambil manfaat dari hasi kerjanya,
seperti mengambil gandum serta mengambil bubuknya.[36]
- Upah atau imbalan
Untuk sahnya ijarah, sesuatu yang
dijadikan sebagai upah atau imbalan harus memenuhi syarat berikut: [37]
1). Upah berupa benda yang
diketahui yang dibolehkan memanfaatkannya (mal mutaqqwwim).
2). Sesuatu yang
berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat
kebiasaan setempat.
3). Upah /imbalan tidak disyaratkan
dari jenis yang di akadkan misalnya sewa rumah dengan sebuah rumah.
Terhadap imbalan ada beberapa
ketentuan dalam hal menerima atau memberikan:[38]
a)
Imbalan atau upah tersebut hendaknya disegerakan pembayarannya.
b)
Mesti ada kejelasan berapa banyak yang diterima sehingga kedua belah pihak akan
terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
c)
Imbalan atau upah dapat diberikan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat
bersama. Apakah diberikan seluruhnya atau selesai waktunya. Ini semua
tergantung kebiasaan yang terjadi pada masyarakat asalkan tidak ada yang
terzalimi terhadap upah yang akan diterima.
d)
Imbalan atau upah benar-benar memberikan manfaat baik berupa barang atau jasa,
sesuai dengan ketentuan yang disepakati bersama sehingga kedua belah pihak
saling merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lainnya.
Maksudnya, terhadap semua kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak
tersebut memang mesti ditunaikan.
e)
Upah atau imbalan mesti berupa benda yang diketahui yang diperbolehkan
memanfaatkanya.
d. Sighat (ijab dan kabul)
disyaratkan berkesesuaian dan menyatunya majelis akad seperti yang disyaratkan
dalam akad jual beli. Maka akad ijarah tidak sah jika antara ijab dan kabul
tidak bersesuaian, seperti antara objek akad dan batas waktu.[39]
C. Macam – Macam Ijarah
Dari segi objeknya, akad ijarah
dibagi para ulama fiqih kepada dua macam:
- Ijarah yang bersifat manfaat (sewa). Ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, dan kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk digunakan, maka para ulama fiqih sepakat hukumnya boleh dijadikan objek sewa-menyewa. [40]
- Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas dan sesuai syari’at, seperti buruh pabrik, tukang sepatu, dan tani. [41]
Ijarah ‘ala al-‘amal (upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu: [42]
- Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh
seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan
orang yang memberinya upah. Seperti pembantu rumah tangga.
- Ijarah Musytarak
Yaitu ijarah yang dilakukan secara
bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan
orang lain. Contohnya para pekerja pabrik..
Adapun perbedaan spesifik antara
jasa dan sewa adalah pada jasa tenaga kerja, disyaratkan kejelasan karakteristik
jasa yang diakadkan. Sedang pada jasa barang, selain persyaratan yang sama,
juga disyaratkan bisa dilihat (dihadirkan) pada waktu akad dilangsungkan, sama
seperti persyaratan barang yang diperjual belikan.[43]
D. Berakhirnya Akad Ijarah
Para ulama fiqih menyatakan bahwa
akad ijarah akan berakkhir apabila:
- Ijarah berakhir apabila dibatalkan. Sebab sewa adalah suatu tukaran harta dengan harta. Oleh sebab itu, boleh dibatalkan sama seperti jual beli.[44]
- Manfaat yang di harapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah selesai kecuali ada uzur atau halangan. Apabila ijarah telah berakhir waktunya, maka penyewa wajib mengembalikan barang sewaan utuh seperti semula. Bila barang sewaan sebidang tanah pertanian yang di tanami dengan tanaman, maka boleh ditangguhkan sampai buahnya bisa dipetik dengan pembayaran yang sebanding dengan tenggang waktu yang di berikan.[45]
- Menurut Ulama Hanafiyah, akad sewa dapat batal, karena munculnya halangan mendadak terhadap si penyewa. Misalnya, jika seseorang menyewa tokoh untuk berdagang kemudian dagangannya terbakar atau dicuri orang. Alasannya adalah bahwa hilangnya sesuatu yang digunakan untuk memperoleh manfaat itu sama dengan hilangnya barang yang memilki manfaat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, sewa menyewa tidak dapat batal kecuali ada hal-hal yang membatalkan akad (uzur) seperti cacat atau tempat pemenuhan manfaatnya hilang.[46]
- Menurut Ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad ijarah, maka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.[47]
Sifat ijarah adalah mengikat para
pihak yang berakad. Mengikat yang dimaksud disini adalah apakah akad ijarah
bisa di batalkan (fasakh) secara sepihak atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah,
ijarah adalah akad yang lazim (mengikat) yang boleh dibatalkan. Menurut mereka
ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang berakad dan tidak dapat
dialihkan kepada ahi waris. Alasanya adalah bahwa kematian itu merupakan
perpindahan barang yang disewakan dari satu pemilikan kepada pemilikan yang
yang lain. Karena itu, akad tersebut harus batal. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan dan
dapat diwariskan. Adapun alasannya adalah bahwa akad ijarah itu merupakan akad
imbalan. Karena itu, tidak menjadi batal karena meninggalnya salah satu pihak
seperti dalam jual beli.[48]
E. Penentuan Upah dan Pembayarannya
Masalah yang paling penting dalam
ijarah adalah menyangkut pemenuhan hak-hak musta’jir, terutama sekali
hak untuk diperlakukan secara baik dalam lingkungan pekerjaan, hak-hak atas
jaminan social, dan hak atas upah yang layak. Untuk itu perlu dikaji tentang
ketentuan hak-hak musta’jir terutama tentang upah.
