Perilaku
Konsumsi dalam Ekonomi Islam
- Pengertian dan Tujuan Konsumsi
Pengertian konsumsi secara umum
diformulasikan dengan: ”Pemakaian dan penggunaan barang – barang dan jasa,
seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan rumah tangga, kenderaan, alat-alat
hiburan, media cetak dan elektronik, jasa telephon, jasa konsultasi hukum,
belajar/ kursus, dan sebagainya”.
Berangkat dari pengertian ini, maka
dapat dipahami bahwa konsumsi sebenarnya tidak identik dengan makan dan minum
dalam istilah teknis sehari-hari; akan tetapi juga meliputi pemanfaatan atau
pendayagunaan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Namun, karena yang paling
penting dan umum dikenal masyarakat luas tentang aktivitas konsumsi adalah
makan dan minum, maka tidaklah mengherankan jika konsumsi sering diidentikkan
dengan makan dan minum.
Tujuan konsumsi dalam Islam adalah
untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian,
perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah
terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan
dan minum agar bisa beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup aurat agar bisa shalat, haji, bergaul
sosial dan terhindar dari perbuatan mesum (nasab).
Sebagaimana disebut di atas, banyak
ayat dan hadits yang berbicara tentang konsumsi, di antaranya Surat al A’raf
ayat 31. Ayat ini tidak saja membicarakan konsumsi makanan dan minuman, tetapi
juga pakaian. Bahkan pada ayat selanjutnya (ayat 33) dibicarakan
tentang perhiasan..
يَابَنِي
ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ {31} قُلْ مَنْ
حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الَّتِى أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ
الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً
يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah
di setiap memasuki masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS 7:31
B.
Perilaku Konsumsi dalam Ekonomi konvensional
Perilaku konsumen dalam teori
ekonomi konvensional dianalisa melalui Preferensi, Budget line, dan kombinasi
antara preferensi dan budget line sebagai pilihan konsumen.
1.
Preferensi
Dalam preferensi, konsumen lebih
menyukai barang-barang tertentu dibanding dengan barang-barang lain. Ada tiga
asumsi dalam preferensi, yaitu:
- Komplit/kelengkapan, konsumen mengetahui nilai utilitas dari semua pilihan yang diinginkannya.
- Transitif/konsisten, konsumen sellau konsisten dalammembuat suatu pilihan antara berbagai kombinasi barang yang ada.
- Lebih banyak lebih disukai (tanpa kepuasan), konsumen tidak merasa puas sepenuhnya meskipun sudah memperoleh semua barang kebutuhanya.
2.
Budget line
Budget line atau garis anggaran
adalah garis yang menunjukkan kombinasi dua barang yang dapat dibeli konsumen.
Garis anggaran sering disebut isocost, karena semua titik pada garis
tersebut mengungkapkan sejumlah barang dengan pengorbanan biaya yang sama.
3.
Pilihan
konsumen
Preferensi dan garis anggaran
merupakan dua instrumen yang diperlukan dalam menganalisis pengambilan
keputusan konsumen tentang apa yang ingin dikonsumsinya.
Teori-teori konvensional tentang
perilaku konsumen dalam mengkonsumsi sesuatu pada umumnya memiliki beberapa
asumsi, yaitu :
- Barang atau jasa itu memiliki kegunaan (Utilitas) tertentu.
- Setiap konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang adalah ingin mencapai kepuasan total yang maksimal.
- Jika suatu barang dikonsumsi secara terus menerus, maka tambahan kegunaan (utilitasnya) akan semakin menurun. Hal ini mengacu dengan hukum pertambahan utilitas yang semakin menurun (The Law of Diminishing Marginal Utility).
- Jika konsumen mengkonsumsi lebih dari satu macam barang, maka ia akan menentukan kombinasi yang dapat memberikan tingkat kegunaan atau kepuasan yang maksimal.
- Konsumen akan berhenti mengkonsumsi suatu barang jika guna marginalnya sudah menyamai atau lebih rendah dari harga barang yang bersangkutan.
- Konsumen akan berupaya memaksimalkan kepuasannya sesuai dengan anggaran belanja yang dimilikinya.
