Gudang Ilmu: Pengertian Ijarah

Friday, 14 April 2017

Pengertian Ijarah




PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa).
Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern.Dalam hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah.
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara sederhana tentang definisi ijarah, landasan hukum, rukun dan syarat sahnya. Juga pembagian dan hukum ijarah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mendefinisikan Ijarah?
2.      Menyebutkan landasan hukum Ijarah?
3.      Menyebutkan rukun dan syarat sah Ijarah?
4.      Menyebutkan berapa macam pembagian dan hokum Ijarah?







PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Al-Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti Al’lwadhu (ganti). Dari sebab itu Ats Tsawab (pahala) dinamai Ajru (upah).
Menurut pengertian Syara’, Al-Ijarah ialah: Urusan sewa menyewa yang jelas manfaat dan tujuanya, dapat diserah terimakan, boleh dengan ganti (upah) yang telah diketahui (gajian tertentu).Seperti halnya barang itu harus bermanfaat, misalkan: rumah untuk ditempati, mobil untuk dinaiki.
Pemilik yang menyewakan manfaat disebut Mu’ajjir (orang yang menyawakan). Pihak lain yang memberikan sewa disebut Musta’jir ( orang yang menyawa = penyewa). Dan, sesuatu yang di akadkan untuk diambil manfaatnya disebut Ma’jur ( Sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut  Ajran atau Ujrah (upah). Dan setelah terjadi akad Ijarah telah berlangsung orang yang menyewakan berhak mengambil upah, dan orang yang menyewa berhak mengambil manfaat, akad ini disebut pula Mu’addhah (penggantian.
B.     Dasar Hukum
Dasar –dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
1.      Dasar hukum Ijarah dalam Al-Qur’an adalah :


فا ن ارضعن لكم فاء توهن اجو رهن ( ا لطلاق : 6) 
 “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah upahnya.”(Al-Talaq: 6).
2.      Dasar Hukun Ijarah Dari Al-Hadits:
 ( هريرةأبيعنالرزاقعبدرواه )اَجْرَهُفَلْيَعْمَلْجِيْرًااَجَرَاسْتَأْمَنِ
“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.”
(HR. Abdul Razaqdari Abu Hurairah).
3.      Landasan Ijma’nya ialah:
            Umat islam pada masa sahabat telah ber ijma’ bahwa ijarah diperbolehkan sebab bermanfaat bagi manusia. .
C.     Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijaraha da 4, yaitu:
1.      Aqid (orang yang akad).
2.      Shigat akad.
3.      Ujrah (upah).
4.      Manfaat.

D.    Syarat Sah Ijarah
        Ada 5 syarat sah dari ijarah, diantaranya:
1.Kerelaan dari dua pihak yang melakukan akad ijarah tersebut,
2.      Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisahan,
3.      Kegunaannya dari barang tersebut,
4.      Kemanfaatan benda dibolehkan menurutsyara’,
5.      Objek transaksi akad itu (barangnya) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, dan realita.

E.     Pembagian dan Hukum Ijarah
Ijarah terbagi menjadi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
1.      Hukum sewa-menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti: rumah, kamar, dan lain-lain. Tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
a)      Ketetapan Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ketetapan akad ijarah adalah kemanfaatan yang sifatnya mubah.Menurut ulama Malikiyah, hokum ijarah sesuai dengan keberadaan manfaat. Ulama Hanabilah danS yafi’iyah berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya, dan hukum tersebut menjadikan masa sewa seperti benda yang tampak.
b)      Cara Memanfaatkan BarangSewaan
1)      Sewa Rumah
Jika seseorang menyewa rumah dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang orang lain, bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.
2)      Sewa Tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akand idirikan di atasnya. Jika tidak dijelaskan ijarah dipandang rusak.


3)      Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu diantara dua hal, yaitu waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.
c)      Perbaikan Barang Sewaan
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, pemiliknyalah yang berkewajiban memmperbaikinya, tetapi ia tidak boleh dipaksa. Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap sukarela.
Adapun hal-hal kecil seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.
d)     Kewajiban Penyewa Setelah Habis Masa Sewa
1)      Menyeahkan kunci jika yang disewa rumah
2)      Jika yang disewa kendaraan, ia harus menyimpannya kembali di tempat asalnya

2.      Hukum Upah-Mengupah
Upah-mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual-beli jasa. Biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al a’mal, terbagi dua, yaitu:
a)      Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.
b)      Ijarah Musytarik
Yaitu ijarah dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja-sama. Hukumnya dibolehkan bekerja-sama dengan orang lain.


F.      Hak Menerima Upah
1)      Selesai bekerja
Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda:

(عمرابيعنماجهابنرواه)عَرَقُهُيَجِفَّاَنْقَبْلَاَجْرَهُاْلاَجِيْرَاُعْطُوْا
“Berikanlah olehmu upah orang bayaran sebelum keringatnya kering.”

2)      Mengalirnya manfaat, jika ijarah untuk barang
Karena apabila dalam suatu barang itu telah terjadi kerusakan maka akad ijarah itupun batal.
3)      Memungkinkan mengalirnya manfaat jika masanya berlasung.
4)      Mempercepat dalam bentuk akad ijarah (bayaran).

G.    Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yang salah satu pihak yang berakad tidak memiliki hak fasakh, karena ia merupakan akad pertukaran, kecuali didapati hal yang mewajibkan fasakh. Seperti di bawah ini:
1)      Terjadi aib terhadap barang sewaan yang kejadiannya di tangan penyewa atau terlihat aib lama padanya.
2)      Rusakny abarang yang disewakan.
3)      Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, atau selesainya pekerjaan,  atau berakhirnya masa, kecuali jika terdapat uzur yang mencegah fasakh.