Pembayaran upah adalah suatu
kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang menyewa/mengupah seseorang
untuk melakukan pekerjaan. Upah adalah hak yang harus diterima oleh orang yang
dipekerjakan setelah pekerjaan itu selesai dilakukan. Dalam ketentuan Islam
dikatakan apabila seseorang menyewa atau mengupah seseorang untuk melakukan
suatu pekerjaan maka hendaklah pembayaran upah itu mereka tentukan terlebih
dahulu. Sedangkan pembayaran upahnya yang tidak ada aturan yang mengaturnya
perlu ada perjanjian dan dilaksanakan sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati. Untuk itu dalam perjanjian ijarah, penyewa dan yang memberikan jasa
harus menetapkan kapan dan berapa jumlah upah atau sewa yang akan diterima,
agar terjadi kesepakatan dan kerelaan diantara kedua belah pihak baik orang
yang di sewa maupun orang yang menyewa, sehinga pekerjaan akan dilakukan dengan
ihklas dan senang hati serta dapat mencegah terjadinya perselisihan.
Pembayaran ini dapat dipercepat dan
dapat pula ditangguhkan. Menurut Mazhab Hanafi mensyaratkan mempercepat upah
dan menangguhkan upah boleh dengan syarat adanya kesepakatan dan kerelaan dari
kedua belah pihak.[49]
Jika dalam akad tidak terdapat
kesepakatan untuk mempercepat dan menangguhkan pembayaran upah, sekiranya upah
itu bersifat dikaitkan dengan waktu tertentu, maka wajib dipenuhi sesudah
berakhirnya masa tersebut. Misalnya seseorang memyewa sebuah toko untuk selama
satu bulan, apabila masa satu bulan telah berakhir maka ia wajib membayar
sewaan tersebut. Jika akad ijarah untuk pekerjaan, maka kewajiban untuk
pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan tersebut.[50]
Kemudian jika akad sudah berlangsung
dan tidak disyaratkan mengenai penerimaan bayaran dan tidak ada ketentuan
menangguhkan. Menurut Abu Hanifah dan Malik, wajib diserahkan secara
angsuran, sesuai dengan manfaat yang di terima.
Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad ibn
Hanbal, sesungguhnya ia berhak sesuai dengan akad itu sendiri, jika orang yang
meyewakan menyerakan ‘ain kepada orang yang menyewa , ia berhak menerima
seluruh bayaran karena si penyewa sudah memiliki kegunaan (manfaat) dengan
sistem ijarah dan ia wajib menyerahkan bayaran agar dapat menerima ‘ain (agar
‘ain dapat diserahkan kepadanya).[51]
Dalam pembayaran upah dianjurkan
untuk mempercepat pembayarannya dan jangan menunda-nunda pembayaran upah
tersebut. Salah satu norma ditentukan islam adalah memenuhi hak-hak musta’jir.
Islam tidak membenarkan jika seorang pekerja mencurahkan jerih payah dan
keringatnya sementara upah tidak di dapatkan, dikurangi dan ditunda-tunda.[52]Selanjutnya,
perlu diketahui juga kapan upah harus dibayarkan oleh para mu’jir. Untuk
menjawab itu Nabi saw mengatakan dalam haditsnya sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ
قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه ابن ماجه).[53]
Artinya : ”Dari Abdillah bin Umar
ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum
keringatnya kering” ( H.R Ibnu Majah ) .
