Gudang Ilmu: Prinsip - Prinsip Ekonomi Syariah

Friday 14 April 2017

Prinsip - Prinsip Ekonomi Syariah



PRINSIP-PRINSIP EKONOMI SYARIAH
Secara umum prinsip-prinsip ekonomi menjadi 3 kelompok besar. Masing-masing kelompok besar ini membentuk suatu bangunan yang akan menjadi prinsip ekonomi islam.
Bagian pertama (nilai universal) yang menjadi teori dari ekonomi islam dan menjadi landasan ekonomi islam yaitu:
  • Tauhid (keesaan Tuhan), merupakan pondasi ajaran Islam. Segala sesuatu yang kita perbuat di dunia nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Sehingga termasuk didalamnya aktivitas ekonomi dan bisnis nantinya akan dipertanggungjawabkan juga.
  • ‘Adl (keadilan). Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Adil yang dimaksud disini adalah tidak menzalimi dan tidak dizalimi, sehingga penerapannya dalam kegiatan ekonomi adalah manusia tidak boleh berbuat jahat kepada orang lain atau merusak alam untuk memperoleh keuntungan pribadi.
  • Nubuwwah (kenabian). Setiap muslim diharuskan untuk meneladani sifat dari nabi Muhammad SAW. Sifat-sifat Nabi Muhammad SAW yang patut diteladani untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam bidang ekonomi yaitu : Siddiq (benar, jujur), Amanah (tanggung jawab, kepercayaan, kredibilitas), Fathanah (Kecerdikan, kebijaksanaan, intelektualita) dan tabligh (komunikasi, keterbukaan, pemasaran).
  • khilafah (pemerintahan). Dalam Islam, peranan yang dimainkan pemerintah terbilang kecil akan tetapi sangat vital dalam perekonomian. Peranan utamanya adalah memastikan bahwa perekonomian suatu negara berjalan dengan baik tanpa distorsi dan telah sesuai dengan syariah.
  • Ma’ad (hasil). Imam Ghazali menyatakan bahwa motif para pelaku ekonomi adalah untuk mendapatkan keuntungan/profit/laba. Dalam islam, ada laba/keuntungan di dunia dan ada laba/keuntungan di akhirat.
Bagian kedua (prinsip-prinsip derivatif) merupakan prinsip-prinsip sistem ekonomi islam yang juga menjadi tiang ekonomi islam yaitu:
  • Multitype Ownership (kepemilikan multijenis) merupakan turunan dari nilai tauhid dan adil. Dalam ekonomi Islam, kepemilikan swasta atau pribadi tetap diakui. Akan tetapi untuk menjamin adanya keadilan, maka cabang-cabang produksi yang strategis dapat dikuasai oleh negara.
  • Freedom to act (Kebebasan bertindak atau berusaha) merupakan turunan dari nilai nubuwwah, adil dan khilafah. Freedom to act akan menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian karena setiap individu bebas untuk bemuamalah. Pemerintah akan bertindak sebagai wasit yang adil dan mengawasi pelaku-pelaku ekonomi serta memastikan bahwa tidak terjadi distorsi dalam pasar dan menjamin tidak dilanggarnya syariah.
  • Social Justice (Keadilan Sosial) merupakan turunan dari nilai khilafah dan ma’ad. Dalam ekonomi islam, pemerintah bertanggungjawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan menciptakan keseimbangan sosial antara kaya dan miskin.
Teori ekonomi islam dan sistemnya belumlah cukup tanpa adanya manusia yang menerapkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Dengan kata lain, adanya manusia yang berakhlak adalah hal mutlak dalam ekonomi. Kinerja suatu bisnis atau ekonomi tidaklah bergantung kepada teori dan sistemnya saja, melainkan pada man behind the gun-nya. Oleh karena itu akhlak menjadi bagian ketiga dan merupakan atap yang menaungi ekonomi islam.
Tujuan Ekonomi Syariah
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, dunia Islam mempunyai sistem perekonomian yang berbasiskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip syariah yang bersumber dari Al Quran dan Hadits serta dilengkapi dengan Al Ijma dan Al Qiyas. Sistem perekonomian Islam, saat ini lebih dikenal dengan istilah Sistem Ekonomi Syariah. Berdasarkan beberapa literatur dapat disimpulkan, bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai beberapa tujuan, yakni:
1. Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar pemikiran QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu’ah ayat 10);
2. Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Al-Hujuraat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syu’araa ayat 183)
3. Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An’am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32);
4. Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (QS. Ar-Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22).