PENUTUP
Kesimpulan
Pada dasarnya, ijarah di defnisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu. ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.
Transaksi ijarah di landasi adanya pemindahan manfaat (hak guna), bukan pemindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja prinsip jual beli.


DAFTAR ISI
Abu Abdillah, Syamsuddin. 2010. Terjemah FHATHUL QARIB. Surabaya : CM Grafika.
Djuwaini, Dimyauddin. 2010. Pengantar FIQH MUAMALAH. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hasbi Ash Shiddieqi, Teungku Muhammad. 1997. Hukum-hukum Fiqih Islam. Yogyakarta : PT. Pustaka Rizki Putra.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah 13. Bandung : PT. AL – Ma’arif.
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Syafe’i Rachmat. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.


A. Pengertian dan Dasar Hukum Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Secara bahasa ijarah digunakan sebagai nama bagi al-ajru (الأجر ) yang berarti “imbalan terhadap suatu pekerjaan” (الجزاء على العمل) dan “pahala” (الثواب ). Asal katanya adalah: أجر- يأجر dan jamaknya adalah أجور. Wahbah al-Zuhaily menjelaskan ijarah menurut bahasa yaitu: بيع المنفعة yang berarti jual beli manfaat. Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak atau menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh kuli dan lain sebagainya. Menurut Sayyid Sabiq ijarah adalah:
     الإجارة مشتقة من الأجر وهو العواض، ومنه سمى الثواب أجرا

Artinya: ”Ijarah di ambil dari kata “Ajrun” yaitu pergantian maka dari itu pahala juga dinamakan upah”.

Abdurrahman al – Jaziri mengemukakan :
15
الإجارة في اللغة هي مصدر سماعي لفعل أجر على وزن ضرب وقتل فمضارعها يأجر وأجر بكسر الجيم وضمها ومعنها الجزاء على العمل
Artinya : “Ijarah menurut bahasa merupakan mashdar sima’i bagi fi’il  “ajara” setimbang dengan kata “dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya ya’jiru dan ajir(dengan kasrah jim dan dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas suatu pekerjaan”.

Kemudian Abi Yahya Zakaria juga mengemukakan :
                                                                                         الإجارة لغة اسم الأجر
Artinya : “Ijarah secara bahasa disebut upah”
Berdasarkan defenisi di atas maka secara etimologi ijarah adalah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu.
Secara terminologi pengertian ijarah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama di bawah ini:
  1. Menurut Ulama Syafiiyah
عقد على منفعة مقصودة معلو مة قا بلة للبذل والإ با حة بعوض معلوم
Artinya: “Akad atas suatu manfaat yang diketahui kebolehannya dengan serah terima dan ganti yang diketahui manfaat kebolehannya”.

  1. Menurut Ulama Hanafiyah
عقد على المنافع بعوض

Artinya: ”Akad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti”.

  1. Menurut Ulama Malikiyyah
  تمليك منافع شيء مباحة مدة معلومة

Artinya: ”Ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu”.

  1. Menurut Sayyid Sabiq
       وفى الشرع عقد على المنفعة بعوض             

Artinya:   ”Ijarah secara Syara’ ialah akad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti”.

Dari beberapa pendapat ulama dan mazhab diatas tidak ditemukan perbedaan yang mendasar tentang defenisi ijarah, tetapi dapat dipahami ada yang mempertegas  dan memperjelas tentang pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah serta tanpa adanya pemindahan kepemilikan.
Kalau diperhatikan secara mendalam defenisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab di atas maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain:
  1. Adanya suatu akad persetujuan antara kedua bela pihak yang ditandai dengan adanya ijab dan kabul
  2. Adanya imbalan tertentu
  3. Mengambil manfaat, misalnya mengupah seseorang buruh untuk bekerja.

2. Dasar Hukum Ijarah
Para ulama fiqih mengatakan yang menjadi dasar kebolehan akad ijarah adalah  al-Quran, Sunnah dan Ijma’
a. Landasan Al-Quran.
1)        Surat al-Thalaq  ayat 6:
…. ÷bÎ*sù z`÷è|Êö‘r& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èdu‘qã_é& ….(

Artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, Maka berikanlah kepada mereka upahnya”. 

Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila orang tua menyuruh orang lain untuk menyusukan anak mereka, maka sebaiknya diberikan upah kepada orang yang menyusukan anak itu.
2)        Surat al-Baqarah ayat 233:
3…. ÷bÎ)ur öN›u‘r& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y‰»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3ø‹n=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y™ !$¨B Läêø‹s?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur   ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ

Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa tidaklah menjadi halangan sama sekali kalau memberikan upah kepada perempuan lain yang telah menyusukan anak yang bukan ibunya. Menurut Qatadah dan Zuhri, boleh menyerahkan penyusuan itu kepada perempuan lain yang disukai ibunya atau ayahnya atau dengan melalui jalan musyawarah. Jika telah diserahkan kepada perempuan lain maka biayanya yang pantas menurut kebiasaan yang berlaku, hendaklah ditunaikan.
3)        Surat az-Zukhruf ayat 32:
óOèdr& tbqßJÅ¡ø)tƒ |MuH÷qu‘ y7În/u‘ 4 ß`øtwU $oYôJ|¡s% NæhuZ÷t/ öNåktJt±ŠÏè¨B ’Îû Ío4quŠysø9$# $u‹÷R‘‰9$# 4 $uZ÷èsùu‘ur öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_u‘yŠ x‹Ï‚­Gu‹Ïj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wƒÌ÷‚ß™ 3 àMuH÷qu‘ur y7În/u‘ ׎öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs† ÇÌËÈ .
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan sebagain manusia atas sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling   membantu antara yang satu dengan yang lainnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
4)        Surat al-Qashas ayat 26-27:
ôMs9$s% $yJßg1y‰÷nÎ) ÏMt/r’¯»tƒ çnöÉfø«tGó™$# ( ž) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó™$# ‘“Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ tA$s% þ’ÎoTÎ) ߉ƒÍ‘é& ÷br&  y7ysÅ3Ré& “y‰÷nÎ) ¢ÓtLuZö/$# Èû÷ütG»yd #’n?tã br& ’ÎTtã_ù’s? zÓÍ_»yJrO 8kyfÏm ( ÷bÎ*sù |MôJyJø?r& #\ô±tã ô`ÏJsù x8ωZÏã ( ! $tBur ߉ƒÍ‘é& ÷br& ¨,ä©r& šø‹n=tã 4 þ’ÎT߉ÉftFy™ bÎ) uä!$x© ª!$# šÆÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇËÐÈ
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya”.Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik”.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa di dalam ayat di atas disyaratkan adanya imbalan atau upah mengupah atau memperkerjakan orang lain yang punya keahlian dibidangnya.
b. Landasan Sunnah
Para ulama mengemukakan alasan kebolehan ijarah berdasarkan hadits  yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:
عن عائشة رضي الله عنها: واستأجرالنبى صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل، ثم من بنى عبد بن عدي، هاديا خريتا الخريت: الماهر بالهداية قد غمس يمين حلف فى آل العاص بن وائل، وهو على دين كفار قريش، فأمناه، فدفعا إليه راحلتيهما، ووعداه غار ثور بعد ثلاث ليال، فأتهما براحلتيهما صبيحة ليال ثلاث فارتحلا، وانطلق معهما عامربن فهيرة، والدليل الديلي، فأخذ بهم أسفل مكة، وهو طريق الساحل (رواه البخاري)
Artinya: “Dari Aisyah R.A, ia menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang pintar sebagai penunjuk jalan dari dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi bin Adi. Dia pernah terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash bin Wail dan dia memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi jaminan keamanan kepada keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan miliknya, seraya menjanjikan bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia pun mendatangi keduanya dengan membawa hewan tunggangan mereka pada   hari di malam ketiga, kemudian keduanya berangkat berangkat. Ikut bersama keduanya Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan dari bani Dil, dia membawa mereka menempuh bagian bawah Mekkah, yakni jalur pantai”(H.R. Bukhari).
Dalam hadits di atas di jelaskan bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat darurat atau ketika tidak ditemukan orang Islam, dan Nabi mempekerjakan orang-orang Yahudi Khaibar selama tiga hari. Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak membolehkan menyewa orang musyrik, baik yang memusuhi Islam (harbi) maupun yang tidak memusuhi Islam (dzimmi), kecuali kondisi mendesak seperti tidak didapatkan orang Islam yang ahli atau dapat melakukan perbuatan itu. Sedangkan Ibnu Baththa mengatakan bahwa mayoritas ahli fiqih membolehkan menyewa orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab ini dapat merendahkan martabat mereka.
Kemudian hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:
حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: احتجم النبى صل الله عليه و
سلم واعطى الحجام اجره (رواه البخاري )

Artinya: ”Hadist dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas  r.a dia  berkata bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. (H.R.Bukhari)

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah terhadap orang yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi upah mengupah.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه ابن ماجه)
Artinya : ”Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” ( H.R Ibnu Majah )  .

Hadits di atas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang dipekerjakan, yaitu Nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau setelah pekerjaan itu selesai dilakukan.


c. Ijma’
Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang membantah  kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak ditanggapi . Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan ummat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.
B. Rukun dan Syarat Ijarah
1. Rukun Ijarah
Rukun merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah akad atau transaksi. Tanpa rukun akad tidak akan sah. Rukun sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan dalam bukunya ”al-Wajizu fi Ushul Fiqh” sebagi berikut:
الركن: جزء من حقيقة الشىء وماهيته   
Artinya: ”Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu dan zatnya”.

Dari defenisi yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa rukun mutlak adanya dalam sebuah akad ijarah.
Layaknya sebuah transaksi ijarah dapat dikatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat. Menurut Ulama Hanafiyah rukun dari ijarah itu hanya satu yakni ijab dan kabul dengan menggunakan lafal upah atau sewa (al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira` dan al-ikra`). Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan dan manfaat termasuk ke dalam syarat-syarat ijarah, bukan rukunnya. Sedangkan menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat yaitu: orang yang berakad, sewa/imbalan, manfaat, dan adanya sighat (ijab dan kabul).
Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan secara terperinci sebagai berikut:
  1. Orang yang berakad
Mu’jir dan Musta’jir. Mu’jir adalah orang yang menggunakan jasa atau tenaga orang lain untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Musta’jir adalah orang yang menyumbangkan tenaganya atau orang yang menjadi tenaga kerja dalam suatu pekerjaan dan mereka menerima upah dari pekerjaannya itu.
  1. Objek transaksi (manfaat)
Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas seperti mengerjakan pekerjaan proyek, membajak sawah dan sebagainya.
Sebelum melakukan sebuah akad ijarah hendaknya manfaat yang akan menjadi objek ijarah harus diketahui secara jelas agar terhindar dari perselisihan dikemudian hari baik jenis, sifat barang yang akan disewakan ataupun pekerjaan yang akan dilakukan.
  1. Imbalan atau upah
Upah sebagaimana terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang di bayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.Jadi upah merupakan imbalan dari suatu pekerjaan yang telah dilakukan. Pembayaran upah ini boleh berupa uang dan boleh berupa benda.
Dapat kita ketahui bersama bahwa ijarah adalah sebuah akad yang mengambil manfaat dari barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum syara’ yang berlaku. Oleh sebab itu, sewa atau imbalan mesti jelas dengan ketentuan awal yang telah disepakati.
  1. Sighat yaitu ijab dan kabul
Sighat pada akad merupakan suatu hal yang penting sekali karena dari sighatlah terjadinya ijarah. Karena sighat merupakan suatu bentuk persetujuan dari kedua belah pihak untuk melakukan ijarah. Dalam sighat ada ijab dan kabul. Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama (mu’jir) untuk menyewakan barang atau jasa sedangkan kabul merupakan jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang atau jasa yang dipinjamkan oleh mu’jir. Misalnya, anda bersedia bekerja pada proyek ini dalam waktu dua bulan dengan upah perharinya Rp.20.000,- dan jenis pekerjaannya yaitu pekerjaan jalan? kemudian buruh menjawab “ya”, saya bersedia.
2. Syarat Ijarah
Syarat secara bahasa adalah  العلامة اللازمة yang berarti pertanda yang lazim, indikasi, atau memastikan sesuatu. Sedangkan secara istilah syarat adalah:
مايتوقف وجود الشيء على وجوده، وكان خارجا عن حقيقته ولا يلزم من وجوده وجود الشيء