Dari hadits di atas dapat dipahami
bahwa Nabi SAW memerintahkan, bayarkanlah upah buruh itu sebelum kering
keringatnya, artinya upah musta’jir dibayarkan secepatnya atau
dengan kata lain selesai bekerja langsung menerima upahnya.
Jika menyewa barang, maka barang
sewaan di bayar ketika akad sewa, kecuali jika di dalam akad ditentukan lain
manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.
Jadi Allah melarang penindasan
dengan mempekerjakannya tetapi tidak membayar upahnya. Di samping itu
Rasulullah sendiri pernah melakukan pengupahan terhadap seorang bekam, namun
Nabi karena telah menggunakan jasanya tetap menunaikan upahnya, sebagaimana
yang terdapat dalam hadist sebagai berikut:
حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس
رضي الله عنهما قال احتجم النبى صل الله عليه وسلم
واعطى الحجام اجره (رواه البخاري )[54]
Artinya: ”Hadist dari Ibnu Thawus
dari ayahnya dari Ibnu Abbas r.a keduanya berkata bahwa Nabi Saw
pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”.
(H.R.Bukhari)
Dalam hadits berikutnya juga
dijelaskan bahwa di akhirat ada tiga golongan yang diancam dan di musuhi oleh
Allah kelak. Salah satu diantaranya adalah majikan yang mempekerjakan seorang
buruh kemudian tidak memberikan haknya secara layak, tidak membayar upahnya
padahal buruh telah memenuhi kewajibannya dengan semestinya. Sebagaimana hadits
Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:
حد ثنا يوسف بن محمد قال حد ثني يحي بن سليم عن إسما عيل بن
أمية عن سعيد بن أبي سعيد عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صل الله عليه و سلم
قال قال الله تعالى: ثلا ثة انا خضمهم يوم القيامة: رجل اعطى بي ثم غدر، ورجل باع
حرا فأ كل ثمنه، ورجل استأ جر أجيرا فاستوفى منه ولم يعطه اجره (رواه
البخاري)[55]
Artinya: ”Dari Yusuf bin Muhammad
berkata: menyampaikan kepadaku Yahya bin Sulaim dari Ismail bin Umayyah dari
Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah R.A dari Nabi SAW bersabda:”Allah SWT
berfirman ada tiga golongan yang aku musuhi di hari kiamat yaitu: orang yang
berjanji dengan nama-Ku, kemudian dia berkhianat, orang menjual manusia merdeka
kemudian memakan harganya, dan orang yang mempekerjakan buruh lalu ia ambil
tenaganya dengan cukup tetapi tidak memberikan upahnya” (H.R. Bukhari)
F. Hikmah Ijarah
Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam
bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehiduan
manusia.[56] Tujuan
dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil.
Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima
merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Adapun hikmah diadakannya ijarah
antara lain:
- Membina ketentraman dan kebahagiaan
Dengan adanya ijarah akan mampu
membina kerja sama antara mu’jir dan mus’tajir. Sehingga akan
menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang
memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Apabila kebutuhan hidup terpenuhi maka musta’jir tidak lagi resah ketika
hendak beribadah kepada Allah.
Dengan transaksi upah-mengupah dapat
berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena
masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing
individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat
itu akan tentram dan aman [57] .
- Memenuhi nafkah keluarga
Salah satu kewajiban seorang muslim
adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan
tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir maka
kewajiban tersebut dapat dipenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
n?tãur
Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ
£`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/
4
Artinya: ”Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf ”.[58]
- Memenuhi hajat hidup masyarakat
Dengan adanya transaksi ijarah
khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup
masyarkat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut.
Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.
- Menolak kemungkaran
Diantara tujuan ideal berusaha
adalah dapat menolak kemungkaran yang kemungkinan besar akan dilakukan
oleh yang menganggur.[59]Pada
intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari.
Ijarah
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Di zaman
sekarang sudah banyak berdiri lembaga-lembaga keuangan, baik yang bersifat
syariah atau konvesional. Disamping itu antara keduanya mempunyai konsep yang
sedikit berbeda, namun pada asalnya keduanya itu mempunyai maksud dan tujuan
yang sama yaitu memperoleh keuntungan. Berbagai badan usaha yang tumbuh subur
di negara kita ialah perbankan syariah.
