Gudang Ilmu: Pandangan/tinjauan hukum Islam tentang Hukuman Mati dalam perspektif HAM

Saturday, 15 April 2017

Pandangan/tinjauan hukum Islam tentang Hukuman Mati dalam perspektif HAM



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Disisi lain manusia ingin tentram, tertib, damai, dan berkeadilan. Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara perilaku yang dibenarkan,( halal ) dengan perbuatan yang disalahkan (haram ). Di dalam ajaran islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan di dalam fiqih Jinayah.
Penerapan hukuman mati di dunia selalu saja menjadi hal yang kontroversial, baik di kalangan  pemerintah, praktisi hukum, agamawan maupun masyarakat sendiri tidak terkecuali di Indonesia, karena dirasa melanggar hak yang paling mendasar bagi manusia yaitu untuk hidup dan memperbaiki kehidupannya. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas umat Islam yang paling besar di dunia, mengakui bahwa hukuman mati layak diterapkan dalam sistem hukum nasional untuk sejumlah kejahatan tertentu yang mengganggu ketertiban umum, mengancam kehidupan manusia dan stabilitas negara. Umat Islam memandang perlu menerapkan hukuman mati dikarenakan Islam juga mengenal adanya hukuman mati, seperti qisas dan rajam. Dan hukuman mati bisa ditemukan dalam tiga bentuk pemidanaan, yaitu qishash, had (hudud) dan ta'zir.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1.    Bagaimana pandangan/tinjauan hukum Islam tentang Hukuman Mati dalam perspektif HAM ?
2.    Bagaimana pandangan/tinjauan hukum Islam tentang Bom Bunuh Diri sebagai refleksi jihad ?
3.    Bagaimana pandangan/tinjauan hukum Islam tentang reaktualisasi Had/Rajam?

C.    Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari pembuatan makah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pandangan Islam tentang hokum mati dalam perspektif HAM.
2.      Untuk mengetahui pandangan Islam tentang Bom bunuh diri sebagai refleksi jihad.
3.   Untuk mengetahui pandangan Islam tentang reaktualisasi had/rajam.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pandangan/Tinjauan Hukum Islam Tentang Hukuman Mati Dalam Perspektif HAM
Di dalam Alquran surat al-Mulk ayat 2 :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Artinya: Yang menjadikan matidan hidup, supaya Dia mengujikamu, siapa di antarakamu yang lebih baika malnya. Dan DiaMaha Perkasa lagiMahaPengampun.
Diingatkan bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Karena itu, Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia masih berada dalam kandungan Ibu sampai sepanjang hidupnya. Islam sangat memuliakan keturunan anak Adam. Dan untuk melindungi keselamatan hidup manusia, Islam menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta sanksi-sanksinya, baik di dunia seperti hukuman had, diyat (denda) dan termasuk hukuman mati (qishos), maupun hukuman di akhirat kelak.[1]
Pada dasarnya hukum-hukum Islam datang untuk menjadi rahmat bagi manusia, bahkan bagi segenap alam. Hukum-hukum tersebut dibuat untuk menjaga keseimbangan kehidupan manusia agar tercipta keharmonisan dan ketertiban. Maka tidak akan terwujud rahmat itu terkecuali jika hukum Islam benar-benar dapat diterapkan demi kemaslahatan dan kebahagiaan manusia. Sanksi agama seberat apa pun pada dasarnya juga demi kemaslahatan kehidupan manusia pada umumnya, bukan untuk segelintir kelompok manusia.

Ada tiga tujuan pokok diterapkannya hukum Islam, yaitu :
1.      Tujuan primer (al-dharury), yakni tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan manusia. Apabila tujuan ini tidak tercapai akan menimbulkan ketidak ajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid al-syari "ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan.
Kelima tujuan utama itu adalah:
a.        Memelihara agama
b.      Memelihara jiwa
c.       Memelihara akal
d.      Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan
e.       Memelihara harta.
2.      Tujuan sekunder (al-haajiy), yakni terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder. Jika tidak terpenuhi akan menimbulkan kesukaran bagi manusia, namun tidak sampai menimbulkan kerusakan.
3.      Tujuan tersier (al-tahsiniyyat), yakni tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa yang baik dan yang paling layak menurut kebiasan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat.
Dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan kematian pelakunya terjadi pada dua kasus, yaitu:
1.      Pelaku zina yang sudah kawin (muhson), sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati. Menurut Ibn Mundzir, seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain maka sanksi hukumnya jilid kemudian dirajam (dicambuk kemudian dilempari batu). Hukuman tersebut dikenakan pada laki-laki dan perempuan. Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan, maka sanski hukum yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. Bukankah secara naluriah manusia akan berbuat apa saja demi menjaga dan melindungi harga diri dan keturunannya. Hukuman rajam ini jika diterapkan, sangat kecil kemungkinannya nyawa terpidana dapat diselamatkan.