Salah satu teori ekonomi syariah yang dikembangkan oleh ahli pemikir Islam, Ibnu Khaldun, berupa sebuah rumusan berupa kebijaksanaan politik pembangunan, mungkin, dapat diaplikasikan dalam perkembangan Ilmu Ekonomi Islam saat ini. Rumusan Ibnu Khaldun tersebut dikenal sebagai “Dynamic Model of Islam” atau Model Dinamika. Model Dinamika adalah sebuah rumusan yang terdiri dari delapan prinsip kebijaksanaan politik yang terkait dengan prinsip yang lain secara interdisipliner dalam membentuk kekuatan bersama dalam satu lingkaran sehingga awal dan akhir lingkaran tersebut tidak dapat dibedakan, terdiri atas:
1. Kekuatan pemerintah tidak dapat diwujudkan kecuali dengan implementasi Syariah;
2. Syariah tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan pemerintahan;
3. Pemerintah tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali dari rakyat;
4. Masyarakat tidak dapat ditopang kecuali oleh kekayaan;
5. Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali dari pembangunan;
6. Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan;
7. Keadilan merupakan standar yang akan dievaluasi Allah pada umat-Nya;
8. Pemerintah dibebankan dengan adanya tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan.

Masyarakat dalam sebuah pemerintahan sesuai kodratnya merupakan manusia yang lebih suka hidup secara bersama. Hal ini disebabkan dengan kapasitas individu yang ada, manusia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok guna mempertahankan kehidupan mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka sangat membutuhkan suasana kehidupan yang saling menolong dan bekerjasama. Akan tetapi, mereka tidak dapat hidup berdampingan dan bekerjasama dengan yang lain dalam suasana penuh konflik dan permusuhan serta ketidakadilan. Untuk itu diperlukan adanya sebuah “rasa kebersamaan” dan “pemerintah” sebagai pengendali kekuasaan untuk mencegah terjadinya konflik dan ketidakadilan guna mempersatukan mereka.

Dalam ajaran welfare state Islami, mengupayakan agar setiap orang mengikuti ajaran Syariah dalam urusan duniawi mereka merupakan hal yang penting. Negara harus tetap mengawasi semua tingkah laku yang dapat membahayakan pembangunan sosial ekonomi seperti ketidakjujuran, penipuan, dan ketidakadilan sebagai prasyarat kualitas yang dibutuhkan untuk keharmonisan sosial dan pembangunan berdasarkan keadilan. Selain itu, negara harus menjamin pemenuhan hukum dan menghormati hak milik individu serta menanamkan kesadaran kepada seluruh lapisan masyarakat.

Apabila pemerintah melaksanakan peranannya secara efektif, maka akan menjadi sebuah kontribusi positif dalam pembangunan karena kebutuhan masyarakat akan terpenuhi, sehingga mereka akan termotivasi melalui kerja keras yang cermat dan efisien. Namun, jika hal itu tidak terlaksana, maka yang terjadi adalah kehancuran. Sumber daya yang dibutuhkan negara untuk kepentingan itu, diperoleh melalui sistem pajak yang adil dan efisien. Di samping itu, perlu dicermati bahwa apabila, jika pemerintah tidak menerapkan nilai-nilai syariah secara efisien, maka tidak akan ada keadilan. Jika tidak ada keadilan, maka “rasa kebersamaan” tidak akan ada, dan jika tidak ada “rasa kebersamaan”, maka tidak akan ada lingkungan yang mendukung terlaksananya implementasi Syariah, hukum dan perundang-undangan, pembangunan dan kemakmuran. Ketiadaan semua itu, akan membuat administrasi pemerintah menjadi lemah dan tidak efektif.

Konsep Ibnu Khaldun dalam “Model Dinamika” menyatakan bahwa negara harus berorientasi kepada kesejahteraan rakyat, memiliki kebijakan anggaran, menghargai hak milik masyarakat, dan menghindari pungutan pajak yang memberatkan. Negara akan mengutamakan pembangunan melalui anggaran yang dihasilkan dari kebijakan yang adil, dan sebaliknya negara akan menghambat pembangunan dengan memperlakuan sistem pajak dan kebijakan yang tidak adil. Negara merupakan suatu pasar terbesar yang dihasilkan dari anggaran negara tersebut untuk kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu, negara tidak perlu terlibat secara langsung sebagai pelaku pasar, namun harus melakukan hal-hal yang dapat membantu masyarakat menjalankan usaha mereka secara lebih efisien dan mencegah masyarakat untuk melakukan tindakan yang tidak adil secara berlebihan.