Artinya: ”Sesuatu yang tergolong padanya keberadaan hukum (syar’i) dan dia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum itu tidak ada”.

Syarat merupakan sesuatu yang bukan bagian dari akad, tetapi sahnya sesuatu tergantung kepadanya. Adapun syarat-syarat transaksi ijarah yaitu:
  1. Dua orang yang berakad disyaratkan:
1). Berakal dan mummayiz, namun tidak disyaratkan baligh. Maka tidak dibenarkan mempekerjakan orang gila, anak-anak yang belum mumayiz dan tidak berakal.Amir Syarifuddin menambahkan pelaku transaksi ijarah harus telah dewasa, berakal sehat dan bebas dalam bertindak dalam artian tidak dalam paksaan. Jadi transaksi ijarah yang dilakukan oleh anak-anak atau orang gila atau orang yang terpaksa tidak sah. Menurut ulama Hanafiyah pelakunya tidak dipersyaratkan telah baligh. Oleh karena itu, akad ijarah yang dilakukan kanak-kanak yang telah mumayyiz dan diizinkan walinya berlaku mengikat dan berdampak hukum. Tapi kalau pelakunya berada di bawah pengampuan (المحجور), maka keabsahan akadnya itu tergantung izin dari wali pengampunya.Namun demikian ulama Malikiyah menegaskan bahwa mummayiz menjadi syarat dalam akad ijarah. Sedang baligh manjadi syarat yang menentukan berlaku mengikat atau tidaknya akad tersebut. Oleh karena itu, menurut mereka, sah akad ijarah yang dilakukan seorang kanak-kanak, akan tetapi akad itu baru bisa dieksekusi setelah mendapat izin dari walinya.[31]
2).   Kerelaan (an-Tharadhin)
Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah, dan para pihak berbuat atas kemauan sendiri. [33]Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Karena Allah melarang penindasan atau intimidasi sesama manusia tapi dianjurkan saling meridhoi sesamanya. Sebagaimana firman allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 29:
$yg•ƒr’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù’s? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB ` <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.[34]

