BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan ada
di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat
inheren dalam kehidupan manusia. Disisi lain manusia ingin tentram, tertib,
damai, dan berkeadilan. Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Untuk
itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan
perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara perilaku yang dibenarkan,( halal
) dengan perbuatan yang disalahkan (haram ). Di dalam ajaran islam bahasan-bahasan
tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan di
dalam fiqih Jinayah.
Penerapan
hukuman mati di dunia selalu saja menjadi hal yang kontroversial, baik di
kalangan pemerintah, praktisi hukum, agamawan maupun masyarakat sendiri
tidak terkecuali di Indonesia, karena dirasa melanggar hak yang paling mendasar
bagi manusia yaitu untuk hidup dan memperbaiki kehidupannya. Indonesia sebagai
negara dengan mayoritas umat Islam yang paling besar di dunia, mengakui bahwa
hukuman mati layak diterapkan dalam sistem hukum nasional untuk sejumlah
kejahatan tertentu yang mengganggu ketertiban umum, mengancam kehidupan manusia
dan stabilitas negara. Umat Islam memandang perlu menerapkan hukuman mati
dikarenakan Islam juga mengenal adanya hukuman mati, seperti qisas dan rajam.
Dan hukuman mati bisa ditemukan dalam tiga bentuk
pemidanaan, yaitu qishash, had (hudud) dan ta'zir.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
dari makalah ini adalah :
1.
Bagaimana pandangan/tinjauan hukum Islam
tentang Hukuman Mati dalam perspektif HAM ?
2.
Bagaimana pandangan/tinjauan hukum Islam
tentang Bom Bunuh Diri sebagai refleksi jihad ?
3.
Bagaimana pandangan/tinjauan hukum Islam
tentang reaktualisasi Had/Rajam?
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari pembuatan makah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pandangan
Islam tentang hokum mati dalam perspektif HAM.
2.
Untuk mengetahui pandangan Islam
tentang Bom bunuh diri sebagai refleksi jihad.
3. Untuk
mengetahui pandangan Islam tentang reaktualisasi had/rajam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan/Tinjauan Hukum Islam Tentang Hukuman Mati Dalam Perspektif HAM
Di
dalam Alquran surat al-Mulk ayat 2 :
الَّذِي
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ
وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Artinya: Yang
menjadikan matidan hidup, supaya Dia mengujikamu, siapa di antarakamu yang
lebih baika malnya. Dan DiaMaha Perkasa lagiMahaPengampun.
Diingatkan
bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Karena itu, Islam sangat
memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia masih berada
dalam kandungan Ibu sampai sepanjang hidupnya. Islam sangat memuliakan
keturunan anak Adam. Dan untuk melindungi keselamatan hidup manusia, Islam
menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta sanksi-sanksinya,
baik di dunia seperti hukuman had, diyat (denda) dan termasuk hukuman mati
(qishos), maupun hukuman di akhirat kelak.[1]
Pada
dasarnya hukum-hukum Islam datang untuk menjadi rahmat bagi manusia, bahkan
bagi segenap alam. Hukum-hukum tersebut dibuat untuk menjaga keseimbangan
kehidupan manusia agar tercipta keharmonisan dan ketertiban. Maka tidak akan
terwujud rahmat itu terkecuali jika hukum Islam benar-benar dapat diterapkan
demi kemaslahatan dan kebahagiaan manusia. Sanksi agama seberat apa pun pada
dasarnya juga demi kemaslahatan kehidupan manusia pada umumnya, bukan untuk
segelintir kelompok manusia.
Ada tiga tujuan pokok diterapkannya
hukum Islam, yaitu :
1. Tujuan
primer (al-dharury), yakni tujuan
hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan manusia. Apabila tujuan ini tidak
tercapai akan menimbulkan ketidak ajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia
dan di akhirat. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila
terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid al-syari "ah), yaitu lima
tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam
melainkan juga oleh keseluruhan agamawan.
Kelima
tujuan utama itu adalah:
a. Memelihara agama
b. Memelihara
jiwa
c. Memelihara
akal
d. Memelihara
keturunan dan atau kehormatan, dan
e. Memelihara
harta.