2.      Pelaku pembunuhan berencana (disengaja) (QS. An-Nisa: 93).
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Hak hidup dalam hukum nasional Indonesia juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi dan tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 4 UU Nomor 39/1999. Hukuman mati sangat terkait dengan doktrin keagamaan dan dimensi budaya, hampir semua agama dunia memperbolehkan hukuman mati dengan beberapa persyaratan yang ketat. Hukuman selayaknya tidak diberikan melebihi kesalahan/kerusakan yang telah diperbuat oleh terpidana. Oleh karenanya, membatasi pidana mati hanya untuk menghukum kejahatan-kejahatan tertentu yang dianggap luar biasa (extra ordinary crimes), merupakan sebuah pilihan politik kriminal yang bijak.[2]
Penerapan hokum mati digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, disamping melanggar pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 3: “Setiap orang mempunyai hak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang.”
Dalam beberapa instrument, larangan hukuman mati dimuat dalam sebuah protocol tersendiri. Konvenan internasioanl tentang Hak-hak sipil dan politik dan konvensi Amerika, keduanya membatasi hukuman mati pada kejahatan yang paling berat.[3]
B.     Pandangan/Tinjauan Hukum Islam Tentang Bom Bunuh Diri Sebagai Refleksi Jihad
Jihad adalah ibadah, maka untuk melaksanakannya pun harus terpenuhi 2 syarat utama:  Ikhlas dan Sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bom Bunuh Diri Bukan Jihad, sesuai dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa : 29, Yang berbunyi :
وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Artinya : “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.”
Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengatasnamakan jihad adalah sebuah penyimpangan. Apalagi dengan aksi itu menyebabkan terbunuhnya kaum muslimin atau orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslimin tanpa alasan yang dibenarkan syari’at,
Dalam hal membunuh seorang mukmin tanpa kesengajaan, Allah mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat/denda dan kaffarah/tebusan. Allah ta’ala berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ أَن يَقۡتُلَ مُؤۡمِنًا إِلَّا خَطَ‍ٔٗاۚ وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَ‍ٔٗا فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُواْۚ فَإِن كَانَ مِن قَوۡمٍ عَدُوّٖ لَّكُمۡ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ
Tidak sepantasnya bagi orang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali karena tidak sengaja. Maka barangsiapa yang membunuh mukmin karena tidak sengaja maka wajib baginya memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkannya kepada keluarganya, kecuali apabila keluarganya itu berkenan untuk bersedekah (dengan memaafkannya).” (QS. An-Nisaa’: 92).
Adapun terbunuhnya sebagian kaum muslimin akibat tindakan bom bunuh diri, maka ini jelas tidak termasuk pembunuhan tanpa sengaja, sehingga hal itu tidak bisa dibenarkan dengan alasan jihad. Membunuh Orang Kafir Tanpa Hak. Membunuh orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man (orang-orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslim), adalah perbuatan yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa yang membunuh jiwa seorang mu’ahad (orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan pemerintah kaum muslimin) maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal sesungguhnya baunya surga bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR. Bukhari)
Adapun membunuh orang kafir mu’ahad karena tidak sengaja maka Allah mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat dan kaffarah sebagaimana disebutkan :
 Apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang menjadi musuh kalian (kafir harbi) dan dia adalah orang yang beriman maka kaffarahnya adalah memerdekakan budak yang beriman, adapun apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang memiliki ikatan perjanjian antara kamu dengan mereka (kafir mu’ahad) maka dia harus membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan budak yang beriman. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut supaya taubatnya diterima oleh Allah. Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 92)