  1. Sesuatu yang diakadkan (barang dan pekerjaan) disyaratkan:[35]
1). Objek yang diijarahkan dapat di serah-terimakan dengan baik manfaat maupun bendanya.
2). Manfaat dari objek yang diijarahkan  harus yang dibolehkan agama, maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat seperti mempekerjakan sesorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.
3).  Manfaat dari pekerjaan harus diketahui oleh kedua belah pihak sehingga tdak muncul pertikaian dan perselisihan dikemudian hari.
4). Manfaat dari objek yang akan di ijarahkan sesuatu yang dapat dipenuhi secara hakiki.
5). Jelas ukuran dan batas waktu ijarah agar terhindar dari persengketaan atau perbantahan.
6). Perbuatan yang diijarahkan bukan perbuatan yang diwajibkan oleh mu’ajir seperi sholat, puasa dan lain-lain.
7).  Pekerjaan yang diijarahkan menurut kebiasaan dapat diijarahkan seperti menyewakan toko, computer, maka tidak boleh menyewakan pohon untuk menjemur pakaian, karena hal itu diluar kebiasaan.
Selain tujuh syarat diatas, Rachmat Syafei menambahkan bahwa Pekerjaan yang diijarahkan bukan sesuatu yang bermanfaat bagi si pekerja dan juga tidak mengambil manfaat dari hasi kerjanya, seperti mengambil gandum serta mengambil bubuknya.[36]
  1. Upah atau imbalan
Untuk sahnya ijarah, sesuatu yang dijadikan sebagai upah atau imbalan harus memenuhi syarat berikut: [37]
1).  Upah berupa benda yang diketahui yang dibolehkan memanfaatkannya (mal mutaqqwwim).
2).  Sesuatu yang berharga  atau dapat dihargai  dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
3). Upah /imbalan tidak disyaratkan dari jenis yang di akadkan misalnya sewa rumah dengan sebuah rumah.
Terhadap imbalan ada beberapa ketentuan dalam hal menerima atau memberikan:[38]
a)        Imbalan atau upah tersebut hendaknya disegerakan pembayarannya.
b)        Mesti ada kejelasan berapa banyak yang diterima sehingga kedua belah pihak akan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
c)        Imbalan atau upah dapat diberikan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Apakah diberikan seluruhnya atau selesai waktunya. Ini semua tergantung kebiasaan yang terjadi pada masyarakat asalkan tidak ada yang terzalimi terhadap upah yang akan diterima.
d)       Imbalan atau upah benar-benar memberikan manfaat baik berupa barang atau jasa, sesuai dengan ketentuan yang disepakati bersama sehingga kedua belah pihak saling merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lainnya. Maksudnya, terhadap semua kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak tersebut memang mesti ditunaikan.
e)        Upah atau imbalan mesti berupa benda yang diketahui yang diperbolehkan memanfaatkanya.
d. Sighat (ijab dan kabul) disyaratkan berkesesuaian dan menyatunya majelis akad seperti yang disyaratkan dalam akad jual beli. Maka akad ijarah tidak sah jika antara ijab dan kabul tidak bersesuaian, seperti antara objek akad dan batas waktu.[39]
C. Macam – Macam Ijarah
Dari segi objeknya, akad ijarah dibagi para ulama fiqih kepada dua macam:
  1. Ijarah yang bersifat manfaat (sewa). Ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, dan kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk digunakan, maka para ulama fiqih sepakat hukumnya boleh dijadikan objek sewa-menyewa. [40]
  2. Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas dan sesuai syari’at, seperti buruh pabrik, tukang sepatu, dan tani. [41]
Ijarah ‘ala al-‘amal (upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu: [42]
  1. Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah. Seperti pembantu rumah tangga.
  1. Ijarah Musytarak
Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan orang lain. Contohnya para pekerja pabrik..
Adapun perbedaan spesifik antara jasa dan sewa adalah pada jasa tenaga kerja, disyaratkan kejelasan karakteristik jasa yang diakadkan. Sedang pada jasa barang, selain persyaratan yang sama, juga disyaratkan bisa dilihat (dihadirkan) pada waktu akad dilangsungkan, sama seperti persyaratan barang yang diperjual belikan.[43]
D. Berakhirnya Akad Ijarah
Para ulama fiqih menyatakan bahwa akad ijarah akan berakkhir apabila:
  1. Ijarah berakhir apabila dibatalkan. Sebab sewa adalah suatu tukaran harta dengan harta. Oleh sebab itu, boleh dibatalkan sama seperti jual beli.[44]
  2. Manfaat yang di harapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah selesai kecuali ada uzur atau halangan. Apabila ijarah telah berakhir waktunya, maka penyewa wajib mengembalikan barang sewaan utuh seperti semula. Bila barang sewaan sebidang tanah pertanian yang di tanami dengan tanaman, maka boleh ditangguhkan sampai buahnya bisa dipetik dengan pembayaran yang sebanding dengan tenggang waktu yang di berikan.[45]
  3. Menurut Ulama Hanafiyah, akad sewa dapat batal, karena munculnya halangan mendadak terhadap si penyewa. Misalnya, jika seseorang menyewa tokoh untuk berdagang kemudian dagangannya terbakar atau dicuri orang. Alasannya adalah bahwa hilangnya sesuatu yang digunakan untuk memperoleh manfaat itu sama dengan hilangnya barang yang memilki manfaat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, sewa menyewa tidak dapat batal kecuali ada hal-hal yang membatalkan akad (uzur) seperti cacat atau tempat pemenuhan manfaatnya hilang.[46]
    1. Menurut Ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad ijarah, maka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.[47]
Sifat ijarah adalah mengikat para pihak yang berakad. Mengikat yang dimaksud disini adalah apakah akad ijarah bisa di batalkan (fasakh) secara sepihak atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad yang lazim (mengikat) yang boleh dibatalkan. Menurut mereka ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang berakad dan tidak dapat dialihkan kepada ahi waris. Alasanya adalah bahwa kematian itu merupakan perpindahan barang yang disewakan dari satu pemilikan kepada pemilikan yang yang lain. Karena itu, akad tersebut harus batal. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan dan dapat diwariskan. Adapun alasannya adalah bahwa akad ijarah itu merupakan akad imbalan. Karena itu, tidak menjadi batal karena meninggalnya salah satu pihak seperti dalam jual beli.[48]
E. Penentuan Upah dan Pembayarannya
Masalah yang paling penting dalam ijarah adalah menyangkut pemenuhan hak-hak musta’jir, terutama sekali hak untuk diperlakukan secara baik dalam lingkungan pekerjaan, hak-hak atas jaminan social, dan hak atas upah yang layak. Untuk itu perlu dikaji tentang ketentuan hak-hak musta’jir terutama tentang upah.
Pembayaran upah adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang menyewa/mengupah seseorang untuk melakukan pekerjaan. Upah adalah hak yang harus diterima oleh orang yang dipekerjakan setelah pekerjaan itu selesai dilakukan. Dalam ketentuan Islam dikatakan apabila seseorang menyewa atau mengupah seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan maka hendaklah pembayaran upah itu mereka tentukan terlebih dahulu. Sedangkan pembayaran upahnya yang tidak ada aturan yang mengaturnya perlu ada perjanjian dan dilaksanakan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk itu dalam perjanjian ijarah, penyewa dan yang memberikan jasa harus menetapkan kapan dan berapa jumlah upah atau sewa yang akan diterima, agar terjadi kesepakatan dan kerelaan diantara kedua belah pihak baik orang yang di sewa maupun orang yang menyewa, sehinga pekerjaan akan dilakukan dengan ihklas dan senang hati  serta dapat mencegah terjadinya perselisihan.
Pembayaran ini dapat dipercepat dan dapat pula ditangguhkan. Menurut Mazhab Hanafi mensyaratkan mempercepat upah dan menangguhkan upah boleh dengan syarat adanya kesepakatan dan kerelaan dari kedua belah pihak.[49]
Jika dalam akad tidak terdapat kesepakatan untuk mempercepat dan menangguhkan pembayaran upah, sekiranya upah itu bersifat dikaitkan dengan waktu tertentu, maka wajib dipenuhi sesudah berakhirnya masa tersebut. Misalnya seseorang memyewa sebuah toko untuk selama satu bulan, apabila masa satu bulan telah berakhir maka ia wajib membayar sewaan tersebut. Jika akad ijarah untuk pekerjaan, maka kewajiban untuk pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan tersebut.[50]
Kemudian jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai penerimaan bayaran dan tidak ada ketentuan menangguhkan. Menurut Abu Hanifah  dan Malik, wajib diserahkan secara angsuran, sesuai dengan manfaat yang di terima.
Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal, sesungguhnya ia berhak sesuai dengan akad itu sendiri, jika orang yang meyewakan menyerakan ‘ain kepada orang yang menyewa , ia berhak menerima seluruh bayaran karena si penyewa sudah memiliki kegunaan (manfaat) dengan sistem ijarah dan ia wajib menyerahkan bayaran agar dapat menerima ‘ain (agar ‘ain dapat diserahkan kepadanya).[51]
Dalam pembayaran upah dianjurkan untuk mempercepat pembayarannya dan jangan menunda-nunda pembayaran upah tersebut. Salah satu norma ditentukan islam adalah memenuhi hak-hak musta’jir. Islam tidak membenarkan jika seorang pekerja mencurahkan jerih payah dan keringatnya sementara upah tidak di dapatkan, dikurangi dan ditunda-tunda.[52]Selanjutnya, perlu diketahui juga kapan upah harus dibayarkan oleh para mu’jir. Untuk menjawab itu Nabi saw mengatakan dalam haditsnya sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ  عَرَقُهُ (رواه ابن ماجه).[53]