Menurut David C. Korten dalam The Post-Corporate World; Life After Capitalism (1999) dan Joseph E. Stiglitz dalam Globalization and Its Discontents (2002), pasar yang berhasil, mensyaratkan adanya keseimbangan peran antara pemerintah dan pasar. Keseimbangan tersebut mungkin berbeda dari satu negara dengan negara lain dan dari waktu ke waktu, juga antara satu sektor dengan sektor lainnya, serta dari satu masalah dengan masalah lain. Tercapainya keseimbangan itu mensyaratkan adanya kejelasan mengenai apa yang harus dilakukan oleh masing-masing dan bagaimana cara melakukannya. Intervensi pemerintah diperlukan untuk memastikan bahwa kepentingan publik juga terperhatikan.

Namun keadaan sebaliknya terjadi pada saat ini. Era ekonomi baru dengan rezim perdagangan bebas, mengharuskan minimalisasi peran pemerintah suatu negara dalam mengatur perekonomian suatu negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang ikut campur dalam perekonomian dianggap telah menghambat pasar bahkan laju perekonomian. Dengan demikian, deregulasi dianggap sebuah kewajiban bagi rezim perdagangan bebas. Para penyokong rezim perdagangan bebas, mempromosikan, mengurangi regulasi berarti membiarkan kekuatan pasar bekerja. Kekuatan pasar akan menghasilkan lebih banyak efisiensi. Manfaat kekuatan pasar, melalui kompetisi, akan mengalir langsung ke konsumen dan masyarakat luas. Dengan demikian, menurut mereka, perlu dilakukan deregulasi-deregula si perekonomian, termasuk sektor-sektor strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Deregulasi-deregula si yang dilakukan secara otomatis mengurangi peran pemerintah dalam mengatur perekonomian yang dibutuhkan oleh semua golongan. Pihak yang diuntungkan terutama golongan pemilik modal atau eksekutif korporasi global. Para penganjur deregulasi, yakin bahwa semakin ramping pemerintahan dan semakin rendah tarif pajak akan semakin baik bagi perekonomian. Menurut mereka, uang yang dibelanjakan oleh pemerintah umumnya terbuang mubazir, sedangkan jika digunakan oleh sektor swasta akan termanfaatkan dengan baik.

Pandangan yang menyetujui peran minimalis pemerintah didasari oleh sebuah ideologi simplistic yang dikenal sebagai “fundamentalisme pasar”. Secara umum ideologi ini menyatakan bahwa pasar dengan sendirinya stabil dan efisien. Akan tetapi ideologi tersebut tanpa landasan teori ekonomi yang dapat diterima. Pasar yang stabil dan efisien akan terwujud, menurut teori, jika ada informasi yang sempurna, kompetisi sempurna, pasar yang lengkap, dan lainnya yang tidak pernah ada di negara paling maju sekalipun. Kenyataan yang terjadi, adalah, pasar seringkali tidak berjalan baik. Pasar sering menyebabkan terjadinya pengangguran. Pasar tidak bisa dengan sendirinya memberikan jaminan terhadap berbagai risiko penting yang dihadapi perorangan, termasuk risiko menganggur.

Pasar adalah alat untuk meraih tujuan, terutama, standar hidup yang lebih tinggi. Pasar bukanlah tujuan itu sendiri, sehingga langkah-langkah kebijakan yang digencarkan seperti privatisasi dan liberalisasi, janganlah dipandang sebagai tujuan, melainkan sebagai alat. Menurut Stiglitz, meskipun tujuan pasar itu sempit (hanya menyangkut kesejahteraan material, bukan nilai-nilai keadilan sosial), pasar bebas seringkali gagal mencapai tujuan-tujuan yang sempit sekalipun. Era 1990-an menunjukkan pasar tidak bisa menjamin stabilitas, sementara pada era 1970-an dan 1980-an, pasar tidak bisa menimbulkan pertumbuhan tinggi, bahkan kemiskinan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.

Awal-awal millennium, menunjukkan kondisi bahwa pasar bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai untuk menampung pendatang baru dalam angkatan kerja. Namun lebih dari yaitu, yakni juga tidak mampu mengimbangi berkurangnya pekerjaan yang ada akibat meningkatnya produktivitas. Pengangguran menunjukkan kegagalan pasar yang paling dramatis sebab menjadikan sumber daya yang paling berharga menjadi muba
zir.

No comments:

Post a Comment

terimakasih telah mengunjungi blog saya.