Diantara fenomena yang terjadi pada
pembahasan-pembahasan tersebut adalah transaksi yang disebut ijarah atau lebih
dikenal dengan sewa-menyewa. Sebagai umat muslim kita semua sudah tahu bahwa
ijarah itu adalah diperbolehkan, dan itu merupakan salah satu transaksi dalam
muamalah yang sedang kita pelajari saat ini. Hal ini patut mendapatkan
perhatian dan dukungan dari kita semua sebagai orang muslim. Dengan demikian
laju perkembangan dan arah langkahnya akan tetap lurus sebagaimana yang
digariskan syariat Islam.
Oleh karena hal itu, saya atas nama
penulis berusaha mengenal lebih dalam tentang ijarah yang telah jelas
dasar hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadits. Dengan memahami hal tersebut,
diharapakn kita dapat memahami hakikat transaksi ijarah yang benar menurut
syariat yang ada.
- Rumusan Masalah
- Apa itu definisi ijarah?
- Apa dasar hukum ijarah?
- Apa saja syarat ijarah serta macam-macamnya?
- Bagaimana fitur dan mekanisme dalam ijarah?
- Apa objek ijarah?
- Bagaimana sifat dan hukum akaad ijarah?
- Bagaimana berakhirnya akad ijarah?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian Ijarah
Dalam fiqh muamalah, sewa-menyewa disebut dengan kata
ijarah. Ijarah berasal dari kata "al-ajru" yang secara bahasa berarti
"al-'iwadhu" yaitu ganti. Sedangkan menurut istilah syara', ijarah
ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Lafal
ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Dalam arti yang
luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat dengan jalan
memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Ijarah merupakan salah satu bentuk
kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa,
kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain. Menurut etimologi, ijarah
adalah menjual manfaat, demikian pula artinya menurut etimologi syarat. Untuk
lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat definisi ijarah
oleh ulama-ulama fiqih :
- Ulama Hanafiah
Artinya akad suatu kemanfaatan dengan pengganti.
- Ulama Asy-Syafi’iyah
Artinya akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan
mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.
- Ulama Malikiah & Hanabilah
Artinya menjadikan suatu milik kemanfaatan yang mubah dalam waktu
tertentu dengan pengganti.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami
bahwa ijarah adalah pengambilan manfaat suatu benda, dalam hal bendanya tidak
berkurang sama sekali. Dengan perkataan lain, dalam praktik sewa-menyewa yang
berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan, sedangkan kepemilikan
tetap pada pemilik barang. Sebagai imbalan pengambilan manfaat dari suatu
benda, penyewa berkewajiban memberikan bayaran. Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa ijarah merupakan suatu kesepakatan yang dilakukan oleh satu
atau beberapa orang yang melaksanakan kesepakatan yang tertentu dan mengikat,
yaitu dibuat oleh kedua belah pihak untuk dapat menimbulkan hak serta kewajiban
antara keduanya.
Dalam pengertian
lain ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat)
suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa.
Ada yang
menerjemahkan sebagai upah mengupah. Menurut penulis keduanya benar, sebab
penulis membagi ijarah menjadi dua bagian yaitu ijarah atas jasa dan ijarah
atas benda.
Dalam hukum
Islam, orang yang menyewakan diistilahkan dengan "mu’ajjir",
sedangkan penyewa disebut "musta’jir" dan benda yang disewakan
disebut "ma’jur". Imbalan atas pemakaian manfaat disebut
"ajran" atau "ujrah". Perjanjian sewa-menyewa dilakukan
sebagaimana perjanjian konsensual lainnya, yaitu setelah berlangsung akad, maka
para pihak saling serah terima. Pihak yang menyewakan (mu’ajjir) berkewajiban
menyerahkan barang (ma’jur) kepada penyewa (musta’jir) dan pihak penyewa
berkewajiban memberikan uang sewa (ujrah).
- Dasar Hukum Ijarah
أعْطُوا الأجِيْرَ أجْرَهُ قَبْل أن يَجُف عَرَقَهُ
“Berilah upah
kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringan mereka” (HR. Ibnuj
Majah, al Tabrani, dan al-Tirmidzi)
أن رسول الله ص م إحْتَجَمَ وأعْطَى الحِجامَ أجْرَه
“Rasul berbekam dan membayar upah
kepada yang membekamnya” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dalam
periwayatan hadits-hadits tentang al-ijarah, sering kali terkait dengan
beberapa aspek hukum muamalah lainnya seperti jual beli (buyu'), musyarakah dan
lain sebagainya. Karena hal tersebut berkenaan dengan hukum perjanjian (akad).