- Konsumen dalam kondisi ekuilibrium atau seimbang jika dia telah menggunakan pendapatannya dengan cara sedemikian rupa sehingga kegunaan dari mata uang (harga) terakhir yang dibelanjakannya pada berbagai komoditi adalah sama.
C. Prinsip Konsumsi dalam Islam
Dalam ekonomi Islam, konsumsi diakui
sebagai salah satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi dalam kehidupan
manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen
untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi
adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu
memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.
Dengan demikian dalam Islam konsumsi
itu tidak dapat dipisahkan dari peran keimanan. Peranan keimanan menjadi tolok
ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung
mempengaruhi kepribadian manusia, yaitu dalam bentuk perilaku, gaya hidup,
selera, sikap-sikap terhadap sesama manusia, sumber daya dan ekologi. Keimanan
sangat mempengaruhi sifat, kuantitas, dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk
kepuasan material maupun spiritual. Inilah yang disebut sebagai bentuk upaya
meningkatkan keseimbangan antara orientasi duniawi dan ukhrawi. Keimanan
memberikan saringan moral dalam membelanjakan harta dan sekaligus memotivasi
pemanfaatan sumberdaya (pendapatan) untuk hal-hal yang efektif. Saringan moral
bertujuan untuk menjaga kepentingan diri agar tetap berada dalam batas-batas
kepentingan sosial. Dalam konteks inilah kita berbicara tentang bentuk-bentuk
konsumsi halal dan haram, pelarangan terhadap israf, bermegah-megahan,
bermewah-mewahan, pentingnya konsumsi sosial, serta aspek-aspek normatif
lainnya.
Sejalan dengan itu, Yusuf Qardhawi
menyebutkan beberapa variabel moral dalam berkonsumsi, di antaranya; konsumsi
atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak
bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Dengan
demikian aktifitas konsumsi merupakan salah satu aktifitas ekonomi manusia yang
bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT dalam rangka
mendapatkan kemenangan, kedamaian dan kesejahteraan akherat (falah),
baik dengan membelanjakan uang atau pendapatannya untuk keperluan dirinya
maupun untuk amal shaleh bagi sesamanya.
Selanjutnya secara lebih terperinci,
menurut Abdul Mannan perintah Islam mengenai konsumsi setidaknya dikendalikan
oleh lima prinsip yaitu:
2.
Prinsip
keadilan. Mengandung arti bahwa rezeki yang dikonsumsi haruslah yang halal dan
tidak dilarang hukum. Tidak membahaykan tubuh, moral dan spiritual manusia,
serta tidak mengganggu hak milik dan rasa keadilan terhadap sesama.
3.
Prinsip
Kebersihan. Obyek konsumsi haruslah sesuatu yang bersih dan bermanfaat. Yaitu
sesuatu yang baik, tidak kotor, tidak najis, tidak menjijikkan, tidak merusak
selera, serta memang cocok untuk dikonsumsi manusia.
4.
Prinsip
Kesederhanaan. Konsumsi haruslah dilakukan secara wajar, proporsional, dan
tidak berlebih-lebihan. Prinsip-prinsip tersebut tentu berbeda dengan ideologi
kapitalisme dalam berkonsumsi yang menganggap konsumsi sebagai suatu mekanisme
untuk menggenjot produksi dan pertumbuhan. Semakin banyak permintaan maka
semakin banyak barang yang diproduksi. Disinilah kemudian timbul pemerasan,
penindasan terhadap buruh agar terus bekerja tanpa mengenal batas waktu guna
memenuhi permintaan. Dalam Islam justru berjalan sebaliknya: menganjurkan suatu
cara konsumsi yang moderat, adil dan proporsional. Intinya, dalam Islam
konsumsi harus diarahkan secara benar dan proporsional, agar keadilan dan
kesetaran untuk semua bisa tercipta.
5.
Prinsip
kemurahan hati. Makanan, minuman, dan segala sesuatu halal yang telah disediakan
Tuhan merupakan bukti kemurahanNya. Semuanya dapat kita konsumsi dalam rangka
kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik demi menunaikan perintah
Tuhan. Karenanya sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan
hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan
minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita kemudian kita
berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
6.