Artinya : ”Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” ( H.R Ibnu Majah )  .

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi SAW memerintahkan, bayarkanlah upah buruh itu sebelum kering keringatnya, artinya upah musta’jir dibayarkan  secepatnya atau dengan kata lain selesai bekerja  langsung menerima upahnya.
Jika menyewa barang, maka barang sewaan di bayar ketika akad sewa, kecuali jika di dalam akad ditentukan lain manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.
Jadi Allah melarang penindasan dengan mempekerjakannya tetapi  tidak membayar upahnya. Di samping itu Rasulullah sendiri pernah melakukan pengupahan terhadap seorang bekam, namun Nabi karena telah menggunakan jasanya tetap menunaikan upahnya, sebagaimana yang terdapat dalam hadist sebagai berikut:
حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال احتجم النبى صل الله عليه وسلم
واعطى الحجام اجره (رواه البخاري )[54]

Artinya: ”Hadist dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas  r.a keduanya  berkata bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. (H.R.Bukhari)

Dalam hadits berikutnya juga dijelaskan bahwa di akhirat ada tiga golongan yang diancam dan di musuhi oleh Allah kelak. Salah satu diantaranya adalah majikan yang mempekerjakan seorang buruh kemudian tidak memberikan haknya secara layak, tidak membayar upahnya padahal buruh telah memenuhi kewajibannya dengan semestinya. Sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:
حد ثنا يوسف بن محمد قال حد ثني يحي بن سليم عن إسما عيل بن أمية عن سعيد بن أبي سعيد عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صل الله عليه و سلم قال قال الله تعالى: ثلا ثة انا خضمهم يوم القيامة: رجل اعطى بي ثم غدر، ورجل باع حرا  فأ كل ثمنه، ورجل استأ جر أجيرا فاستوفى منه ولم يعطه اجره (رواه البخاري)[55]

Artinya: ”Dari Yusuf bin Muhammad berkata: menyampaikan kepadaku Yahya bin Sulaim dari Ismail bin Umayyah dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah R.A dari Nabi SAW bersabda:”Allah SWT berfirman ada tiga golongan yang aku musuhi di hari kiamat yaitu: orang yang berjanji dengan nama-Ku, kemudian dia berkhianat, orang menjual manusia merdeka kemudian memakan harganya, dan orang yang mempekerjakan buruh lalu ia ambil tenaganya dengan cukup tetapi tidak memberikan upahnya” (H.R. Bukhari)

F. Hikmah Ijarah
Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehiduan manusia.[56] Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Adapun hikmah diadakannya ijarah antara lain:
  1. Membina ketentraman dan kebahagiaan
Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerja sama antara mu’jir dan mus’tajir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah.
Dengan transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman [57] .
  1. Memenuhi nafkah keluarga
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%ø—Í‘ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4

Artinya: ”Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf ”.[58]

  1. Memenuhi hajat hidup masyarakat
Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarkat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.
  1. Menolak kemungkaran
Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran  yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh yang menganggur.[59]Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.


Ijarah


PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang

Di zaman sekarang sudah banyak berdiri lembaga-lembaga keuangan, baik yang bersifat syariah atau konvesional. Disamping itu antara keduanya mempunyai konsep yang sedikit berbeda, namun pada asalnya keduanya itu mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu memperoleh keuntungan. Berbagai badan usaha yang tumbuh subur di negara kita ialah perbankan syariah.
Diantara fenomena yang terjadi pada pembahasan-pembahasan tersebut adalah transaksi yang disebut ijarah atau lebih dikenal dengan sewa-menyewa. Sebagai umat muslim kita semua sudah tahu bahwa ijarah itu adalah diperbolehkan, dan itu merupakan salah satu transaksi dalam muamalah yang sedang kita pelajari saat ini. Hal ini patut mendapatkan perhatian dan dukungan dari kita semua sebagai orang muslim. Dengan demikian laju perkembangan dan arah langkahnya akan tetap lurus sebagaimana yang digariskan syariat Islam.
Oleh karena hal itu, saya atas nama penulis berusaha mengenal lebih dalam tentang ijarah yang telah jelas dasar hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadits. Dengan memahami hal tersebut, diharapakn kita dapat memahami hakikat transaksi ijarah yang benar menurut syariat yang ada.
  1. Rumusan Masalah
  1. Apa itu definisi ijarah?
  2. Apa dasar hukum ijarah?
  3. Apa saja syarat ijarah serta macam-macamnya?
  4. Bagaimana fitur dan mekanisme dalam ijarah?
  5. Apa objek ijarah?
  6. Bagaimana sifat dan hukum akaad ijarah?
  7. Bagaimana berakhirnya akad ijarah?