C.    Pandangan/Tinjauan Hukum Islam tentang reaktualisasi Had/Rajam
Rajam adalah sanksi hukum berupa pembunuhan terhadap para pelaku zina muhshan (yaitu orang yang berzina sementara ia sudah pernah menikah atau masih dalam ikatan pernikahan dengan orang lain). Rajam dilakukan dengan cara menenggelamkan sebagian tubuh yang bersangkutan ke dalam tanah, lalu setiap orang yang lewat diminta melemparinya dengan batu-batu sedang (hijarah mu`tadilah) sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Hukum rajam pernah berlaku pada zaman Nabi Musa. Dalam Perjanjian Lama, Ulangan 22: 22 disebutkan, “Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yan jahat itu dari antara orang Israel”. Mungkin berdasar kepada dalil-dalil itu, ketika di Madinah Rasulullah SAW pernah merajam laki-laki dan perempuan Yahudi yang berzina.
Rajam dalam Islam termasuk syar`u man qablana (syariat pra-Islam). Al-Qur’an banyak mengintroduksi hukum-hukum yang berlaku pada era sebelum Islam, seperti hukum Yahudi. Di samping soal rajam, al-Qur’an misalnya mengutip syariat Nabi Musa yang memperbolehkan bunuh diri. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 54
وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦ يَٰقَوۡمِ إِنَّكُمۡ ظَلَمۡتُمۡ أَنفُسَكُم بِٱتِّخَاذِكُمُ ٱلۡعِجۡلَ فَتُوبُوٓاْ إِلَىٰ بَارِئِكُمۡ فَٱقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ عِندَ بَارِئِكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ٥٤
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, Sesungguhnya kamu Telah menganiaya dirimu sendiri Karena kamu Telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan Bunuhlah dirimu. hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; Maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya dialah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."(QS. Al-Baqarah : 54)
Para ulama fikih sendiri berbeda pendapat tentang posisi syar’u man qablana sebagai dalil hukum (hujjah syar’iyah). Sebagian ulama berpendapat bahwa syar`u man qablana menjadi bagian ajaran Islam jika itu sudah disebut dalam al-Qur’an. Sebagian yang lain berkata, bahwa syar’u man qablana bukanlah syari’at kita (umat Islam) karena itu kita tak boleh menjadikannya sebagai dalil hukum. Dengan argumen itu tidak sedikit para ulama yang menolak pemberlakuan syar’u man qablana. Dengan itu, menurutnya, hukum rajam tak perlu diterapkan sebagaimana kita tak menerapkan hukum bunuh diri sebagai jalan taubat, sekalipun itu sudah tercantum dalam al-Qur’an.
Hukum rajam bagi pezina muhshan sudah dihapuskan oleh ayat al-Qur’an dalam QS. An-Nur : yang artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Al-Qur’an tidak memberikan hukum tunggal bagi orang yang berzina. Jika kita sepakat bahwa zina adalah perbuatan keji (fahisyah), maka sanksi hukum bagi pezina, baik yang muhshan maupun yang bukan, maka al-Qur’an memberi sanksi tahanan rumah seumur hidup. Disebutkan dalam al-Qur’an QS An-Nissa’ : 15-16. Ayat ini tak bisa dianulir oleh ayat dan hadits yang memerintahkan rajam dan hukuman dera sebanyak 100 kali deraan. Mujahid misalnya berpendapat bahwa ayat 15 surat al-Nisa’ adalah sanksi hukum bagi pezina perempuan, sementara ayat 16 surat yang sama adalah sanksi hukum bagi para pezina laki-laki.
Rajam merupakan fikih jinayat al-Qur’an yang pada tingkat implementasinya tidak otomatis bisa dijalankan. Artinya, umat Islam bisa mencari sanksi-sanksi hukum yang paling mungkin dan efektif untuk menjerakan para pelaku kriminal. Bisa dengan cara dipenjara atau yang lainnya. Ibn Zaid pernah mengusulkan agar orang yang berzina dilarang menikah sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Sebagian ulama, seperti Muhammad Syahrur, berpandangan bahwa hukum potong tangan dan rajam merupakan hukum maksimal (al-hadd al-a`la) yang hanya bisa dijalankan ketika sanksi-sanksi hukum di bawahnya tidak lagi efektif untuk mengurangi tingkat kriminalitas.[4]


















BAB III
PENUTUP
Dari beberapa penjelasan pada pembahasan, dapat disimpulkan bahwa Hukuman mati merupakan bentuk hukuman maksimal yang memiliki dasar hukum yang kuat. Hukumnya ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Bom bunuh diri tidaklah sama dengan bunuh diri. Dan pihak-pihak yang mengharamkannya didasari pada anggapan bahwa bom bunuh diri adalah sama saja dengan bunuh diri. Hukum asal bom bunuh diri (dalam arti bom jihad) adalah boleh, bahkan terpuji, namun dapat berubah menjadi haram bila dilakukan dengan cara melampaui batas atau justru dapat merugikan umat islam secara umum.
Rajam adalah sanksi hukum berupa pembunuhan terhadap para pelaku zina muhshan (yaitu orang yang berzina sementara ia sudah pernah menikah atau masih dalam ikatan pernikahan dengan orang lain).
Dengan memperlakukan ayat-ayat jinayat sebagai fikih al-Qur’an, maka kita tak lagi terikat untuk memaksakan penerapan sanksi-sanksi hukum itu seperti yang secara harafiah disebut dalam al-Qur’an. Kita bisa mencari jenis-jenis hukum lain yang lebih relevan dan sesuai dengan konteks keindonesiaan kita. Yang penting tujuan dari sanksi-sanksi hukum Islam untuk menjerakan para pelaku tindak pidana sudah tercapai.




[1]Denden Imamudin, (2010). Pidana Mati Dalam Pandangan Islam, (Online). Tersedia: http://denden-imadudin.blogspot.com/2010/04/pidana-mati-dalam-pandangan-islam.html
[2] http://bandungfreeschool.wordpress.com/2008/11/29/hukuman-mati-dalam-perspektif-hak-asasi-manusia/
[3] Islam Cendekia, Hukuman mati menurut Islam dan HAM “http://www.islamcendekia.com/2014/02/hukuman-mati-menurut-islam-dan-ham.html/
[4] http://tafsir-atas-rajam-dalam-islam.html

No comments:

Post a Comment

terimakasih telah mengunjungi blog saya.