Prinsip
moralitas. Kegiatan konsumsi itu haruslah dapat meningkatkan atau memajukan
nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebutkan
nama Allah sebelum makan, dan menyatakan terimakasih setelah makan adalah agar
dapat merasakan kehadiran ilahi pada setiap saat memenuhi kebutuhan fisiknya.
Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup
material dan spiritual yang berbahagia
D.
Unsur-unsur Penentu Preferensi Konsumen
Ketika kebutuhan masyarakat masih
bisa dipenuhi oleh sumber daya yang ada, maka tidak akan terjadi persoalan,
bahkan juga tidak akan terjadi persaingan. Namun manakala kebutuhan seseorang
atau masyarakat akan barang dan jasa sudah melebihi kemampuan penyediaan barang
dan jasa tersebut, maka akan terjadilah apa yang disebut kelangkaan.
Fenomena itu akan mendorong manusia untuk memakmurkan bumi dan
menciptakan kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Kondisi kelangkaan barang juga dapat dijadikan momen untuk menguji keimanan
dan kesabaran manusia. Allah berfirman dalam QS. Asy-Syuura ayat 27 : Dan
jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hambanya tentulah mereka akan
melampaui batas di bumi ini.”Itulah diantara hikmah kelangkaan barang tersebut.
Manusia harus memanfaatkannya
seoptimal mungkin tanpa menimbulkan kerusakan dan ketidakadilan dimuka bumi.
Implikasi dari prinsip diatas adalah ’ tidak ada kelangkaan absolut dimuka bumi
ini’. Menurut Masudul Alam Choudhury dalam bukunya, Contributions to Islamic
Economic Theory, manusia menduga adanya kelangkaan karena adanya keterbatasan
pengetahuan tentang bagaimana cara memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya.
Dengan demikian, dalam konsep Islam tentang ekonomi, barang- barang yang dapat diolah
oleh manusia dapat digolongkan sebagai barang yang memiliki kelangkaan, dan
termasuk ’barang ekonomi’. Sedangkan barang-barang yang masih diluar jangkauan
kapasitas produktif manusia, bukanlah barang-barang yang langka, dengan
demikian tergolong ’bukan barang ekonomi’.
1. Tidak boleh hidup bermewah-mewah
2. Pelarangan Israf, Tabdzir dan Safih
Israf adalah
melampaui batas hemat dan keseimbangan dalam berkonsumsi. Tabdzir adalah
melakukan konsumsi secara berlebihan dan tidak proporsional. Sedangkan Safih
adalah orang yang tidak cerdas (rusyd), dimana ia melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan syariah dan senantiasa menuruti hawa nafsunya.
3. Keseimbangan dalam berkonsumsi
4. Larangan berkonsumsi atas barang dan jasa yang membahayakan
E.
Teori Konsumsi Islam
Menurut Imam Al-Ghazali kebutuhan
(hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan
dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan makanan dan pakaian. Kebutuhan
makanan adalah untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan
pakaian untuk menolak panas dan dingin. Pada tahap ini mingkin tidak bisa
dibedakan antara keinginan (syahwat) dan kebutuhan (hajat) dan terjadi
persamaan umum antara homo economicus dan homo Islamicus. Namun manusia harus
mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk
menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik
manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai
hamba Allah yang beribadah kepada-Nya. Disinilah letak perbedaan mendasar
antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami dan konvensional.
Lebih
jauh Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya niat dalam melakukan konsumsi
sehingga tidak kosong dari makna dan steril. Konsumsi dilakukan dalam rangka
beribadah kepada Allah SWT. Disini tampak pula pandangan integral beliau
tentang falsafah hidup seorang Muslim.
Pembahasan
tentang tingkatan-tingkatan pemenuhan kebutuhan manusia (hajat) telah menarik
perhatian para ulama disepanjang zaman. Norma dan batasan ini pada gilirannya
akan membentuk gaya hidup (life style) dan pola perilaku konsumsi (patterns of
consumption behaviour) tertentu yang secara lahiriah akan membedakannya dari
gaya hidup yang tidak diilhami oleh roh ajaran Islami.