2. Tujuan
sekunder (al-haajiy), yakni
terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan
sekunder. Jika tidak terpenuhi akan menimbulkan kesukaran bagi manusia, namun
tidak sampai menimbulkan kerusakan.
3. Tujuan
tersier (al-tahsiniyyat), yakni
tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara
melaksanakan apa yang baik dan yang paling layak menurut kebiasan dan
menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat.
Dalam
hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan kematian pelakunya terjadi
pada dua kasus, yaitu:
1. Pelaku
zina yang sudah kawin (muhson),
sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati. Menurut Ibn Mundzir,
seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain maka sanksi
hukumnya jilid kemudian dirajam
(dicambuk kemudian dilempari batu). Hukuman tersebut dikenakan pada laki-laki
dan perempuan. Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan,
maka sanski hukum yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. Bukankah
secara naluriah manusia akan berbuat apa saja demi menjaga dan melindungi harga
diri dan keturunannya. Hukuman rajam ini jika diterapkan, sangat kecil
kemungkinannya nyawa terpidana dapat diselamatkan.
2. Pelaku
pembunuhan berencana (disengaja) (QS. An-Nisa: 93).
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ
جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ
عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan
barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah
Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.
Hak
hidup dalam hukum nasional Indonesia juga merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang dilindungi dan tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan
Pasal 4 UU Nomor 39/1999. Hukuman mati sangat terkait dengan doktrin keagamaan
dan dimensi budaya, hampir semua agama dunia memperbolehkan hukuman mati dengan
beberapa persyaratan yang ketat. Hukuman selayaknya tidak diberikan melebihi
kesalahan/kerusakan yang telah diperbuat oleh terpidana. Oleh karenanya,
membatasi pidana mati hanya untuk menghukum kejahatan-kejahatan tertentu yang
dianggap luar biasa (extra ordinary crimes), merupakan sebuah pilihan
politik kriminal yang bijak.[2]
Penerapan hokum mati digolongkan sebagai bentuk
hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, disamping melanggar pasal 3 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia pasal 3: “Setiap orang mempunyai hak atas
penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang.”
Dalam beberapa instrument, larangan hukuman mati
dimuat dalam sebuah protocol tersendiri. Konvenan internasioanl tentang Hak-hak
sipil dan politik dan konvensi Amerika, keduanya membatasi hukuman mati pada
kejahatan yang paling berat.[3]
B.
Pandangan/Tinjauan
Hukum Islam Tentang Bom Bunuh Diri Sebagai Refleksi Jihad
Jihad adalah
ibadah, maka untuk melaksanakannya pun harus terpenuhi 2 syarat utama: Ikhlas dan Sesuai tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bom Bunuh Diri Bukan Jihad, sesuai dengan firman Allah dalam
Surat An-Nisa : 29, Yang berbunyi :
وَلَا
تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Artinya : “Dan janganlah kalian membunuh diri
kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.”
Rasulullah SAW
bersabda : “Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara
di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.”
(HR.Bukhari dan Muslim)
Aksi bom bunuh
diri yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengatasnamakan jihad adalah
sebuah penyimpangan. Apalagi dengan aksi itu menyebabkan terbunuhnya kaum
muslimin atau orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslimin tanpa alasan
yang dibenarkan syari’at,
Dalam hal
membunuh seorang mukmin tanpa kesengajaan, Allah mewajibkan pelakunya untuk
membayar diyat/denda dan kaffarah/tebusan. Allah ta’ala berfirman :
وَمَا
كَانَ لِمُؤۡمِنٍ أَن يَقۡتُلَ مُؤۡمِنًا إِلَّا خَطَٔٗاۚ وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا
خَطَٔٗا فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ
أَهۡلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُواْۚ فَإِن كَانَ مِن قَوۡمٍ عَدُوّٖ لَّكُمۡ وَهُوَ
مُؤۡمِنٞ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ
“Tidak
sepantasnya bagi orang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali karena tidak
sengaja. Maka barangsiapa yang membunuh mukmin karena tidak sengaja maka wajib
baginya memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang
diserahkannya kepada keluarganya, kecuali apabila keluarganya itu berkenan
untuk bersedekah (dengan memaafkannya).” (QS. An-Nisaa’: 92).