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Ijarah
Dalam fiqh muamalah, sewa-menyewa disebut dengan kata ijarah. Ijarah berasal dari kata "al-ajru" yang secara bahasa berarti "al-'iwadhu" yaitu ganti. Sedangkan menurut istilah syara', ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Lafal ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Dalam arti yang luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain. Menurut etimologi, ijarah adalah menjual manfaat, demikian pula artinya menurut etimologi syarat. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat definisi ijarah oleh ulama-ulama fiqih :
  1. Ulama Hanafiah
Artinya akad suatu kemanfaatan dengan pengganti.
  1. Ulama Asy-Syafi’iyah
Artinya akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.
  1. Ulama Malikiah & Hanabilah
Artinya menjadikan suatu milik kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa ijarah adalah pengambilan manfaat suatu benda, dalam hal bendanya tidak berkurang sama sekali. Dengan perkataan lain, dalam praktik sewa-menyewa yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan, sedangkan kepemilikan tetap pada pemilik barang. Sebagai imbalan pengambilan manfaat dari suatu benda, penyewa berkewajiban memberikan bayaran. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ijarah merupakan suatu kesepakatan yang dilakukan oleh satu atau beberapa orang yang melaksanakan kesepakatan yang tertentu dan mengikat, yaitu dibuat oleh kedua belah pihak untuk dapat menimbulkan hak serta kewajiban antara keduanya.

Dalam pengertian lain ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa.
Ada yang menerjemahkan sebagai upah mengupah. Menurut penulis keduanya benar, sebab penulis membagi ijarah menjadi dua bagian yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.
Dalam hukum Islam, orang yang menyewakan diistilahkan dengan "mu’ajjir", sedangkan penyewa disebut "musta’jir" dan benda yang disewakan disebut "ma’jur". Imbalan atas pemakaian manfaat disebut "ajran" atau "ujrah". Perjanjian sewa-menyewa dilakukan sebagaimana perjanjian konsensual lainnya, yaitu setelah berlangsung akad, maka para pihak saling serah terima. Pihak yang menyewakan (mu’ajjir) berkewajiban menyerahkan barang (ma’jur) kepada penyewa (musta’jir) dan pihak penyewa berkewajiban memberikan uang sewa (ujrah).


  1. Dasar Hukum Ijarah

أعْطُوا الأجِيْرَ أجْرَهُ قَبْل أن يَجُف عَرَقَهُ
“Berilah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringan mereka” (HR. Ibnuj Majah, al Tabrani, dan al-Tirmidzi)
أن رسول الله ص م إحْتَجَمَ وأعْطَى الحِجامَ أجْرَه
“Rasul berbekam dan membayar upah kepada yang membekamnya” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dalam periwayatan hadits-hadits tentang al-ijarah, sering kali terkait dengan beberapa aspek hukum muamalah lainnya seperti jual beli (buyu'), musyarakah dan lain sebagainya. Karena hal tersebut berkenaan dengan hukum perjanjian (akad). Unsur yang terpenting untuk diperhatikan yaitu kedua belah pihak cakap bertindak dalam hukum yaitu punya kemampuan untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk (berakal/tidak gila). Dengan demikian terjadi perjanjian sewa-menyewa yang kontras dan transparan dan tidak ada saling merugikan di antara kedua belah pihak. Adapun hadist lain yang menjadi dasar hukum yangv lain adalah:
عن عائشة رضى الله عنها قالت: إستأجر رسول الله صلى الله عليه وسلم و أبو بكر رجلا من بنى الديل خريتا، وهو على دين كفارقريش فدفعا لله راحلتيهما ووأعداه غار ثور بعد ثلاثة ليال براحلتيهما.{رواه البخارى}
Artinya: Dari Aisyah r.a, beliau mengabarkan: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang ahli dari Bani ad-Dail dan orang itu memeluk agama kafir Quraisy, kemudian beliau membayarnya dengan kendaraannya kepada orang tersebut dan menjanjikannya di Gua Tsur sesudah tiga malam dengan kendaraan keduanya (HR. Bukhari).
Dalam hadist-hadist yang menjadi dasar hukum ijarah tersebut bahwa kita di anjurkan untuk memberikan kepada orang yang telah bekerja untuk kita sebelum keringatnya kering. Maksudnya disini ialah waktu membayar upahnya itu tidak boleh berlama-lama dari selesainya bekerja, artinya jangan menunda-nunda atau bahkan sampai terlambat dan akhirnya lupa tidak memberi upah.
  1. Rukun Ijarah

Adapun rukun-rukun ijarah yaitu :
  • Mu’jar (orang/barang yang disewa)
  • Musta’jir (orfang yang menyewa)
  • Sighat (ijab dan qabul)
  • Upah dan manfaat

  1. Syarat Ijarah

  • Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal.
  • Menyatakan kerelaannya untuk melakukan ijarah.
  • Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna.
  • Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak cacat.
  • Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ dan merupakan sesuatu yang bisa disewakan.
  • Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
  • Upah atau sewa dalam akad harus jelas dan sesuai dengan yang bernilai harta.