Dalam bukunya yang berjudul Ihya Ulumiddin Imam al-Ghazali membagi tiga
tingkatan konsumsi yaitu, sadd ar-Ramq dan ini disebut juga had ad-dhoruroh,
had al-hajah, dan yang tertinggi adalah had at-tana’um. Had ar-ramq atau
batasan darurat adalah tingkatan konsumsi yang paling rendah dan bila
manusia berada dalam kondisi ini, ia hanya mampu bertahan hidup dengan penuh
kelemahan dan kesusahan. Imam Al-Ghazali sendiri menolak gaya hidup seperti ini
karena individu tidak akan mampu melaksanakan kewajiban agama dengan baik dan
akan meruntuhkan sendi-sendi keduniaan yang pada gilirannya juga akan
meruntuhkan agama karena dunia adalah ladang akhirat (ad-Dunya Mazro’ah
al-akhirah).
Tingkatan tana’um digambarkan
bahwa individu pada tahapan ini melakukan konsumsi tidak hanya didorong oleh
usaha memehuni kebutuhannya. Tetapi juga bertujuan untuk bersenang-senang.
Menurut Imam Al-Ghazali gaya hidup bersenang- senang ini tidak cocok bagi
seorang mukmin yang tujuan hidupnya untuk mencapai derajat tertinggi dalam
ibadah dan ketaatan. Kendatipun begitu, gaya hidup demikian tidak seluruhnya
haram. Sebagian dihalalkan, yaitu ketika individu menikmatinya dalam kerangka
menghadapi nasib di akhirat, walaupun untuk itu, ia akan tetap diminta
pertanggungjawabannya kelak. Barangkali keadaan ini dapat lebih ditegaskan
bahwa meninggalkan had tana’um tidak diwajibkan secara keseluruhan begitu
juga menikmatinya tidak dilarang semuanya.
Antara had ad-dhorurah dengan tana’um
terdapat area yang sangat luas disebut had al-hajah dimana keseluruhannya halal
dan mubah. Menurut Al-Ghazali area ini memiliki dua ujung batasan yang berbeda
yaitu ujung yang berdekatan dengan perbatasan dharurah dan ini di nilainya
tidak mungkin dipertahankan karena akan menimbulkan kelemahan dan kesengsaraan
dan ujung yang lain berbatasan dengan tana’um dimana individu yang berada
disini dianjurkan untuk ekstra waspada. Hal ini disebabkan karena ujung
perbatasan ini dapat menjerumuskannya kedalam hal- hal yang membuatnya terlena
secara tidak sadar dan akhirnya melalaikan tugasnya dalam beribadah kepada
Allah. Beliau menasehati kita agar sedapat mungkin menetap di had al-hajah
dengan sedekat mungkin mendekati had ad-dharurah dalam rangka meneladani para
Nabi dan Wali. Belakangan Imam Suyuthi (w.911H) dalam al-Asybah wan Nazhoir
menulis lima tingkatan yaitu, dharurah, hajah, manfa’ah, ziinah dan fudhul.
BAB III
PENUTUP
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah
Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan
ini menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan
konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi
perilaku konsumsi masyarakat muslim :
1. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan
akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi
untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada
konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena
terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present
consumption.
2. Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur
dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki.
Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai.
Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas
Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan
bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
3. Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan
sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara
berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan
dan dimanfaatkan dengan benar. (QS.2.265)
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam,
Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Akmal Tarigan, et al. Dasar-dasar
Ekonomi Islam, Bandung: Citapustaka Media, 2006.
M.A. Mannan, Teori dan Praktek
Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
Said Saad Marthon, Ekonomi Islam:
di Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
http://blog.sunan-ampel.ac.id/abdulhakim/2011/05/03/keterkaitan-konsumsi-dan-produksi-dalam-perspektif-ekonomi-islam/,
20 mei 2012, 17:53 WIB
No comments:
Post a Comment
terimakasih telah mengunjungi blog saya.