Adapun
terbunuhnya sebagian kaum muslimin akibat tindakan bom bunuh diri, maka ini
jelas tidak termasuk pembunuhan tanpa sengaja, sehingga hal itu tidak bisa
dibenarkan dengan alasan jihad. Membunuh Orang Kafir Tanpa Hak. Membunuh orang
kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man (orang-orang kafir yang dilindungi oleh
pemerintah muslim), adalah perbuatan yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Barangsiapa
yang membunuh jiwa seorang mu’ahad (orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian
dengan pemerintah kaum muslimin) maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal
sesungguhnya baunya surga bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.”
(HR. Bukhari)
Adapun membunuh orang kafir mu’ahad karena tidak
sengaja maka Allah mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat dan kaffarah
sebagaimana disebutkan :
“Apabila
yang terbunuh itu berasal dari kaum yang menjadi musuh kalian (kafir harbi) dan
dia adalah orang yang beriman maka kaffarahnya adalah memerdekakan budak yang
beriman, adapun apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang memiliki
ikatan perjanjian antara kamu dengan mereka (kafir mu’ahad) maka dia harus
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan budak yang
beriman. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka hendaklah berpuasa dua
bulan berturut-turut supaya taubatnya diterima oleh Allah. Allah Maha
mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 92)
C.
Pandangan/Tinjauan
Hukum Islam tentang reaktualisasi Had/Rajam
Rajam adalah sanksi hukum berupa
pembunuhan terhadap para pelaku zina muhshan (yaitu orang yang berzina
sementara ia sudah pernah menikah atau masih dalam ikatan pernikahan dengan
orang lain). Rajam dilakukan dengan cara menenggelamkan sebagian tubuh yang
bersangkutan ke dalam tanah, lalu setiap orang yang lewat diminta melemparinya
dengan batu-batu sedang (hijarah mu`tadilah) sampai yang bersangkutan meninggal
dunia. Hukum rajam pernah berlaku pada zaman Nabi Musa. Dalam Perjanjian Lama,
Ulangan 22: 22 disebutkan, “Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang
perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang
telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau
hapuskan yan jahat itu dari antara orang Israel”. Mungkin berdasar kepada dalil-dalil
itu, ketika di Madinah Rasulullah SAW pernah merajam laki-laki dan perempuan
Yahudi yang berzina.
Rajam dalam Islam termasuk syar`u man
qablana (syariat pra-Islam). Al-Qur’an banyak mengintroduksi hukum-hukum yang
berlaku pada era sebelum Islam, seperti hukum Yahudi. Di samping soal rajam,
al-Qur’an misalnya mengutip syariat Nabi Musa yang memperbolehkan bunuh diri.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 54
وَإِذۡ
قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦ يَٰقَوۡمِ إِنَّكُمۡ ظَلَمۡتُمۡ أَنفُسَكُم بِٱتِّخَاذِكُمُ
ٱلۡعِجۡلَ فَتُوبُوٓاْ إِلَىٰ بَارِئِكُمۡ فَٱقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ ذَٰلِكُمۡ
خَيۡرٞ لَّكُمۡ عِندَ بَارِئِكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ
٥٤
Artinya
: Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku,
Sesungguhnya kamu Telah menganiaya dirimu sendiri Karena kamu Telah menjadikan
anak lembu (sembahanmu), Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu
dan Bunuhlah dirimu. hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang
menjadikan kamu; Maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya dialah yang
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."(QS. Al-Baqarah : 54)
Para ulama fikih sendiri berbeda
pendapat tentang posisi syar’u man qablana sebagai dalil hukum (hujjah
syar’iyah). Sebagian ulama berpendapat bahwa syar`u man qablana menjadi bagian
ajaran Islam jika itu sudah disebut dalam al-Qur’an. Sebagian yang lain
berkata, bahwa syar’u man qablana bukanlah syari’at kita (umat Islam) karena
itu kita tak boleh menjadikannya sebagai dalil hukum. Dengan argumen itu tidak
sedikit para ulama yang menolak pemberlakuan syar’u man qablana. Dengan itu,
menurutnya, hukum rajam tak perlu diterapkan sebagaimana kita tak menerapkan
hukum bunuh diri sebagai jalan taubat, sekalipun itu sudah tercantum dalam
al-Qur’an.