Unsur yang terpenting untuk diperhatikan yaitu kedua belah pihak cakap
bertindak dalam hukum yaitu punya kemampuan untuk dapat membedakan yang baik
dan yang buruk (berakal/tidak gila). Dengan demikian terjadi perjanjian
sewa-menyewa yang kontras dan transparan dan tidak ada saling merugikan di
antara kedua belah pihak. Adapun hadist lain yang menjadi dasar hukum yangv
lain adalah:
عن عائشة رضى الله عنها قالت: إستأجر رسول الله صلى
الله عليه وسلم و أبو بكر رجلا من بنى الديل خريتا، وهو على دين كفارقريش فدفعا
لله راحلتيهما ووأعداه غار ثور بعد ثلاثة ليال براحلتيهما.{رواه البخارى}
Artinya: Dari Aisyah r.a, beliau
mengabarkan: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang
ahli dari Bani ad-Dail dan orang itu memeluk agama kafir Quraisy, kemudian
beliau membayarnya dengan kendaraannya kepada orang tersebut dan menjanjikannya
di Gua Tsur sesudah tiga malam dengan kendaraan keduanya (HR. Bukhari).
Dalam hadist-hadist yang menjadi
dasar hukum ijarah tersebut bahwa kita di anjurkan untuk memberikan kepada
orang yang telah bekerja untuk kita sebelum keringatnya kering. Maksudnya
disini ialah waktu membayar upahnya itu tidak boleh berlama-lama dari
selesainya bekerja, artinya jangan menunda-nunda atau bahkan sampai terlambat
dan akhirnya lupa tidak memberi upah.
- Rukun Ijarah
Adapun rukun-rukun ijarah yaitu :
- Mu’jar (orang/barang yang disewa)
- Musta’jir (orfang yang menyewa)
- Sighat (ijab dan qabul)
- Upah dan manfaat
- Syarat Ijarah
- Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal.
- Menyatakan kerelaannya untuk melakukan ijarah.
- Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna.
- Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak cacat.
- Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ dan merupakan sesuatu yang bisa disewakan.
- Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
- Upah atau sewa dalam akad harus jelas dan sesuai dengan yang bernilai harta.
- Macam-Macam Ijarah
Dari perspektif objek dalam kontrak
sewa (al-ma’qud ‘alaih) dibagi menjadi 3:
- Ijarah ‘ain, adalah akad sewa menyewa atas manfaat yang bersinggungan langsung dengan bendanya, seperti sewa tanah atau rumah 1 juta sebulan untuk tempo 1 tahun.
- Ijarah ‘amal, ialah apa yang djadikan adalah kerja itu sendiri yaitu upah keahliannya dalam bekerja, seperti dokter, dosen, lawyer, tukang, dll.
- Ijarah mawshufah fi al-zimmah/ ijarah al-zimmah, yaitu akad sewa menyewa dalam bentuk tanggungan, misalnya menyewakan mobil dengan ciri tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Dalam konteks modern misalnya si A menyewakan rumahnya dilokasi tertentu dengan ukuran tertentu pula kepada si B. Tapi rumah tersebut akan siap dalam tempo dua bulan lagi. Namun si B telah lebih awal menyewanya untuk tempuh 3 tahun dengan bayaran bulanan 2juta. Ini ijarah fi al-zimmah, karena manfaat yang disewakan menjadi seperti tanggung jawab hutang kepada si A. Pemberi sewa perlu memastikan spesifikasi manfaat sewa rumah itu ditempati apabila sampai temponya.
- Fitur & Mekanisme Ijarah
- Hak perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajir), yaitu memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir), dan mengakhiri akad ijarah dan menarik objek ijarah apabila penyewa tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
- Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
- Menyediakan objek ijarah yang disewakan
- Menanggung biaya pemeliharaan objek ijarah
- Menjamin objek ijarah yang disewakan, tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik
- Hak penyewa (musta’jir) antara lain meliputi :
- Menerima objek ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan
- Menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan
- Kewajiban penyewa antara lain meliputi:
- Membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan
- Mengembalikan objek ijarah apabila tidak mampu membayar sewa
- Menjaga dan mempergunakan objek ijarah sesuai yang diperjanjikan
- Tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan objek ijarah kepada pihak lain
- Objek Ijarah
Objek ijarah adalah berupa barang
modal yang meliputi ketentuan, antara lain :
- Objek ijarah merupakan milik/dan atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir).