  1. Macam-Macam Ijarah

Dari perspektif objek dalam kontrak sewa (al-ma’qud ‘alaih) dibagi menjadi 3:
  • Ijarah ‘ain, adalah akad sewa menyewa atas manfaat yang bersinggungan langsung dengan bendanya, seperti sewa tanah atau rumah 1 juta sebulan untuk tempo 1 tahun.
  • Ijarah ‘amal, ialah apa yang djadikan adalah kerja itu sendiri yaitu upah keahliannya dalam bekerja, seperti dokter, dosen, lawyer, tukang, dll.
  • Ijarah mawshufah fi al-zimmah/ ijarah al-zimmah, yaitu akad sewa menyewa dalam bentuk tanggungan, misalnya menyewakan mobil dengan ciri tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Dalam konteks modern misalnya si A menyewakan rumahnya dilokasi tertentu dengan ukuran tertentu pula kepada si B. Tapi rumah tersebut akan siap dalam tempo dua bulan lagi. Namun si B telah lebih awal menyewanya untuk tempuh 3 tahun dengan bayaran bulanan 2juta. Ini ijarah fi al-zimmah, karena manfaat yang disewakan menjadi seperti tanggung jawab hutang kepada si A. Pemberi sewa perlu memastikan spesifikasi manfaat sewa rumah itu ditempati apabila sampai temponya.

  1. Fitur & Mekanisme Ijarah

  1. Hak perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajir), yaitu memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir), dan mengakhiri akad ijarah dan menarik objek ijarah apabila penyewa tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
  2. Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
  • Menyediakan objek ijarah yang disewakan
  • Menanggung biaya pemeliharaan objek ijarah
  • Menjamin objek ijarah yang disewakan, tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik
  1. Hak penyewa (musta’jir) antara lain meliputi :
  • Menerima objek ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan
  • Menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan
  1. Kewajiban penyewa antara lain meliputi:
  • Membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan
  • Mengembalikan objek ijarah apabila tidak mampu membayar sewa
  • Menjaga dan mempergunakan objek ijarah sesuai yang diperjanjikan
  • Tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan objek ijarah kepada pihak lain

  1. Objek Ijarah

Objek ijarah adalah berupa barang modal yang meliputi ketentuan, antara lain :
  • Objek ijarah merupakan milik/dan atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir).
  • Manfaat objek ijarah harus dapat dinilai.
  • Manfaat objek ijarah harus dapat deserahkan penyewa (musta’jir)
  • Pemanfaatan objek ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syara’.
  • Manfaat ob jek ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas.
  • Spesifikasi objek ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu pemanfaatannya.

  1. Sifat dan Hukum Akad Ijarah

Para ulama’ fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu kedua belah pihak, seperti contohnya salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama’ mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Apabila seorang yang berakad meninggal dunia, manfaat dari akad ijarah boleh diwariskan karena termasuk harta dan kematian salah seorang pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.

  1. Berakhirnya Akad Ijarah

  • Objek hilang atau musnah
  • Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir
  • Wafatnya seorang yang berakad
  • Menurut ulama’ hanafiyah, apabila ada udzur dari salah satu pihak seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad ijarah batal. Akan tetapi, menurut jumhur ulama’ udzur yang boleh membatalkan akad ijarah hanyalah apabila objeknya cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.













BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan

Dari uraian penjelasan yang telah penulis paparkan di atas tadi dapat disimpulkan secara sederhana bahwa definisi dari ijarah itu sendiri adalah suatu akad yang berisi penukaran manfaat dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain. Dalam masalah pendefinisian tentang ijarah ini ada bermacam-macam pendapat di kalangan para ulama, tapi sesungguhnya semua itu pada hakekatnya sama dalam hal hukumnya.
Adapun dasar hukum ijarah diantaranya yaitu pada hadist yang diriwayatkan ibnu majah, al-Tabrani, dan at-Tirmizdi yang artinya “Berilah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”. Serta pada hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori yang artinya bahwa “Dari Aisyah r.a, beliau mengabarkan: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang ahli dari Bani ad-Dail dan orang itu memeluk agama kafir Quraisy, kemudian beliau membayarnya dengan kendaraannya kepada orang tersebut dan menjanjikannya di Gua Tsur sesudah tiga malam dengan kendaraan keduanya”.
Rukun dan syarat seperti yang telah dijelaskan diatas, diantaranya yaitu barang yang disewa, orang yang menyewa, sighat, dan upah. Syarat ijarah diantaranya aqidaini harus berakal dan sehat, manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna, objek ijarah harus yang halal dan merupakan barang/sesuatu yang disewakan. Macam-macam ijarah dari perspektif objek dalam kontrak sewa ada tiga, yaitu ijarah ‘ain, ‘amal, dan mawshufah fi al-zimmah. Fitur dan mekanisme ijarah juga telah disebutkan sebagaimana yang telah dipaparkan diatas secara rinci.
Objek ijarah adalah berupa barang modal yang meliputi ketentuan, antara lain objek ijarah merupakan milik/dan atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa, manfaat objek harus dapat dinilai, dan manfaat objek ijarah harus dapat diserahkan penyewa. Masalah sifat dan akad ijarah, para ulama’ fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu kedua belah pihak. Akan tetapi, jumhur ulama’ mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.
Berakhirnya akad ijarah bisa karena objek ijarah hilang atau musnah, bisa juga karena wafatnya seorang yang berakad. Demikian itu kesimpulan yang dapat penulis paparkan dari makalah ini, selebihnya sudah dijelaskan pada bab pembahasan.























  1. Daftar Pustaka

Andri Soemitra,MA. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana 2009 Ed.1 Cet.1
Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 572. An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.3.
Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Jakarta: Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002












No comments:

Post a Comment

terimakasih telah mengunjungi blog saya.