Hukum rajam bagi pezina muhshan sudah
dihapuskan oleh ayat al-Qur’an dalam QS. An-Nur : yang artinya : Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.
Al-Qur’an tidak memberikan hukum
tunggal bagi orang yang berzina. Jika kita sepakat bahwa zina adalah perbuatan
keji (fahisyah), maka sanksi hukum bagi pezina, baik yang muhshan maupun yang
bukan, maka al-Qur’an memberi sanksi tahanan rumah seumur hidup. Disebutkan
dalam al-Qur’an QS An-Nissa’ : 15-16. Ayat ini tak bisa dianulir oleh ayat dan
hadits yang memerintahkan rajam dan hukuman dera sebanyak 100 kali deraan.
Mujahid misalnya berpendapat bahwa ayat 15 surat al-Nisa’ adalah sanksi hukum
bagi pezina perempuan, sementara ayat 16 surat yang sama adalah sanksi hukum
bagi para pezina laki-laki.
Rajam merupakan fikih jinayat al-Qur’an
yang pada tingkat implementasinya tidak otomatis bisa dijalankan. Artinya, umat
Islam bisa mencari sanksi-sanksi hukum yang paling mungkin dan efektif untuk
menjerakan para pelaku kriminal. Bisa dengan cara dipenjara atau yang lainnya.
Ibn Zaid pernah mengusulkan agar orang yang berzina dilarang menikah sampai
yang bersangkutan meninggal dunia. Sebagian ulama, seperti Muhammad Syahrur,
berpandangan bahwa hukum potong tangan dan rajam merupakan hukum maksimal
(al-hadd al-a`la) yang hanya bisa dijalankan ketika sanksi-sanksi hukum di
bawahnya tidak lagi efektif untuk mengurangi tingkat kriminalitas.[4]
BAB III
PENUTUP
Dari beberapa penjelasan
pada pembahasan, dapat disimpulkan bahwa Hukuman mati merupakan bentuk hukuman maksimal
yang memiliki dasar hukum yang kuat. Hukumnya ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Bom bunuh diri tidaklah sama dengan
bunuh diri. Dan pihak-pihak yang mengharamkannya didasari pada anggapan bahwa
bom bunuh diri adalah sama saja dengan bunuh diri. Hukum asal bom bunuh diri
(dalam arti bom jihad) adalah boleh, bahkan terpuji, namun dapat berubah
menjadi haram bila dilakukan dengan cara melampaui batas atau justru dapat merugikan
umat islam secara umum.
Rajam adalah sanksi hukum berupa
pembunuhan terhadap para pelaku zina muhshan (yaitu orang yang berzina
sementara ia sudah pernah menikah atau masih dalam ikatan pernikahan dengan
orang lain).
Dengan
memperlakukan ayat-ayat jinayat sebagai fikih al-Qur’an, maka kita tak lagi
terikat untuk memaksakan penerapan sanksi-sanksi hukum itu seperti yang secara
harafiah disebut dalam al-Qur’an. Kita bisa mencari jenis-jenis hukum lain yang
lebih relevan dan sesuai dengan konteks keindonesiaan kita. Yang penting tujuan
dari sanksi-sanksi hukum Islam untuk menjerakan para pelaku tindak pidana sudah
tercapai.
[1]Denden Imamudin, (2010). Pidana Mati Dalam Pandangan Islam,
(Online). Tersedia: http://denden-imadudin.blogspot.com/2010/04/pidana-mati-dalam-pandangan-islam.html
[2] http://bandungfreeschool.wordpress.com/2008/11/29/hukuman-mati-dalam-perspektif-hak-asasi-manusia/
[3] Islam Cendekia, Hukuman mati menurut Islam dan HAM
“http://www.islamcendekia.com/2014/02/hukuman-mati-menurut-islam-dan-ham.html/
[4]
http://tafsir-atas-rajam-dalam-islam.html
No comments:
Post a Comment
terimakasih telah mengunjungi blog saya.