- Manfaat objek ijarah harus dapat dinilai.
- Manfaat objek ijarah harus dapat deserahkan penyewa (musta’jir)
- Pemanfaatan objek ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syara’.
- Manfaat ob jek ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas.
- Spesifikasi objek ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu pemanfaatannya.
- Sifat dan Hukum Akad Ijarah
Para ulama’ fiqih berbeda pendapat
tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau
tidak. Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat mengikat,
tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu
kedua belah pihak, seperti contohnya salah satu pihak wafat atau kehilangan
kecakapan bertindak hukum. Apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia,
akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama’
mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau
barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Apabila seorang yang berakad meninggal
dunia, manfaat dari akad ijarah boleh diwariskan karena termasuk harta dan
kematian salah seorang pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.
- Berakhirnya Akad Ijarah
- Objek hilang atau musnah
- Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir
- Wafatnya seorang yang berakad
- Menurut ulama’ hanafiyah, apabila ada udzur dari salah satu pihak seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad ijarah batal. Akan tetapi, menurut jumhur ulama’ udzur yang boleh membatalkan akad ijarah hanyalah apabila objeknya cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari uraian
penjelasan yang telah penulis paparkan di atas tadi dapat disimpulkan secara
sederhana bahwa definisi dari ijarah itu sendiri adalah suatu akad yang berisi
penukaran manfaat dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Ijarah
merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia, seperti sewa menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan
lain-lain. Dalam masalah pendefinisian tentang ijarah ini ada bermacam-macam
pendapat di kalangan para ulama, tapi sesungguhnya semua itu pada hakekatnya
sama dalam hal hukumnya.
Adapun dasar
hukum ijarah diantaranya yaitu pada hadist yang diriwayatkan ibnu majah,
al-Tabrani, dan at-Tirmizdi yang artinya “Berilah upah kepada orang yang kamu
pekerjakan sebelum kering keringat mereka”. Serta pada hadist lain yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori yang artinya bahwa “Dari Aisyah r.a, beliau
mengabarkan: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang
ahli dari Bani ad-Dail dan orang itu memeluk agama kafir Quraisy, kemudian
beliau membayarnya dengan kendaraannya kepada orang tersebut dan menjanjikannya
di Gua Tsur sesudah tiga malam dengan kendaraan keduanya”.
Rukun dan syarat
seperti yang telah dijelaskan diatas, diantaranya yaitu barang yang disewa,
orang yang menyewa, sighat, dan upah. Syarat ijarah diantaranya aqidaini harus
berakal dan sehat, manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara
sempurna, objek ijarah harus yang halal dan merupakan barang/sesuatu yang
disewakan. Macam-macam ijarah dari perspektif objek dalam kontrak sewa ada
tiga, yaitu ijarah ‘ain, ‘amal, dan mawshufah fi al-zimmah. Fitur dan mekanisme
ijarah juga telah disebutkan sebagaimana yang telah dipaparkan diatas secara
rinci.
Objek ijarah
adalah berupa barang modal yang meliputi ketentuan, antara lain objek ijarah
merupakan milik/dan atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi
sewa, manfaat objek harus dapat dinilai, dan manfaat objek ijarah harus dapat
diserahkan penyewa. Masalah sifat dan akad ijarah, para ulama’ fiqih berbeda
pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak
atau tidak. Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat mengikat,
tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu
kedua belah pihak. Akan tetapi, jumhur ulama’ mengatakan bahwa akad ijarah itu
bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.
Berakhirnya akad
ijarah bisa karena objek ijarah hilang atau musnah, bisa juga karena wafatnya
seorang yang berakad. Demikian itu kesimpulan yang dapat penulis paparkan dari
makalah ini, selebihnya sudah dijelaskan pada bab pembahasan.
- Daftar Pustaka
Andri Soemitra,MA. Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana 2009 Ed.1 Cet.1
Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam.
Majalah Al Waie 572. An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.3.
Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim,
Minhajul Muslim, Jakarta: Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Cet. I, 2002
No comments:
Post a Comment
terimakasih telah mengunjungi blog saya.